-- St Sularto
SUDAH banyak ulasan dan karya mendalam tentang tokoh Sutan Sjahrir (1909-1966). Atributnya beragam, mulai dari kontroversial, jauh dari ingar-bingar di atas panggung, dipuja pengagum, hingga dihujat lawan-lawan politiknya.
Dibanding Soekarno dan Mohamad Hatta, ketokohan Sjahrir menyimpan lebih banyak tanda tanya, apalagi termasuk salah satu tokoh yang sengaja dilupakan, padahal pada era awal persiapan proklamasi kemerdekaan Sjahrir merupakan satu dari triumvirat Indonesia di samping Soekarno dan Hatta.
Tanda tanya-tanda tanya itu justru merangsang minat orang untuk menguak harta karun seorang beretnis Minang tetapi terbang tinggi melewati batas-batas etnis primordialnya. Setelah 100 tahun ”terkubur”, di saat mencari-cari tokoh panutan dan apresiasi sosok-sosok terlupakan, muncul di antaranya nama Sutan Sjahrir.
Di antara upaya mengais-ngais warisannya, melesat spontan genealogi cara berpikir Sjahrir, di antaranya intelektualitas, kedalaman hati, kebebasan batin, dan komitmen pada keluhuran martabat manusia—sifat-sifat adiluhung umumnya elite negeri ini di awal-awal kemerdekaan.
Panelis Herry Priyono membuat metafor cara berpikir either-or (salah satu dari dua). Ada dua ciri either-or, pertama yang bersifat praktis, lainnya eksistensial. Sjahrir menempatkan either-or sebagai cara menghidupi realitas, ketegangan antara aksi dan refleksi, individualitas dan sosialitas.
Cara berpikir ”salah satu dari dua” itu diamini penanggap Jakob Oetama. Sosok Sjahrir yang tidak hitam putih, tetapi either-or menunjukkan ia seorang pemikir yang tidak terbatasi ada di sana dan tidak ada di sini. Sjahrir menghadapi dilema yang kemudian dicoba diatasi dengan mendukung sosialisme kerakyatan yang intinya negara kesejahteraan. Kesejahteraan untuk seluruh rakyat dengan kebebasan yang manusiawi yang dalam pelaksanaannya tidak menutup kemungkinan fleksibilitas.
Either-or, mirip istilah berpikir nggiwar (lateral thinking)-nya Mangunwijaya, yang jika dikembangkan bisa berpengaruh lebih luas dalam mencari jalan keluar membangun kesejahteraan untuk seluruh rakyat. Sosok Sjahrir sebagai pemikir sekaligus politisi merupakan inspirator seumur-umur bagi bangsanya, Indonesia.
Kematangan dalam hidup nasional di bidang politik, ekonomi, dan budaya tergantung dari seberapa besar kemampuan merangkul dan menghidupi ketegangan eksistensial ini tidak sebagai problem, tetapi sebagai jalan hidup berbangsa dan bernegara. Dan inilah harta karun warisan terbesar Sjahrir, yakni kita tidak terjebak dalam dikotomi kapitalisme atau komunisme, individualitas atau kolektovitas, deregulasi atau regulasi.
Ketika kedalaman dan kematangan berpikir Sjahrir ditempatkan dalam kondisi Indonesia saat ini, sebulan menjelang Pemilu 2009, terlihat perbedaan mencolok dalam cara berdemokrasi di tingkat elite Indonesia. Kata panelis Rocky Gerung, ada instalasi politik modern seperti partai, parlemen, pemilu, MA, tetapi sesungguhnya yang mengalir dalam instalasi itu adalah politik demagogi. Para demagog bekerja keras merebut, memperbesar, dan melanggengkan kekuasaan—persis petuah Niccolo Machiavelli abad XVI.
Menurut Sjahrir, analisis politik perlu daya pikir yang kuat sekaligus keteguhan hati pada keadilan. Dengan daya pikir itu politik merupakan pendidikan demokrasi, bukan perburuan, pembesaran, dan pelanggengan kekuasaan.
Humanis Indonesia
Sjahrir dalam konteks perjuangan sebuah bangsa tidak bisa disejajarkan dengan Nehru, kata panelis Budiman Sudjatmiko, tapi mungkin dengan Ali Jinnah dari Pakistan atau seagung Mohamad Iqbal. Begitu juga menempatkan Sjahrir hanya sebagai pendiri Partai Sosialis Indonesia atau pimpinan partai sosialis, atribut itu terlalu kecil bagi Sjahrir.
Dia seorang humanis Indonesia, yang muncul tidak hanya dengan tesis antifasisme dan kolonialisme, tetapi membangun nasionalisme Indonesia. Karena itu, dalam beberapa hal terjadi persentuhan dan pertemuan cara berpikir Sjahrir dengan sosok Tan Malaka—rekan dan pesaingnya di bawah permukaan, tetapi sama-sama bernasib dilupakan. Humanisme Sjahrir, konon, tidak semenukik Tan Malaka, menonjol dalam cara menyampaikan. Di antaranya Sjahrir menulis, ”...aku cinta negeri ini dan orang-orangnya... terutama barangkali karena mereka selalu kukenal sebagai penderita, sebagai orang kalah. Jadi biasa saja, simpati kepada orang-orang yang ditindas.”
Sebagai sosialis, didefinisikan panelis Fadjroel Rachman, sebagai sosialisme berdasarkan kerakyatan (menyitir rumusan Lindsay Rae), Sjahrir menganjurkan dicapai tidak dengan kekerasan seperti Tan Malaka, tetapi dengan cara demokratis, yakni lewat partai tidak dengan kriteria ukuran jumlah pemilih, tetapi dengan perjuangan sosial demokrasi. Gagasan Sjahrir lebih tepat dikelompokkan sebagai gagasan filosof, filosof Indonesia, sebagaimana dicita-citakan Mohamad Iqbal bahkan Plato yang mengandaikan pemahaman ideal demokrasi bagi tumbuhnya kehidupan demokratis suatu negara atau kota (polis).
Diterapkan untuk Indonesia saat ini, dalam kondisi perpolitikan tereduksi sebagai perebutan kekuasaan, masih relevankah pemikiran dan cara berpikir Sjahrir? Masih, kata panelis Rachman Tolleng, ketokohan sentral Sjahrir berdasarkan data sejarah menonjol paling tidak dalam dua tahun pertama republik ini.
Bahkan orang-orang Partai Sosialis Indonesia tidak bosan-bosan mengatakan seandainya Sjahrir tidak ada, apakah Indonesia bisa merdeka. Sjahrir adalah ”kekecualian”, sosok serba kontroversial—mungkin wajar setiap manusia berprinsip biasanya kontroversial—dan telanjur dimarginalkan republik ini, sambung panelis Daniel Dhakidae yang menegaskan jasa Sjahrir dalam membela politics of value dengan memunculkan gerakan-gerakan antifasisme dengan alamat Jepang.
Peranan diplomasi
Ketersingkiran Sjahrir bersamaan dengan pengelabuan sejarah, menurut istilah Daniel Dhakidae, kemerdekaan merupakan hasil perang. Diplomasi adalah ”kecelakaan sejarah” sehingga sejak 1959—kembalinya ke UUD 1945—ditabalkan seruan rediscovery of our revolution, diplomasi adalah ”politik menyerahkan diri kepada kepentingan asing”; sesuatu yang kemudian diperkuat oleh berkuasanya Orde Baru yang dengan otomatis menempatkan militer sebagai pemilik terbesar kenikmatan dan privilese politik yang menentukan kehidupan negeri ini.
Padahal senyatanya diplomasi semacam komplemen, semacam pelengkap yang tidak kalah penting dibanding peranan militer. Tesis George MT Kahin membuktikan besarnya peran diplomasi itu dalam membangun citra Indonesia. Perlu dimunculkan ketokohan orang-orang seperti Sjahrir atau Amir Sjarifuddin—menyebut dua nama sebagai sosok-sosok yang sengaja dilupakan.
Di samping diplomasi dan politics of value, masih adakah kemungkinan menawarkan alternatif lain untuk negeri ini? Tantangan-tantangan yang dihadapi negeri ini, di tengah karut-marutnya perpolitikan dan merosotnya fatsoen politik—menurut istilah Budiman Sudjatmiko, ”Indonesia berada di atas panggung yang diretakkan” dan ”disorganisasi sosial”, eksistensi pemikiran seharusnya menjadi bahan merajut ke-Indonesia seperti awal negeri ini diciptakan.
Dengan peran aktif sepintas Sjahrir sebagai rujukan yang tidak sempat meluas, perjalanan Indonesia mau dibawa ke mana? Pilihlah di antara dua kemungkinan, kata panelis Rosihan Anwar. Belajarlah dari China dan India! China berhasil membangun negeri miskin jadi kaya raya, India sukses membangun sumber daya manusia—tentu dengan sisi-sisi negatifnya—merupakan bahan belajar dan tempat menengok.
Memungut istilah agama, diperlukan satu pertobatan—dalam arti sekuler sebagai kemauan eksistensial untuk memungut sisi-sisi baik-positif dari warisan tokoh-tokoh besar semacam Sutan Sjahrir. Selintas bagaimana tokoh-tokoh besar sosialis semacam Soedjatmoko mewarnai pergulatan pemikiran humanistik untuk negeri ini, tetapi privilese pemegang kuasa yang antifasis dan militeristik cenderung ”memuntes”-nya. Perlu dimunculkan buku-buku sejarah yang benar, semacam real history dan bukan unreal his story seperti yang diharapkan penanggap Rais Abin.
Singkat kata, demikian panelis Sabam Siagian, ketokohan Sjahrir menjadi inspirator bagi bangsa ini, yang menawarkan pemahaman politik sebagai nilai luhur mewujudkan kesejahteraan rakyat dan bukan berburu kekuasaan. Perjuangan kemanusiaan memang tidak semudah caleg mengumpulkan suara terbanyak untuk beringsut posisi dari caleg menjadi anggota legislatif! Tobat! Tobat! Tobat!
Sumber: Kompas, Jumat, 13 Maret 2009
No comments:
Post a Comment