Saturday, February 06, 2010

Generasi Baru Puisi Lugu

-- Beni Setia*

MEMAHAMI kumpulan puisi tiga penyair Bandung, Benterang: Puisi Apa Adanya, Bogor: SIA, 2009, bermakna mengurai dan memahami asal kata dari Benterang itu sendiri. Yang dibangun dari kata bahasa Jawa, ben, yang artinya biar atau biarin; serta terang, yang artinya jelas apa adanya. Jadi ikon Benterang itu bermakna sesuatu, yang dalam hal iniTTK puisi, yang dibiarkan tampil apa adanya dalam penampilan dan ekspresi yang jelas lugu.

Semacam antipoda dari puisi gelap, atau puisi dengan idiom yang bertumpukan dan rumit berkelindan yang jadi trend puisi masa kini. Persis seperti yang dinyatakan dalam pengantar pendek yang membuat pembabakan kronologi sejarah sastra menjadi liukan periodesasi sastra Indonesia khas: Balai Pustaka, Pujangga Baru, Angkatan '45, dan kemudian Angkatan '70 yang fokus terpusat ke genre Puisi mBeling, dan ditutup dengan kelahiran gerakan muthakir Angkatan Benterang.

Hal yang dipertegas dalam pernyatakan berkop Mukadimah, yang sejajar dengan kredo puisi mBeling dari Remy Sylado dan Jeihan dulu, teks yang mendesakralisasi penyair dan demitologisasi puisi. Nyaris tidak ada yang membedakanya, karena aspek kenakalan usil intonasi yang menekankan ironi paralelisme fakta dan keluguan dalam menandai ilham puisi tetap dianut, meski kini lebih dengan penekanan pada kejujuran mengungkapkan apa yang ingin diungkapkan dalam teks puisi.

Kejujuran mengungkapkan apa yang ingin diungkapkan merupakan inti Etika dan Estetika. Dan Anton De Sumartana yang mewakili generasi penyair dekade 1970-an dan 1980-an dengan 33 puisi, Atasi Amin serta Matdon yang mewakili generasi penyair dekade 1990-an dan 2000-an dengan masing-masing 33 puisi. Maka tak usah heran bila 99 buah puisi Benterang itu seperti bermain dengan momentum kecil yang menyentakkan dalam kilasan minor yang membuat penyair tergugah, dan termotivasi mengungkapkannya dengan idiom yang langsung menunjuk kepada hal puitis yang mengagumkan itu.

Ambil puisi "Kangen" Matdon ini: bahkan anginpun / kusangka dirimu. Atau puisi "Kremasi" yang bermain dalam intonasi pro makna yang berbunyi: keramasi hatimu / kremasi kedengkianmu. Atau ironi dalam puisi "Bibirmu Laut" ini: aku ingin menciummu / tiga kali sehari / biar dahaku sirna // tapi bibirmu laut, setidaknya ketika cinta identik dengan pemuasan syahwat seperti yang diisyaratkan dalam sajak sebelumnya, puisi "Di Senyummu Kutemukan Sajak".

Meski terkadang tersembul kesadaran religius yang pekat, seperti diperlihatkan puisi "Tuhan" ini: dalam Tuhan ada puisi / dalam puisi ada Tuhan, atau puisi "Usai Tarwih" ini: menatap kitab suci di sudut kamar / tanpa basmalah, Tuhan, / betapa sulit menghampiri Mu.

Sementara Atasi Amin,anak Jeihan Sukmantoro, bermain dengan keluguan, logika cerdas, dan kehidmatan akan kepasrahan dan ketidakberdayaan. Lihat puisi "Potret Diri" ini: Dari atas mimbar aku bicara, / Tentang keadilan, kemiskinan dan resesi, / Dunia terkutuk diuarai papar // Orang-orang Bawah menyambut,/ Mari atasi, / Mari bersama Atasi // Amin. Sebuah permainan logika antara kultus individu khas politisi dan keluguan menyatakan diri yang selalu berdoa bisa mengatasi masalah dengan harmoni kebersamaan dan pekenan Allah. Seuah pilihan identitas diri yang mendekati konsep ora et labora di dalam logika khas Jeihan Sukmantoro.

Atau puisi "Ruang" ini: Ada ruang / Ada AC / Ada uang / Ada ACC. Atau puisi "Kaca Mata" ini: Aku bersihkan kaca mata / Tapi masih samar / masalah-Nya. Satu permainan intonasi yang menekankan kongkalikong khas manusia dan otoritas Allah SWT dalam menentukan arah nasib seseorang. Situasi tak berdaya yang menyebabkan seseorang hanya bisa berserah diri pada ahlinya di satu sisi dan kemurahan Tuhan di sisi lain seperti yang diungkapkan puisi "Yuni Belum Pulang" ini: Wajahnya murung, / Sangat murung / Lebih murung / Selagi disarung // Ketubannya pecah.

Sebuah puisi yang menunjukkan kejernihan pengungkapan yang ditopang kepekaan akan hakekat apa yang ingin diungkapkan, yang menyebabkan Atasi Amin tampak menonjol.

Sementara itu Anton de Sumartana sangat suka main persanjakan dan intonasi dengan kesadaran yang sangat besar untuk berdakwah menyampaikan pesan agama atau nasionalisme. Simak puisi "Pilihan si jantung Rohani" ini: Eti / etik / etika / Eti kamu / Santun / pekerti / moral tinggi / punyaku. Atau puisi "Fatal" yang berikut ini: 1 2 3 4 5 6 7 1 / Do re mi fa sol la su dho // 1 A / bukan 1 sa // bila ingin // Surga, di mana 1 A bermakna DOA serta 1 sa bermakna dosa. Serta puisi "Pidato Kampanye Pilpres II" ini: Hahoh / haol / ha-lo / Gigi palsu lepas / Janji palsu lewat / (abab sebar bual / nipu-nipu buat modal), di mana abab, bahasa Jawa, bermakna uap ludah basi yang tersembur saat seseorang bicara.

Dan Benterang, akhirnya, menjadi kumpulan puisi yang mendokumentasi jalur alternatif dari puisi Indonesia, agar ingat bahwa khazanah sastra tak hanya berurusan dengan yang tampak dominan menonjol seperti yang diperlihatkan media massa. ***

* Beni Setia, Pengarang

Sumber: Suara Karya, Sabtu, 6 Februari 2010

No comments: