-- Bernando J Sujibto
Siapa pun akan bergeming jika menyaksikan banyak bangsa harus lenyap tanpa menyisakan warisan sejarah. Bangsa yang lenyap itu, secara arif, harus diakui keberadaannya dan dihormati sebagai bagian dari proses peradaban manusia.
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO
Keyakinan ini menancap di dada Milorad Pavic, profesor sejarah kesusastraan Universitas Beograd yang juga merupakan salah satu penyair kenamaan Yugoslavia. Pavic membuktikan diri dengan menuliskan ini. Baginya, apa yang ia rangkai ini sebagai upaya menghadirkan kembali memori masa silam sebuah bangsa, yaitu bangsa Khazar. Ia mencoba menelusuri berbagai sumber dan gelombang perseteruan bangsa itu. Meski karya fiksi, novel ini tetap menjadi penjentik ingatan kolektif kita pada sebuah bangsa yang sempat mempunyai peradaban gemilang pada masanya.
Tidak bisa dimungkiri, sejarah telah mencatat dengan tinta merah tentang bangsa-bangsa yang lenyap tanpa jejak. Bisa disebutkan beberapa bangsa yang senasib dengan Khazar, seperti Inca (1438-1533) di Peru dan Aztek di Meksiko sekitar abad ke-12. Juga Mohenjodaro, Harappa, dan Arya yang hidup di lembah Sungai Indus (Pakistan sekarang) 2000-1000 SM. Mereka nyaris tidak menyisakan warisan sejarah dan peninggalan. Kebanyakan musnah karena penaklukan, perang, dan ekspansi tanah jajahan, juga tak luput karena bencana alam.
Nama ”Khazar” (Khazaria: Arab) berkaitan dengan kata kerja bahasa Turki yang berarti ”mengembara” (gezer dalam bahasa Turki modern). Pada abad ke-7 M mereka mendirikan sebuah Khaganat (nama kerajaan Khazar) yang mandiri di Kaukasus Utara di sepanjang Laut Kaspia. Pada puncak kejayaannya, mereka dan cabang-cabang mereka menguasai sebagian besar dari wilayah Rusia selatan sekarang, Kazakhstan barat, Ukraina timur, dan sebagian besar Kaukasus (termasuk Dagestan, Azerbaijan, dan Georgia), serta daerah Krim. Bangsa Khazar memasuki catatan sejarah ketika mereka memerangi bangsa Arab dan bersekutu dengan Kekaisaran Bizentium pada 627 M (hal 10).
Semesta religiositas
Menjajaki sejarah Khazar bagai menyelami laut keruh dan bahkan hitam. Kepastian sejarah yang bisa diandalkan belum bisa diyakinkan. Karena itu, hadirnya novel ini menjadi istimewa di tengah kebingungan para sejarawan mencari fakta. Pavic sangat lihai mencampuradukkan sejarah dengan fiksi melalui novel bergenre baru dengan eksperimen-postmodern yang belum dilakukan oleh novelis lain. Cara penyusunan yang unik dan sangat rapi, seperti sebuah ensiklopedia, menjadi keistimewaan yang tinggi dalam novel ini.
Novel ini secara spesifik mengambil fase pergolakan kehidupan Khazar di abad ke-9 M hingga awal abad ke-10 M. Ketika itu terjadi sebuah peristiwa krusial yang menentukan masa depan bangsa Khazar, yang disebut Polemik Khazar. Ini adalah peristiwa perpindahan mereka dari keyakinan asli mereka (tidak diketahui) ke salah satu (juga tidak diketahui) dari tiga agama yang dikenal pada masa lalu maupun sekarang—Yahudi, Islam, atau Kristen. Keruntuhan Imperium Khazar terjadi tak lama setelah perpindahan agama itu. Seorang panglima perang Rusia abad ke-10, Pangeran Svyatoslav, menelan Imperium Khazar layaknya melahap sebuah apel tanpa perlu turun dari kudanya (hal 11).
Polemik Khazar yang melibatkan tiga agama besar di atas menambahkan kecemerlangan novel ini. Kelebihannya karena menyajikan khazanah agama-agama besar di muka bumi yang mempunyai sejarah panjang dalam peradaban kemanusiaan. Semesta religiositas ini sangat menonjol dan dominan di tangan Pavic. Ia mencoba proporsional dalam menyajikan sumber-sumber tentang Khazar dalam perspektif agama Kristen, Islam, dan Yahudi ke dalam tiga jilid, yakni Buku Merah (dengan sudut pandang Kristen), Buku Hijau (dengan sudut pandang Islam), dan Buku Kuning (dengan sudut pandang Yahudi). Masing-masing memberikan penjelasan tentang bangsa Khazar dan polemik yang menyertainya.
Tiga agama di atas dalam studi agama disebut sebagai agama samawi atau agama yang turun dari langit. Mereka telah menunjukkan dirinya sebagai agama yang mempunyai peradaban penting masing- masing. Ketiga agama di atas lahir dari tanah yang sama, yaitu Jerusalem.
Novel ini mencoba menyeimbangkan dan membangun jembatan dialogis tentang Khazar dari sumber ketiga agama di atas. Dengan demikian, tampak sekali harmoni dan sinergi yang hendak dibangun Pavic. Ia tidak menonjolkan satu agama dalam memberikan keterangan tentang bangsa Khazar. Pavic sangat cerdik dengan melakukan kerja serius untuk mengumpulkan narasi-narasi dari ketiga agama secara adil dan bijak. Karena itu, meskipun ini hanya fiksi, semua orang yang paham tentang sejarah pada masa itu akan merasa puas terhadap mahakarya Pavic ini.
Keistimewaan lain, ketika membaca novel ini, kita dibebaskan untuk memulai dari mana saja, sesuai dengan selera, keyakinan, dan kecenderungan latar belakang masing-masing. Dimulai menurut konteks latar agama, dipersilakan, pun dari tokoh-tokoh ketiga agama yang bisa saja ditemukan dalam novel ini. Namanya saja sebuah ensiklopedia dengan subyek yang sama, yaitu Khazar.
Sebuah gugatan
Hadirnya novel ini mempunyai makna yang kompleks. Ia bukan saja hanya menghadirkan memori kolektif sebuah bangsa, dengan rekam jejak sejarah dan bekas-bekas peninggalannya. Lebih jauh, novel ini sepertinya ingin menggugat ”mayoritas” atau siapa pun bangsa dan negara yang mempunyai kekuatan besar. Mereka yang kemudian menggunakan kekuatan itu untuk menghabiskan sebuah suku, agama, bangsa, ataupun negara ”minoritas”.
Dengan novel ini, Pavic ingin menegaskan diri sebagai duta kaum minoritas, terpinggirkan, dan kalah. Ia memberikan pelajaran penting bagi peradaban manusia masa kini tentang bagaimana harus menyikapi khazanah dan kekayaan yang beraneka ragam mengenai sebuah bangsa dan negara. Meskipun tidak secara tersurat membeberkan semua itu, Pavic tetap saja menunjukkannya dengan konsisten, tekun, dan bersabar, yaitu melalui upaya penelusuran tentang jejak sejarah dan sumber penting yang terjadi di balik bangsa Khazar.
* Bernando J Sujibto, Pembaca Buku dan Editor; Tinggal di Yogyakarta
Sumber: Kompas, Minggu, 28 Februari 2010
No comments:
Post a Comment