Sunday, March 15, 2009

Kebudayaan Nusantara, Penjaga Keutuhan Bangsa

[JAKARTA] Kebudayaan bangsa Indonesia yang beraneka ragam dan menyebar dari Sabang sampai Merauke, sesungguhnya bisa menjadi wahana penjaga keutuhan Indonesia. Sudah saatnya bangsa ini melihat dan memberi ruang bagi pertumbuhan kembali karakteristik budaya Indonesia yang menyanggah peradaban bangsa ini.

Ketua Lembaga Sangga Buana Surakarta, KRA Sayid Yahya Asagaf (kiri), didampingi Ketua Cultura di Vita Romo Yustinus Sulistiabudi, memberikan keterangan kepada wartawan tentang acara Sarasehan Kebangsaan di Jakarta, Jumat (13/3). (SP/Ruht Semiono)

"Bangsa Indonesia yang terkenal cinta damai dan sering disebut sebagai the smiling people, kini malah suka ribut. Jati diri bangsa ini mulai hilang sejak terorisme, anarkisme serta radikalisme muncul di Indonesia. Sudah saatnya, bangsa ini kembali menguatkan semangat cinta damai dan hidup aman," kata Ketua Lembaga Sangga Buana Surakarta KRA Sayid Yahya Asagaf di Jakarta, Jumat (13/3), dalam jumpa pers jelang Sarasehan Kebangsaan yang akan dilangsungkan di Solo, Rabu (18/3).

Sarasehan bertajuk Menjaga Keutuhan Bangsa Melalui Budaya ini diselenggarakan berkat kerja sama Lembaga Sangga Buana Surakarta, Cultura di Vita Jakarta dan Kaukus Wartawan Indonesia (KAWAN). Dikatakan, budaya yang diwariskan turun-temurun mulai dilupakan oleh generasi muda, bahkan muncul sikap acuh tak acuh terhadap budaya bangsa sendiri.

Ketua Cultura di Vita Romo Yustinus Sulistiadi Pr mengatakan, tren megapolis sedang menjadi hegemoni baru yang menimbulkan kontaminasi dalam pemeliharaan budaya dan warisan khas bangsa ini. Dalam berbahasa saja, orang merasa lebih baik menggunakan bahasa Inggris, bahkan dengan seenaknya tidak mau lagi mempelajari dan mendalami bahasa sendiri.

"Perlu ada budaya polyglot dan polycultures yang holistik, di mana kita mempelajari dan menguasai semua bahasa dan budaya tanpa mendiskriminasikan, bahkan mendiskreditkan budaya sendiri," katanya. Romo Yustinus juga membandingkan kecenderungan sebagian besar anak bangsa ini dengan kebiasaan yang muncul pada bangsa Belgia dan Belanda. [EMS/L-8]

Sumber: Suara Pembaruan, Sabtu, 15 Maret 2009

No comments: