-- Adek Alwi
PALING tidak, ada tiga corak rubrik sastra dalam surat kabar. Pertama, rubrik sastra yang tidak mengaitkan isi dengan sifat surat kabar yang bersifat umum, dibaca oleh publik yang luas dan beragam. Jikapun ada dari sifat surat kabar yang dipegang, adalah halaman surat kabar yang relatif sedikit dibanding majalah; sehingga cerpen, esai, artikel sastra yang dimuat tidak dapat terlalu panjang seperti dalam majalah.
Tapi tema, seting, eksplorasi bahasa maupun gaya bercerita, ulasan atau telaah unsur-unsur sajak (seperti rima, irama, bentuk, metafora, imaji dan lain sebagainya), tak soal. Jadi, semangat rubrik sastra jenis ini sebetulnya sama dengan spirit majalah sastra, seni, budaya.
Corak rubrik sastra surat kabar seperti di atas merupakan ragam rubrik sastra tertua dalam surat kabar kita; setidaknya sudah ada sejak dekade 1950-an saat majalah sastra, seni, budaya, masih subur di negeri ini.
Kita ingat, dekade 1950-an ada majalah "Kisah" yang legendaris itu, ada majalah "Prosa". "Budaja", "Zaman Baru", "Seni", "Indonesia", "Konfrontasi" dan banyak lagi. Di dasawarsa 1960-an, di samping masih terbitnya beberapa majalah dari dekade 1950-an juga 1940-an, ada majalah "Sastra", "Horison", dan "Budaya Jaya". Maka denyut kehidupan sastra makin semarak dengan adanya rubrik-rubrik sastra di surat kabar itu.
Dewasa ini, ragam rubrik sastra seperti di atas (di Ibu Kota) masih dapat kita jumpai pada dua-tiga surat kabar, termasuk "Suara Karya". Pada harian ini jejaknya bahkan sudah cukup panjang, sejak dekade 1970-an, ketika rubrik itu disebut "lembar pendakian sastra". Sementara yang lain segenerasi dengan rubrik sastra "Suara Karya" sudah lama tiada seiring dengan tak terbitnya lagi surat-surat kabar bersangkutan, atau berubahnya visi dan misinya. Katakan misalnya surat kabar "Berita Yudha", "Buana Minggu", "Merdeka Minggu", "Pelita", "Swadeshi" dan sejumlah surat kabar lainnya.
Corak kedua, adalah rubrik sastra surat kabar yang mengaitkan isinya dengan karakter surat kabar secara lebih ketat. Pada rubrik sastra jenis ini, panjang tulisan (terutama cerpen dan esai) selain harus disesuaikan dengan ketersediaan kolom/halaman, menjadi penting pula pertimbangan keterkaitan karangan itu (misalnya tema cerpen serta esei) dengan hal-hal yang umum sifatnya, atau sebutlah konteks sosialnya. Pun, aktualitasnya; sesuatu yang juga menjadi ciri surat kabar. Ini sebabnya pada hari-hari di sekitar 30 September/1 Oktober, umpamanya, cerpen-cerpen yang muncul di rubrik sastra jenis ini biasanya berlatar dan yang temanya semacam rekonstruksi peristiwa di bulan yang sama tahun 1965, atau pada hari-hari sesudahnya; ketika pemerintah Orde Baru memburu mereka yang dianggap terlibat dengan kejadian itu.
Karena itu pula, karangan-esei yang memfokuskan penelaahan terhadap unsur-unsur sajak (imaji, metafora, rima, irama, dan sebagainya itu), jarang atau sama sekali tak ditemukan di dalam rubrik sastra surat kabar jenis ini. Esei-esei seperti itu dinilai terlalu spesifik, tak umum, juga tak aktual.
Tetapi tentu ada kecualinya, misalnya saat penyairnya meninggal. Namun itu pun dengan catatan jika penyairnya memang sangat populer, dikenal luas di tengah masyarakat. Ketiga, ialah rubrik sastra yang oleh penerbitnya dilihat bagian dari komoditas di tengah semangat pers yang telah bergeser dari pers-perjuangan, pers-pembangunan, menjadi pers-industri. Di sini, rubrik sastra itu dipandang sama dengan rubrik-rubrik lain di dalam surat kabar (dapat juga ditambah dengan tabloid) bersangkutan. Artinya, rubrik sastra itu pun harus mampu memberi kontribusi laba terhadap perusahaan; minimal mengikat pembaca untuk tidak lari ke surat kabar atau tabloid sejenis.
Pada rubrik sastra jenis ketiga di atas amat kecil kemungkinan esai atau artikel sastra dijumpai, apalagi yang bersifat telaah atau eksprimental. Begitu pula dengan sajak. Cerpen-cerpen yang dimuat, juga cerita bersambung, disesuaikan dengan minat atau kebutuhan segmen pembaca surat kabar kabar (atau tabloid) bersangkutan.
BETAPAPUN, ketiga corak rubrik sastra surat kabar itu memberi kontribusi yang tidak kecil artinya bagi kehidupan sastra di Tanah Air. Idealnya memang rubric sastra corak pertama.
Namun, dua jenis rubrik sastra lainnya pun sudah memberikan sumbangan, terlebih sejak akhir dasarwasa 1980-an atau awal 1990-an, ketika majalah sastra cuma tinggal "Horison", majalah kebudayaan tersisa "Basis", setelah "Budaya Jaya" tak pula lagi terbit di awal 1980-an.
Sekaligus itu juga berarti, dewasa ini, negeri berpenduduk yang katanya lebih 220 juta jiwa ini tidak lagi sekadar disebut paceklik media sastra, tetapi sudah melorot ke tingkat miskin-papa (meski belum sampai hina-dina). Nah, dalam situasi-kondisi seperti itu, syukur masih ada rubrik-rubrik sastra surat kabar. Syukur; karena rubrik-rubrik sastra itu tak hanya bermanfaat untuk sastrawan, peminat/pembaca sastra, tetapi juga untuk napas hidup sastra.
Tidak bisa dibayangkan sebuah bangsa, apalagi yang besar dan mengaku kaya-raya, yang menter-menterinya bermobil mahal, wakil rakyatnya wangi dan buncit perutnya, pagar istana preisdennya bernilai 20 miliar rupiah lebih, gedung-gedungnya tinggi mencongkaki langit; namun denyut hidup sastranya di pintu sakratulmaut lantaran kelangkaan media representatif. Padahal, hasil kreasi sastra itu akan dibaca bangsa lain pula sebagai identitas bangsa itu; padahal, Malaysia yang tempo dulu hormat ke negeri ini laiknya ke abang, jangan lagi media-media sastra representatif, tokoh-tokoh sastranya pun diberi negara gelar Sastrawan Negara dengan berbagai fasilitas.
Hemat saya, kesadaran kepada jati-diri/identitas bangsa melalui sastra itu yang mendong banyak orang atau pihak terpanggil menerbitkan media-media sastra, seni, budaya dasawarsa 1950-an atau sebelumnya; beberapa waktu sesudah atau menjelang bangsa ini merdeka. Padahal, secara materi bangsa kita zaman itu tentu belum sejaya sekarang. Tapi, itulah, mereka memiliki kesadaran, memiliki komitmen yang tinggi.
Apakah dengan begitu, saat ini, kita, bangsa ini, tidak lagi memiliki kesadaran serupa atas peran sastra bagi identitas bangsa, bagi pembangunan spritual? Tidak akan saya jawab pertanyaan ini, di tengah maraknya budaya kulit/fisik merajelala, sehingga orang senyum saja walau sudah menipu serta korup untuk memuaskan dahaga rakus itu dan budaya kulit/fisik itu. Lebih baik, sambil senyum haru, saya lagi-lagi memberi apresiasi pada rubrik-rubrik sastra surat kabar tadi: yang bercorak ketiga, dua, apalagi yang pertama. ***
* Adek Alwi, sastrawan, wartawan, dan dosen Poltek UI
Sumber: Suara Karya, Sabtu, 20 Februari 2010
No comments:
Post a Comment