Saturday, February 13, 2010

[Teroka] Formalinisasi Bahasa Indonesia

-- Saifur Rohman

DALAM Eerst Indonesia Jeudcongres (Kongres Pemuda Indonesia I) 1926, Mohamad Jamin memberikan pidato tentang masa depan bahasa Melayu di Nusantara. Judulnya, ”De Toekomstmogelijkheden van Onze Indonesische talen en letterkunde”. Dalam pidato itu dituliskan simpulan penting, ”Dat de toekomstige Indonesische cultuur zijn uitdrukking in die taal vinden zal (Verhandeling: 1926).” Artinya, masa depan kebudayaan Indonesia akan dinyatakan dalam bahasa Melayu. Bahasa itulah yang menjadi identitas kebangsaan Indonesia sebagaimana dituangkan secara eksplisit dua tahun kemudian pada 28 Oktober 1928.

Menurut bayangan Jamin, bahasa Indonesia (Indonesische talen) dan budaya Indonesia (Indonesiche cultuur) akan sampai pada kepaduan sebagai satu identitas bangsa, sebagai gaya hidup warga.

Tetapi, hari-hari terakhir ini kita ditantang oleh kenyataan yang berbeda. Pembakuan bahasa Indonesia dalam undang- undang mengarah pada pembekuan dan berbahasa Indonesia dalam konteks praksis mengarah pada pencarian (identitas baru) atau pencairan (identitas lama). Bila dibandingkan dengan bayangan Mohamad Jamin, apa yang sesungguhnya terjadi dengan bahasa Indonesia dalam konteks pembangunan identitas kebangsaan masa kini?

Menjadi asing

Bahasa Indonesia baku selama ini hanya digunakan dalam konteks yang tertentu dan sangat khusus. Bahasa baku telah menjadi bahasa asing dalam komunikasi sehari-hari warga bangsa. Contoh, dari 24 jam siaran televisi, bahasa baku hanya tampak dalam siaran berita yang berdurasi sekitar 90 menit per hari.

Selebihnya, kita tidak menemukan dalam komunikasi periklanan, pemilihan nama acara, dan praktik berbahasa di dalam siaran itu sendiri. Alasannya, bahasa baku tidak bernilai jual (ekonomis), tidak gaul (komunikatif), tidak mengangkat gengsi (pencitraan), dan tidak mampu meraih penghayatan pembaca (intensitas). Kenyataan itu menempatkan bahasa Indonesia bukan lagi sebagai gaya hidup, bukan bagian dari jiwa penutur.

Kenyataan itu dapat dipahami melalui teori klasik Ludwig Wittgenstein. Katanya, ”Tindak berbahasa sangat terikat dengan konteks yang membangun pembicaraan (Philosophical Investigaton, 1989:16).” Konteks itu adalah ruang dan waktu, tujuan penutur, dan segmen pendengar. Ketika seorang penutur berbicara, hal itu berarti mengikuti aturan yang ditentukan oleh kontekstualitas.

Bila teori itu sahih, penerapannya dalam konteks masa kini menjadi jelas bahwa bahasa Indonesia hanyalah menjadi satu dari sekian banyak aturan permainan dalam berbahasa. Posisinya tidak lagi dominan sebagai pembentuk aturan kuat dalam komunikasi di Indonesia. Sebab, tindak berbahasa masyarakat dibimbing bukan oleh budaya Indonesia (sebagaimana dicita-citakan Mohamad Jamin), tetapi budaya dominan yang diimpor.

Keinggris-inggrisan

Konfirmasi faktual, bila di Singapura ada tindak berbahasa Singlish (Singapore English), di Indonesia ada Indlish (Indonesia English). Singlish di Singapura adalah bahasa Inggris dengan logat Melayu (Singapura). Tetapi, bagi masyarakat Indonesia, Indlis diterjemahkan sebagai bahasa Indonesia yang keinggris-inggrisan: bahasa Indonesia bukan, bahasa Inggris juga bukan.

Hal itu mengingatkan kita tentang sebuah fenomena berbahasa pada masa kolonial ketika bahasa daerah dicampur dengan bahasa Belanda. Fenomena ini disebut dengan bahasa petjoek (Sumber: Djoko Soekiman, 2000:215). Subagyo Sastrowardoyo menyebut dengan istilah belletrij (1983: 75). Referensi mutakhir didapat dari VE de Gruiter dalam Het Javindo, de Vorboden Taal (1990). Disebutnya gaya campuran itu sebagai kroyo.

Gruiter mencatat percakapan sehari-hari masyarakat Hindia Belanda sebagai ungkapan percampuran antara bahasa Jawa dan Belanda.

Gaya petjoek itu masih terlihat dalam pidato-pidato Soekarno. Uniknya, ketika Mohamad Jamin menegaskan tentang pentingnya bahasa Melayu sebagai bahasa kebangsaan Indonesia, dia menggunakan bahasa Belanda jekek.

Fakta-fakta itu menegaskan, tindak berbahasa memberikan ilustrasi tentang hadirnya budaya dominan yang menjiwai kesadaran para penutur bahasa. Pada masa prakolonial, bahasa dominan adalah bahasa Arab sehingga menghasilkan kebudayaan Arab pegon (bahasa Jawa berhuruf Arab) dan Arab Jawi (bahasa Melayu berhuruf Arab). Pada masa kolonial, bahasa Melayu berada di bawah bayang-bayang bahasa Belanda. Masa pascakolonial, bahasa Indonesia seperti menjadi catatan kaki dari bahasa Inggris.

Strategi pembakuan bahasa Indonesia tanpa disertai upaya sungguh-sungguh membangun identitas keindonesiaan, seperti mengganti plastik baru untuk ikan busuk. Gamblangnya, formalisasi bahasa Indonesia yang berlebihan hanya akan menjadi formalinisasi bahasa. Mewah, segar, tetapi beracun.

* Saifur Rohman, Peneliti Filsafat; Bekerja dan Menetap di Semarang

Sumber: Kompas, Sabtu, 13 Februari 2010

No comments: