Sunday, March 08, 2009

Panorama Stiker Kota

"MOTOR Aing Kumaha Aing", "Hari Gini Masih Over Gigi", "Biar Cepat Asal Selamat", "Dilarang Pinjam Selain Monyet", "Biar Butut Jago Ngebut", "Nyalip Jitak", "Yang Minjem Isi Bensin", "Team Pemburu Jablay", "Motor Lunas Pacar Kandas".

TERUTAMA ketika lalu lintas macet, salah satu teks di atas pasti tanpa sengaja pernah kita baca, menempel di sepeda motor. Umumnya teksnya itu menempel di permukaan kertas berwarna kuning dan ditempelkan di sepatbor bagian belakang. Tetapi pada jenis sepeda motor vespa, stiker itu ada juga yang ditempelkan di bagian sayap. Letak penempelan stiker di bagian belakang atau depan sepeda motor, agaknya disesuaikan dengan isi teks. Misalnya, teks "Warning Nyalip Kiri Loe Banci" atau "Warning Buntutin Kalau Berani", selalu kita temukan di bagian belakang sepeda motor. Penempatan di bagian belakang motor menjelaskan pembaca yang ditujunya.

Stiker yang pada tahun 1970-an dikenal dengan sebutan karkir atau gambar tempel, dengan mudah setiap hari kita temukan menghiasi berbagai sepeda motor. Di Bandung, di tepi-tepi jalan, bersama kelengkapan pengendara sepeda motor, para pedagang stiker pun menjamur. Akan tetapi stiker berupa teks itu agaknya bukanlah melulu diniatkan sebagai hiasan. Ia ditempelkan seolah menjadi cara untuk merepresentasikan identitas atau realitas kultur urban yang jauh dari hanya sekadar teks, di sadari atau tidak. Tetapi pada tataran yang lebih fungsional, dari sejak pemilihan jenis dan isi teks stiker hingga posisi pemasangannya beserta niatannya, lebih merupakan cara untuk melakukan komunikasi di tengah keramaian lalu lintas. Komunikasi yang hadir dengan spirit keisengan masyarakat urban.

Stiker sepeda motor adalah teks yang mencoba saling berinteraksi, mengikuti perkembangan teknologi otomotif itu sendiri. Dengan kata lain, kemajuan teknologi otomotif telah melahirkan beragam teks yang mengikutinya. Sebutlah, munculnya sepeda motor jenis matik yang tanpa perseneling (gigi), yang melahirkan teks stiker "Hari Gini Masih Over Gigi". Teks stiker yang dipasang di bagian belakang sepatbor ini, merupakan sinisme pada pengendara sepeda motor yang masih menggunakan gigi, sekaligus membanggakan sebuah kemajuan teknologi. Tetapi tak lama kemudian, muncul pula teks tandingannya yang menempel di sepeda motor yang menggunakan gigi, "Cuma Bayi Yang Gak Punya Gigi".

Stiker teks di sepeda motor yang banyak menjamur di perkotaan hari ini, menyuguhkan berbagai permainan bahasa dan simbol yang dipelesetkan, baik makna, bentuk, juga fungsinya. Ia mencomot simbol-simbol konvensional, dari mulai jenis huruf, teks pengantar (warning), untuk lalu diubah menjadi permainan yang narsis, menyindir, hingga pernyataan-pernyataan lelucon yang cabul. Simbol konvensional yang dicomot termasuk juga plat nomor kendaraan, yang "didekontruksi" menjadi makna yang berlainan, "C 3 WE Matre", "B 454 H Kolornya", "R 4 JA Goda", "A 5 LI Pribumi", "KR 3 DIT capek deh", atau "G 4 JI Buta".

Sepintas perkembangan dan perubahan stiker yang umumnya menampilkan beragam teks ini dan tidak lagi menjadi visual, mengingatkan kita pada teks-teks yang menempel di belakang truk. Dalam ukuran yang besar, teks yang dibuat dengan cat tebal itu ditemukan dengan berbagai konteks, yang merujuk pada kehidupan para sopir truk dan dunia jalanan; "Kutunggu Jandamu", "Abang Pulang Bawa Duit Bukan Bawa Penyakit", atau "Tilas Tapi Raos". Akan tetapi dalam perkembangan medium yang lain pun, misalnya, dalam desain kaos oblong, penampilan teks dengan berbagai pernyataan yang nyeleneh dan memancing senyum, akhir-akhir ini memang menjamur, meski belum bisa menggeser desain visual atau gambar.

**

MENGURAI perkembangan stiker dari masa ke masa, dari mulai jenis desainnya, perubahannya, hingga produksi dan distribusinya inilah yang termaktub dalam buku "Stiker Kota" (ruang rupa 2008). Buku yang disusun secara keroyokan oleh Ugeng T. Moetidjo, Ardi Yunanto, Ade Darmawan, dan Mirwan Andan ini, dari 300 halamannya memuat ratusan gambar stiker dari masa ke masa. Bahkan, "antologi" contoh-contoh stiker ini nyaris mendominasi seluruh isi buku (265 halaman). Pengantar dan deskripsi penyusun yang ditulis dalam dua bahasa (Indonesia-Inggris) hanya termuat dalam 70 halaman.

Niatan penerbitan buku ini, tampaknya memang lebih menekan sebagai penampang dari perkembangan dan perubahan stiker yang berkembang dalam masyarakat urban. Artinya, ia tak berpretensi melakukan pembongkaran dari berbagai pendekatan kajian, baik itu semiotika ataupun cultural studies. Namun satu hal yang menarik, halaman-halaman penampang yang menampilkan berbagai jenis stiker dari masa ke masa ini, membayangkan pula berbagai perubahan yang terjadi dalam masyarakat kota besar dan bagaimana stiker selalu menyertai masyarakat kota di dalam perubahan tersebut. Termasuk perubahan dalam konteks nilai dan perilaku masyarakat.

Buku ini disusun sejak Juli-November 2008 dengan berbagai perburuan berbagai jenis stiker. Dalam perjalanan dan perburuan inilah, ditemukan kenyataan bahwa stiker berkembang demikian dinamis, dengan kemampuan sebarnya yang luar biasa ke ruang publik dan ruang privat.

Sejak tahun 1980-an, stiker berkembang dengan citra yang mengingatkan kita pada bayi gemuk, bertuliskan "No Problem", Iwan Flas, Desi Ratnasari, Rambo hingga penyebutan yang dicomot dari berbagai dunia hiburan, seperti "Gadis Jujur". Stiker berupa teks ketika itu juga telah muncul, namun lebih banyak beredar dan ditempelkan dengan semangat yang sangat konvensional, misalnya, "Bebas Tapi Sopan" atau "Anda Sopan Kami Segan". Sedanglan di ruang publik seperti bis kota atau angkot, juga muncul stiker-stiker teks yang rada-rada baong dan cunihin, seperti "Yang Cakep Duduk Dekat Supir" atau "Sekarang Bayar Besok Gratis".

Tak ada keterangan yang jelas, kapan stiker mulai muncul di Indonesia. Tetapi mungkin kita bisa ingat bagaimana di pertengahan tahun 1970-an, telah muncul stiker master kungfu, seperti Bruce Lee dalam posisi sedang menendang. Stiker ini laku keras dan selalu menempel di tas-tas anak sekolah. Demikian juga munculnya gambar yang proses menempelnya harus melalui perendaman di air, sehingga bisa menempel di tas sekolah. Biasanya, bergambar naga atau tokoh-tokoh superhero.

Selain itu, buku ini menampilkan sejumlah stiker yang bertemakan keagamaan, umumnya Islam dan Kristen. Tak hanya berupa visual Kabah, orang salat dalam kaligrafi atau Salib, tetapi juga teks-teks yang diambil dari kitab suci. Namun satu hal yang menarik dari buku ini adalah bagaimana tim penyusun tak hanya melakukan pengumpulan berbagai stiker di banyak kota. Melainkan juga mereka mencari tahu bagaimana stiker diproduksi dan didistribusikan.

Seraya menyebut sejumlah tempat di Jakarta, Bandung, dan Surabaya, yang menjadi sentra-sentra stiker, tim penyusun buku ini juga melakukan "investigasi" menarik ke pabrik-pabrik stiker di Bandung, yakni Repost dan sebuah pabrik stiker tertua, AMP Production yang ternyata berada di perdesaan. Memang mengejutkan, bagaimana mungkin stiker yang diberi label stiker kota ternyata diproduksi dan berasal dari desa?

Penelusuran tim penyusun ke pabrik AMP Production, di Desa Pakisaji, Kab. Malang, Jawa Timur, membuat buku ini lebih banyak menampilkan sejumlah informasi, ihwal bagaimana stiker diproduksi serta dari mana ide-ide itu muncul. Namun demikian, buku ini juga menyaran pada semacam pemikiran ihwal hubungan antara stiker dan imajinasi kota. Jika kembali mengingat proses desain stiker kota yang dibayangkan produsen, sebenarnya adalah perantau kota besar yang belum sepenuhnya kehilangan kampung halamannya ini (hlm. 29).

Stiker seperti yang kita lihat akhir-akhir ini, memang menjadi teks dari dunia permainan bahasa dan makna yang demikian bebas. Perubahan inilah yang meluruhkan stiker-stiker sopan, yang muncul dalam periode sebelumnya. Pencitraan sopan menjadi sinisme, ledekan, hingga pelesetan. Kreasi artistik tak lagi hanya menjadi cerminan kenyataan. Namun kenyataan bisa menjadi cerminan dari kreasi artistik yang ada (hlm.35). Stiker dan berbagai teksnya yang mudah kita temukan hari ini di berbagai sepeda motor menjadi representasi dari kenyataan bagaimana kota itu diimajinasikan. Namun lebih dari itu, seperti disebut Ayu Utami di belakang buku ini, stiker telah menjadi bahasa ungkapan paling polos di ruang publik, tentang manusia dan kota. (Ahda Imran)***

Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Sabtu, 7 Maret 2009

No comments: