Friday, February 12, 2010

[Fokus] Perjalanan: Memanggul Beban Sejarah

ADA 30-an orang duduk mengelilingi meja panjang di ruang lantai tiga sebuah ruko di Jalan Lautze, Jakarta, Rabu (3/2) sore. Beberapa memilih menonton televisi di ujung ruangan yang hidup tetapi suaranya dikecilkan. Sajian pertemuan itu rambutan di atas tampah.

Mahasiswa UI mengikuti apel kebulatan tekad menjelang Peristiwa Malari 1974. (KOMPAS/AVENT KUANG)

Diskusi Reboan di Indemo (Indonesian Democracy Monitor), jaringan yang memfasilitasi pengembangan wacana dan sumber daya kekuatan demokratis yang dipimpin dr Hariman Siregar, sore itu seputar kerbau. Sehari sebelumnya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menginstruksikan para menteri dan gubernur se-Indonesia untuk membahas cara unjuk rasa. ”Ada yang bawa kerbau, ’SBY badannya besar, malas dan bodoh seperti kerbau’. Apa itu ekspresi kebebasan dan demokrasi,” begitu antara lain ungkapan Presiden dalam rapat kerja di Istana Kepresidenan di Cipanas (Kompas, 3/2).

Seorang peserta diskusi mengatakan, dalam masyarakat Sumatera Barat dan Sumatera Selatan, kerbau adalah hewan terhormat. Dibahas juga posisi kerbau dalam masyarakat Tionghoa. Diskusi dengan peserta dari berbagai latar belakang dan lintas usia, termasuk mahasiswa, tersebut biasa berlangsung sekitar satu jam. Sore itu diskusi bubar tanpa membuat kesimpulan, kecuali sepakat kerbau bukan hewan yang selalu berkonotasi negatif.

Pembawa kerbau dalam unjuk rasa 28 Januari 2010 adalah Yosep Rizal (35). Lulusan perguruan tinggi swasta di Jakarta tahun 2002 itu sudah ikut demo sejak duduk di semester dua. Dia mendapat kerbau melalui teman dan menggiring kerbau yang tubuhnya ditulisi Si Bu Ya memakai cat bersama lima teman. Mantan aktivis Pijar ini mengaku mendapat ide membawa kerbau ketika sedang baca buku di rumah kosnya di bilangan Kampung Melayu, Jakarta. Seperti juga ketika terpikir ide melempar telur busuk dalam demo di Kementerian Keuangan menuntut penuntasan kasus Bank Century.

”Saya langsung kirim SMS ke teman-teman dan kami matangkan saat berkumpul,” kata Yosep yang mengaku mendapat bahan analisis situasi melalui media dan mengikuti berbagai diskusi, termasuk di Indemo.

Mantan redaktur pelaksana majalah Expand dan kini penulis lepas itu menyebut cara tersebut untuk menarik perhatian. ”Yang lebih penting makna substansialnya,” ujar Yosep awal pekan ini. Apa yang substansial itu, Yosep menyerahkan kepada yang memaknai.

Peran mahasiswa

Bila aksi 28 Januari 2010 dapat dipakai sebagai gambaran terkini, maka gerakan mahasiswa tidak satu dalam isu, tidak ada sosok kepemimpinan yang jelas, dan tidak tampak jelas landasan aksi mereka (baca halaman 33).

Sebagai aktivis gerakan mahasiswa yang dihukum enam tahun dalam peristiwa Malari (Malapetaka 15 Januari 1974), Hariman mengatakan, gerakan mahasiswa saat ini berbeda dari sebelum tahun 1998.

”Demokrasi membuat mahasiswa tidak lagi istimewa. Ada institusi yang melaksanakan agenda kontrol pada pemerintah, yaitu partai politik. Tidak ada lagi diskusi bersifat ideologis karena muncul tempat-tempat dialog di luar kampus,” cetus Hariman.

Gerakan mahasiswa kini juga tidak sendirian. Kelompok buruh, tani, organisasi masyarakat sipil, termasuk perempuan, juga melakukan apa yang sebelum 1998 dilakukan gerakan mahasiswa, yaitu membuat riset, menganalisis situasi, dan menggalang aksi.

Situasi ini berbeda dari keadaan sebelum 1998 ketika OMS (organisasi masyarakat sipil), media, dan partai politik tidak dapat atau tidak berani bersuara. Mahasiswa sebagai bagian dari masyarakat intelektual melakukan fitrahnya, yaitu membuat riset, diskusi, analisis, dan menyuarakan ketidakadilan yang dialami rakyat. ”Gerakan mahasiswa tampil sebagai gerakan moral ketika kondisi politik macet, tidak ada saluran,” kata Hariman. Hariman mengartikan gerakan moral sebagai gerakan yang tidak berhubungan dengan perebutan kekuasaan dan membawakan perasaan orang banyak.

Almarhum Jenderal AH Nasution dalam bukunya, Mengawal Nurani Bangsa, Jilid III: Bersama Mahasiswa ”Aset Utama Pejuang Nurani” (2008, Yayasan Kasih Adik dan Disbintalad), mencatat mahasiswa mendiskusikan dan menganalisis persoalan substansial, antara lain dwifungsi ABRI yang menyebabkan munculnya ”hak istimewa” bagi petinggi tentara, kritik terhadap pembangunan yang lebih berorientasi pertumbuhan produk nasional bruto (GNP) sehingga pemerataan tertinggal, penguasa yang menggerogoti hasil pembangunan, cengkeraman modal asing, dan kolusi antara penguasa dan pengusaha.

Francois Raillon dalam Politik dan Ideologi Mahasiswa Indonesia, Pembentukan dan Konsolidasi Orde Baru 1966-1974 (1989, LP3ES) menyebutkan mahasiswa membuat pers sendiri setelah mandulnya pers umum pada 1966. Dua koran terpenting, menurut Raillon, adalah mingguan Mahasiswa Indonesia edisi Jawa Barat, terbit di Bandung pada Juni 1966, didirikan Awan Karmawan Burhan, Rahman Tolleng, dan Ir Riandi. Yang lain adalah Harian KAMI, terbit di Jakarta. Selama masa terbitnya hingga 1974, Raillon menilai Mahasiswa Indonesia merupakan ”sumber amat berharga mengenai perdebatan-perdebatan ideologi yang tetap dipakai sampai sekarang” (hal ix). Mingguan yang juga dipasarkan ke masyarakat umum itu memuat editorial dan artikel tentang tidak sejalannya pertumbuhan GNP dengan ketimpangan struktural yang terasa menimbulkan masalah sosial pada awal 1970-an.

Penggagas

Salah satu peran penting mahasiswa hingga 1990-an, menurut Arbi Sanit dalam Pergolakan Melawan Kekuasaan, Gerakan Mahasiswa antara Aksi Moral dan Politik (1999, Insist Press dan Pustaka Pelajar), adalah sebagai penggagas ideologi (tatanan nilai yang dimanfaatkan masyarakat sebagai pedoman kehidupan bersama dalam meraih harapan-harapan bersama) bangsa.

Mahasiswa era 1910-an hingga 1930-an, menurut Arbi Sanit, berperan sebagai penggagas ideologi karena saat itu mahasiswa adalah unsur utama kelompok intelektual Indonesia. Pada era 1940-an peran penggagas bergeser menjadi pendukung dan penerap ideologi. Peran sebagai penggagas ideologi kembali menguat setelah paruh kedua 1960-an sampai awal 1980-an kemudian menurun untuk menguat kembali pada akhir masa Orde Baru.

Dalam menjalani salah satu perannya tersebut hingga 1980-an mahasiswa melakukan kegiatan ”elitis”: diskusi kampus, riset dan analisis keadaan, serta berdiskusi dengan tokoh-tokoh masyarakat. Hal itu belum banyak dilakukan kelompok yang disuarakan mahasiswa: buruh, tani, nelayan, masyarakat miskin.

Karena kritik mahasiswa terhadap pembangunan, Presiden Soeharto mau berdialog dengan mahasiswa pada 11 Januari 1974 di Binagraha (Aksi Mahasiswa Menuju Gerbang Reformasi, A Ariobimo Nusantara, R Masri Sareb Putra, YB Sudarmanto; 1998). Pada 24 Juli 1977 tujuh menteri di bawah pimpinan Prof Dr Sumitro Djojohadikusumo ditugasi berdiskusi dengan mahasiswa.

Meski begitu, kritik terus berjalan. Menjelang diberangusnya dewan mahasiswa (dema) pada 21 Januari 1978, Dema ITB, misalnya, mengeluarkan pernyataan tidak memercayai dan tidak menginginkan Soeharto lagi sebagai presiden. Bukan hanya karena soal kekayaan pribadi, tetapi juga pilihan strategi pembangunan dengan menyajikan data kegagalan di berbagai sektor pembangunan.

Pada era 1990-an, peran tersebut dilakukan dengan membangun gerakan bersama kelompok petani, nelayan, dan buruh. Gerakan mahasiswa 1990-an, menurut Arief Budiman dari Angkatan ’66 dalam pengantar Pergolakan Melawan Kekuasaan, lebih mandiri daripada, misalnya, gerakan 1966 yang didukung tentara.

Budiman Sudjatmiko, pendiri Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi dan Partai Rakyat Demokratik pada 1994 dan kini anggota DPR dari PDI-P, mengatakan, pada awal 1990-an dia dan teman-teman mahasiswa lain tinggal bersama buruh, nelayan, dan petani untuk membantu mengorganisasi diri, menumbuhkan pemimpin, dan bersikap kritis terhadap kebijakan pemerintah. Kegiatan itu menjadi bagian dari kerja intelektual berupa riset dan analisis kebijakan pembangunan dan membangun demokrasi, mengorganisasi diri, sekaligus melakukan aksi lapangan. ”Kami dulu pemikir dan pelaku (aksi) sekaligus,” kata Budiman.

Tantangannya kini adalah mencari peran strategis baru agar mahasiswa tetap dapat memainkan peran seperti ditunjukkan sejarah, yaitu pembaru dan agen perubahan. (Ninuk MP)

Sumber: Kompas, Jumat, 12 Februari 2010

No comments: