-- Saifur Rohman*
SEORANG profesor diduga melakukan penjiplakan terhadap karya orang lain. Peristiwa ini mencuat setelah The Jakarta Post menurunkan editorial yang berisi peringatan dan penyesalan atas kasus ini (4/2/10). Bila meneliti lebih jauh dua tulisan yang dipersoalkan dapat diketahui bahwa modusnya adalah mengganti nama penulis asli dengan namanya untuk dipublikasikan.
Dugaan itu kiranya pantas diajukan karena berdasarkan teori kemungkinan, kesamaan tema bisa saja terjadi, tetapi kesamaan struktur kalimat, titik koma, dan paragraf adalah sesuatu yang tidak mungkin. Akibatnya, pada 8 Februari 2010 dia mengundurkan diri dari institusi tempat dia melaksanakan tridarma perguruan tinggi. Jabatan fungsional sebagai guru besar terancam dicabut karena dianggap melakukan ”pelanggaran serius” dalam etika akademik.
Pertanyaan etis yang segera muncul dalam kasus ini, bagaimana keputusan terbaik yang paling mungkin untuk kebaikan bersama? Jawabannya tidak bisa dilepaskan dari pertanyaan lanjutan; seberapa besar akibat dari keputusan tersebut bagi pengembangan dunia pendidikan kita? Tulisan ini tidak bermaksud membahas tulisan jiplakan, tetapi menawarkan keputusan etis yang paling masuk akal.
Keutamaan dan kebenaran
Teori etika yang dapat diringkas selama 2.500 tahun bertujuan menyibak keutamaan (Yunani: arete) dalam tindakan seseorang. Aristoteles dalam Nicomachean Ethics sudah jelas memberikan keterangan, ”Arete adalah keluhuran yang berpangkal pada setiap tindakan seseorang dan oleh karenanya keluhuran masing-masing akan berbeda” (1104b15). Keutamaan seorang prajurit adalah keberanian, berbeda dengan pemimpin yang mengutamakan keadilan. Teoremanya jelas, jika pemimpin kehilangan keadilan, dia kehilangan keutamaan.
Kaitannya dengan dunia akademik, keutamaan seorang akademisi adalah penyampaian kebenaran secara gamblang dan rinci (clara et distincta). Itulah kenapa ada julukan intelektual pelacur bilamana seorang akademisi telah berani memanipulasi kebenaran ilmiah untuk memperkaya diri.
Ada intelektual selebriti karena memanipulasi kebenaran agar bisa terkenal. Ada intelektual tukang karena memanfaatkan kebenaran ilmiah berdasarkan pesanan. Ada intelektual asu (dari bahasa arab, ’’as-Syu’’, buruk) karena menjadikan kebenaran sebagai budak kekuasaan.
Selama ini, kebenaran akademik selalu dimaknai hanya sebagai kebenaran ilmiah. Kajian- kajian dari filsafat ilmu memberikan keterangan, kebenaran ilmiah bisa memperoleh makna keabsahan sekurang-kurangnya didasarkan pada dua hal. Pertama, kebenaran koherensial yang menuntut suatu pernyataan ilmiah mesti sesuai dengan pernyataan-pernyataan sebelumnya.
Kedua, kebenaran korespondensial, artinya pernyataan ilmiah haruslah memperoleh konfirmasi faktual sehingga bisa dikatakan sahih.
Di kelak kemudian hari, teori falsifikasi yang dikembangkan Karl Raymund Popper memberikan pelajaran, kesalahan dalam penerapan dua prinsip tersebut adalah sesuatu yang wajar karena kebenaran ilmiah tidaklah bersifat absolut. Akan tetapi, ketidakjujuran ilmuwan dalam mengungkapkan kebenaran ilmiah tentu saja menghilangkan keutamaannya. Artinya, ada yang lebih utama ketimbang kebenaran ilmiah.
Kultur akademik
Pelajaran yang bisa diambil dari kasus yang sedang kita hadapi, persoalannya tidaklah terletak pada falsifikasi atas kebenaran ilmiah, tetapi pada sikap akademisi terhadap kebenaran. Sudah jujurkah sang ilmuwan menguraikan kebenaran dalam pernyataan-pernyataan argumentatif?
Pada kenyataannya, argumentasi dalam sebuah proposisi keilmuan memang tidak bisa dikelabuhi karena bisa diuji melalui ilmu logika, tetapi proses pemunculan argumentasi itu tidak sulit untuk dimanipulasi. Sudah jamak dilakukan dalam penelitian sosial karena data statistik membentuk kurva juling, maka harus bisa ”dipaksa” menjadi kurva normal. Ilmu alam dikatakan sudah sahih bila sesuai dengan rumus hipotetis-apriori yang ditetapkan sebelumnya.
Dalam penelitian ilmu humaniora, kasus Jacques Derrida dalam penafsiran sebetulnya hanyalah ”membelokkan” kata, parafrase, dan maksud dari sumber-sumber asal.
Karena itu, sikap ilmuwan terhadap kebenaran ilmiah jelas membutuhkan tolok ukur lain yang menyangkut kejujuran, moralitas, dan integritas keilmuwan seseorang. Di dalam perspektif sosiologi ilmu, tolok ukur ini merupakan bagian sari pembangunan kultur akademik.
Dalam praktiknya, pembangunan kultur akademik di Indonesia memang kurang memadai. Contoh, dalam setiap lingkungan kampus sangat gampang dijumpai para ”konsultan” skripsi, tesis, dan disertasi. Rahasia umumnya, mereka membuatkan, bukan pembimbingan.
Terkait dengan kenaikan jabatan fungsional, seorang dosen bisa menjiplak karya orang lain untuk pembuatan buku ajar, mengunduh dari open source, ”titip nama” dalam tulisan ilmiah, atau ”mendompleng kelompok penelitian” dalam usulan penelitian.
Awal tahun ini, mencuat kasus ”pembersihan” ruangan perpustakaan dari skripsi-skripsi lama karena menyesaki ruangan. Skripsi dijual kiloan dan dapat dengan mudah ditemui di pasar buku bekas.
Belajar dari kenyataan itu, kasus penjiplakan oleh seorang guru besar kiranya hanyalah bagian kecil dari carut marut kultur akademik kita hari ini. Itu hanya kebetulan terungkap, di luarnya tak terhitung. Karena itu, penjatuhan sanksi terhadap pelaku pelanggaran tidaklah sekadar memberi efek jera bagi pelaku sebagaimana dianut dalam teori hukum. Tanpa harus menghilangkan semua pencapaian akademisnya selama ini, sanksi itu haruslah ditempatkan dalam kerangka pemahaman tentang pentingnya penegakan budaya akademik dalam skala yang lebih luas (11/2/10).
* Saifur Rohman, Ahli Filsafat dari Universitas Semarang
Sumber: Kompas, Jumat, 12 Februari 2010
No comments:
Post a Comment