Saturday, March 07, 2009

Buku Puisi Dino F Umahuk: “Laut Hidup” dan “Laut Rantau”

-- Sihar Ramses Simatupang*

Jakarta - Awal tahun 2009, penyair Dino Umahuk melahirkan antologi puisinya yang kedua bertajuk Lelaki yang Berjalan di Atas Laut (Penerbit Lapena, 2008), dirayakan lewat pembahasan diskusi oleh Damhuri Muhammad dan Hudan Hidayat di Pusat Dokumentasi HB Jassin, Taman Ismail Marzuki, Jakarta (27/2), kemudian diapresiasi di Universitas Padjadjaran, Bandung (28/2).

Bukunya kali ini menguat di bentuk puisi liris juga di dalam diksi. Selain tak lagi dominan mengangkat sajak bertema sosial, di buku keduanya Dino menekankan simbol laut. Dia meninggalkan daratan Maluku dan pantainya. Dia pelancong sekaligus peziarah sejarah Aceh. Yang dibicarakannya adalah daratan rantau “Serambi Mekkah”. Dia tak “bermandi” di pasir, pecahan keong, dan karang di pantai pulau rantau.

Dino bilang, dia lebih memilih laut, ombak, sebagai imaji dari pelayaran fisik sekaligus pelayaran hidup. Kini, puisi bertema cintanya pun ikut beriak dalam lautan. Cinta kebahagiaan, cinta kedukaan, cinta kesedihan, cinta perpisahan. Bahkan, dalam puisi “Sajak Sepotong Rindu” yang ditulisnya untuk orang yang dikasihinya, pasir pantai adalah pinggiran pulau untuk singgah, tempat dia berharap dari batas ketidakberdayaan di idiom pasir pantai tatkala gundah gulana. “Saya sadar banyak penyair yang telah bicara daratan, juga lautan, metafora saya di antara keduanya,” ujarnya.

Namun, si anak Ternate ini, tetap seorang putra tanah Maluku, termasuk dalam bahasa puitik yang dia sampaikan. Si penyair memilih diksi, imaji dan cara pandang, yang khas putra Ternate, seperti memilih bunyi bia–sejenis keong yang menjadi instrumen alam di wilayah sekitar kepulauan Maluku.

Yang menarik, laut untuk penyair ini, bukan lagi “tempat untuk tujuan”. Setidaknya dari makna fisikal, harafiah, Dino yang telah menyinggahi Pulau Dewata, Jakarta-Pulau Jawa, Aceh-Pulau Sumatera, menjadikan pantai–bibir laut, sebagai tempat pertemuan rindunya pada tanah asali, Ternate. Mungkinkah, yang dirindukan, diimpikan bagi dirinya, adalah pulau Ternate itu. Jadi, kendati, di tanah rantau, yang dirindukannya lewat bibir daratan, sebuah pantai yang bertemu laut, tetaplah sebuah pantai lain nun jauh di pulau Ternate sana... Syahdan, Ternate adalah tempat dia menemukan rindunya. Putra Ternate, memang orang laut, tapi rindu pada pulau asal adalah keniscayaan.

Mungkinkah judul puisi ini: Lelaki yang Berjalan di Atas Laut adalah sebuah perantara, karena Dino tidak membuat judul pada bukunya, misalnya, Lelaki yang Berjalan-jalan di atas Laut atau Lelaki yang Bermain di Atas Laut? Mungkinlah laut dalam idiom Dino, laut dalam imaji Dino adalah laut perantara dan bukan tujuan? Laut menuju Pulau Ternate dan laut menuju sesuatu yang diimpikan. Sementara untuk “tujuan maknawi”, ujung dari laut baginya adalah sebuah semesta. Semesta Tuhan.

Dari Sosial ke Rindu

Dino Umahuk pertama kalinya melontarkan sajak-sajaknya di internet pada awal tahun 2000-an. Dunia puitik, imajinasi yang “hilir mudik”, dari dirinya kepada Tuhan, figur Ibu, kepada gadis, tentang resah terhadap konflik di Maluku. Dari tanah Maluku, bias Pella Gandong terus diungkapkannya di dalam sajak. Dino, penyair yang aktif di Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), melintasi Ternate, Jakarta dan Aceh, bukan melulu “berjubah” pesan sosial dalam karyanya. Ada simbol, metafora, pencarian bunyi (rima) atau ketukan (ephoni), kendati dia memilih tipologi yang konvensional. Puisi-puisinya memperlihatkan kekhasan pola estetik.

Lihatlah bagaimana karyanya yang lain, yang memuja tentang “alam raya”, landscape pantai, pulau Ambon dan laut di sekitar pantai, bagai mewakili lantunan ombak dan panorama pantai di negeri itu, di sajak “Enggo Lari” (dalam antologi “Metafora Birahi Laut”): Ombak-ombak bermain enggo lari /Baku dusu, sampai bibir pantai/Anak-anak hitam manis, keriting/Bau bia, bau laut.

Puisi Dino menggunakan cerita yang khas, gaya putra Maluku yang melantun dongeng. Jadi, sekalipun liriknya terkesan individual, memakai alat ungkap kole-kole, bau bia, jojajo-mungare, pembaca tak harus menangkap makna yang penuh, karena kata-kata itu tetap menghasilkan nuansa bunyi yang enak–menimbulkan bunyi aneh didengar, seperti teratak buah kapas kering yang tentu justru menjadi misteri mengasyikkan buat telinga bocah yang seumur hidup baru keluar dari apartemen. n

Sumber: Sinar Harapan, Sabtu, 7 Maret 2009

No comments: