Monday, February 08, 2010

Tradisi Lisan: Pantun Minang pada Kaus

KREATIVITAS di Ranah Minang masih hidup. Meski berkali-kali diguncang gempa besar, semangat hidup warga tak runtuh. Mereka terus bangkit seraya menjunjung tradisi budaya lokal.

Gambaran itu tertuang dalam pantun yang berbunyi; sakali aia gadang//sakali tapian barubah//nan aia, ka hilia juo//sakali balega gadang//sakali aturan batuka//nan adaik baitu juo.

Terjemahan ringkasnya, apa pun yang terjadi, sekalipun ada bencana ataupun pergantian pemimpin, tradisi adat akan tetap terjaga.

Hingga kini kekayaan tradisi lisan Minangkabau masih berkembang di tengah masyarakat turun-temurun. Sayangnya, pelestarian pantun cenderung kendur di sektor pendidikan. Para guru mulai jarang mengajarkannya di sekolah.

Seorang Christine Hakim (53), perempuan Tionghoa, membangunkan ingatan urang awak. Dia tidak rela tradisi lisan Minang hilang oleh waktu. ”Tradisi ini harus berkembang meski di sekolah mulai ditinggalkan,” demikian pendapatnya.

Christine menggali kreativitasnya dengan mengabadikan pantun Minang ke dalam kaus. Upaya ini diharapkannya menjadi pengingat warga akan pesan moral adat Minang.

Ide itu muncul beberapa pekan sebelum gempa mengguncang Sumatera Barat, 30 September 2009. Christine tidak ingin dikenal orang hanya sebagai penjual keripik balado (keripik singkong yang diberi cabe merah). Dia mengingat dan mencari tahu pantun adat Minang yang berkembang di masyarakat.

”Meskipun saya orang China, tetapi saya hidup dan lahir di sini. Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung,” tutur Christine yang fasih bahasa Minang.

Ada lima pantun populer yang berhasil diabadikannya dalam kaus bagian belakang. Pantun-pantun itu umumnya berisi pesan moral keluarga, hubungan antarmanusia, dan pesan moral kepada seorang perantau.

Salah satu pantun populer yang diabadikannya melalui kaus berbunyi; pulau pandan jauah di tangah//di baliak pulau si ansao duo//hancua badan dikandung tanah//budi baiak takana juo. Pantun ini bercerita tentang kebaikan seseorang tidak akan hilang meski sudah mati terkubur di dalam tanah.

Adapun bagian depan kaus berisi gambar pusaka budaya Minang, di antaranya tabuik (tempat penyimpan padi sebagai simbol bersukaria), Jam Gadang di Bukit Tinggi, dan kawasan kota tua Padang.

Respons masyarakat

Untuk memproduksi kaus berpantun itu, Christine bekerja sama dengan produsen kaus di Bandung, Jawa Barat. Produksi pertama berhasil dipasarkannya seminggu sebelum Lebaran 2009 dengan harga Rp 85.000 per potong, diskon 20 persen. Bagi pembeli yang ingin menjual lagi, dia memberi potongan 50 persen dari harga jual.

Respons masyarakat luar biasa. Pengunjung pusat oleh-oleh di Jalan Nipah, Padang, tidak hanya membeli keripik balado. Mereka juga membeli kaus berisi pantun Minang tersebut. Galeri kaus itu berada di ruang terpisah, tak disatukan dengan aneka oleh-oleh makanan.

Perantau asal Minang tak sedikit yang memesan kaus seperti itu. Pegawai asal Jakarta, Edy (50), mengaku terkesan dengan kaus pantun tersebut. ”Kaus berisi pantun itu original,” katanya.

Budayawan Minang, Mak Katik (60), menghargai upaya Christine. Dia bahkan baru tahu tentang produksi tersebut saat dimintai komentarnya oleh Kompas. Mak Katik mengakui, tradisi lisan Minang cenderung ditinggalkan orang belakangan ini. ”Pada pertengahan 1970-an, saat Hasan Basri Durin menjabat sebagai Wali Kota Padang, upaya melestarikan tradisi lisan ini begitu kuat,” katanya.

Pelestarian budaya, lanjutnya, sebenarnya bisa dilakukan siapa saja, termasuk Christine. ”Mestinya gempa membuat masyarakat semakin kuat mentalnya, tanpa harus menangisi kesedihan berlarut-larut. Kami melihat gempa ini sebagai takdir. Kami pasrah. Di mana pun dan kapan pun bencana bisa terjadi. Air mata tidak bisa menyelesaikan persoalan,” kata Mak Katik.

Ia kemudian mengingatkan sebuah pesan ketabahan hidup dalam sebuah pantun. Garak janji imbauan barih//takadia sipatan Tuhan//kito nan utang manapati//nan pokok lai ba usaho.

Apa pun keputusan Tuhan atas manusia, semestinya dihadapi dengan tawakal. Berusaha itu sangat penting, tidak berpangku tangan di tengah bencana, seperti yang dilakukan Christine Hakim.

(Andy Riza Hidayat)

Sumber: Kompas, Senin, 8 Februari 2010

No comments: