Sunday, February 07, 2010

Warna Budaya Bandung

-- Abdullah Mustappa

KARENA sejak awal dirancang sebagai kota modern, yang acuannya adalah kota-kota di Eropa (saat itu), perencanaan Kota Bandung tidak sempat menyediakan tempat yang layak untuk menampung serta menyelenggarakan segala bentuk kreativitas warna lokal. Salah satu monumennya yang sekarang masih bisa dibaca adalah Gedung Merdeka.

Gedung yang kemegahannya masih dikagumi hingga saat ini, memang dimaksudkan sebagai gedung kesenian (Eropa). Tuan-tuan Belanda yang kaya-raya berkat perkebunan yang menghasilkan keuntungan sangat besar, tanpa kesulitan mendatangkan kesenian serta atraksi kesenian dari benua asalnya. Mereka menikmatinya di sini dengan suasana hati yang sangat senang.

Bahwa Gedung Merdeka dirancang nyaris sempurna memenuhi selera masih dapat kita rasakan sampai saat ini. Rancang bangun gedung tersebut dibuat sedemikian rupa sehingga apa pun pertunjukan kesenian yang disajikan di sana akan dapat dinikmati dengan baik. Modal besar sebagai dukungan awal berhasil diimbangi dengan terciptanya kenyamanan bagi siapa pun yang berada di dalamnya. Kesadaran seperti itu hampir tidak lagi kita temukan saat ini. Gedung-gedung dibangun hanya seolah-olah megah atau sebatas menampilkan kemegahan semu. Sementara aspek kenyamanan, terutama jika berada di dalamnya, hampir tidak dijadikan capaian utama.

Namun, ada pertanyaan yang sampai sekarang terus mengusik: ketika tuan-tuan Belanda serta Eropa lainnya menikmati pertunjukan kesenian di Gedung Merdeka saat itu, lalu di manakah orang pribumi menikmati dan mengekspresikan kreativitasnya sebagai insan budaya?

Pertanyaan berbau kolonial seperti itu hampir mustahil akan menemukan jawaban yang menyenangkan hati kita. Pilihan jawabannya akan selalu menawarkan kebalikannya. Jika tuan-tuan kolonial mengumbar syahwat keseniannya di tempat yang megah dan terhormat, kalangan pribumi barangkali harus berpuas diri melepaskan hasrat seninya di bawah rumpun bambu atau di tepi kali.

Mengenang kembali kejayaan kolonialisme, meski harus diakui telah memberikan sumbangan besar dalam perkembangan kebudayaan, memang akan selalu menyebabkan hati kita teriris dan sebal, karena sebagai bangsa terjajah, posisi kita sebagai pribumi dan pemilik bukan saja dilemahkan tetapi juga dihinakan justru oleh kaum pendatang dan perampas.

Namun dalam perjalanannya, ada sesuatu yang layak kita ingat dan kaji terus. Warga Bandung (dan juga Jawa Barat) mungkin belum lupa pada sebuah nama, Mang Udjo. Ketika peran Gedung Merdeka telah bergeser, bukan lagi gedung kesenian melainkan berubah menjadi gedung resmi yang kental dengan aroma politik, Mang Udjo dengan cerdik memanfaatkannya dan memutar arah penunjuk kompas kebudayaan yang sebelumnya telah dianggap baku dan mapan. Karena Gedung Merdeka sudah bukan lagi pusat kesenian, di manakah hasrat-hasrat naluriah manusia tentang keindahan itu harus difasilitasi?

Tidak mustahil kalau dia sendiri tidak menyadari efek besar dari apa yang dilakukannya. Namun jika dibaca serta ditafakuri kembali saat ini, Mang Udjo diam-diam telah melakukan perlawanan telak terhadap dominasi warna budaya kolonial. Jika budaya kolonial direpresentasikan di Gedung Merdeka yang megah dan berada di pusat kota, Mang Udjo justru memilih perencanaan situs budayanya di pinggiran. Dari pertimbangan apa pun Padasuka bukanlah tandingan Gedung Merdeka. Jika Gedung Merdeka dirintis, direncanakan, serta dikelola dengan dukungan kekuasaan dan modal yang luar biasa besarnya, Mang Udjo mengerjakan segala sesuatu di Padasuka sebatas apa adanya. Satu-satunya keunggulan, dan ini justru belum ditandingi oleh siapa pun, adalah semangat dan ambisi besarnya yang tidak mau menyerah. Dalam pandangan Mang Udjo, yang baru kemudian mampu kita baca dari hasil kerjanya, bagi Bandung dan Jawa Barat, kiblat budaya ke Eropa tidak semestinya dijadikan pedoman sebagai satu-satunya arah.

Dan yang dijadikan tawaran atau alternatif oleh Mang Udjo benar-benar radikal. Apa artinya saung angklung di Padasuka dibandingkan dengan Gedung Merdeka? Apa artinya angklung yang lahir dan besar di komunitas kampung dibandingkan dengan balet, teater, atau pertunjukan mode yang rujukannya ke Paris sana?

**

Bandung sudah berkali-kali dicanangkan sebagai kota budaya. Namun kita tidak boleh lupa bahwa selama ini kita hampir selalu rabun dalam memandang aneka warna kebudayaan yang sejatinya menjadi milik kita sepenuhnya. Format yang kita anut pun hampir senantiasa mencelakakan. Bahasa kita yang baku adalah kebudayaan nasional dan kebudayaan daerah. Normatifnya memang demikian. Ini jelas-jelas bahasa politik dan kekuasaan. Namun, anehnya diaminkan oleh kalangan budaya sendiri, yang dengan berapi-api pernah menolak adagium politik sebagai panglima, tanpa misalnya merasa perlu untuk memetakan posisi yang memberi peluang lebih leluasa atas nama kreativitas. Jika disebut budaya Jawa Barat maka itu artinya budaya daerah dan jelas makna (dan fasilitas serta penghargaannya) pun bukan budaya nasional. Anak kalimat ”telah memberikan sumbangan signifikan terhadap budaya nasional” adalah mantra utama dalam kategorisasi penghargaan budaya.

Bagi warga Bandung, mestinya ini menjadi perkara penting. Dalam urusan sejenis ini referensi kita pun terpaksa menyebut lagi nama Mang Udjo. Sebagai manusia yang wataknya malas, silakan saja berandai-andai: kalaupun tidak oleh Mang Udjo mungkin akan dilakukan oleh orang lain. Padahal orang lain yang ternyata tidak ada itu sama sekali tidak boleh diada-adakan. Faktanya, angklung yang asalnya dari kampung itu sekarang sudah menjadi warga dunia yang dimuliakan.

Kalau Bandung dicanangkan sebagai Kota Budaya memang modalnya bukanlah nol. Dan Mang Udjo tidak perlu dikultuskan. Namun beberapa catatan mesti segera disertakan.

Beberapa pribadi yang niatnya serius, berkarya, dan berpikir tentang persoalan ini, sering membanding-bandingkan. Mengapa kreasi Gugum Gumbira yang berlabel jaipongan selalu dibesar-besarkan dari sudut pandang yang tidak proporsional? Yang minatnya mengamati institusi berkali-kali mencoba mempertanyakan mengapa STSI Bandung masih juga berada di belakang STSI Solo? Yang selera humornya agak nakal bahkan tak segan mereka-reka, mestinya yang seperti Ganjar Kurnia itu ngantornya di STSI. Yang usil juga pengamat setia televisi. Kreator yang telah berhasil memberikan warna pada televisi-televisi di Jakarta sebagian besar berasal dari Bandung. Kalaupun bukan pituin orang sini, mereka menimba ilmunya di sini. Akan tetapi mengapa televisi yang ada di Bandung malah tidak memanfaatkannya?

Pendek kata, seolah-olah kita sepakat bahwa di Bandung ini ada potensi besar yang selama ini mengalir ke mana-mana kecuali ke Bandung sendiri. Memang baru berhenti pada batas seolah-olah, karena bahkan pada saat mengulang-ulang hasrat menjadikan Bandung sebagai kota budaya pun, kesadaran untuk melepaskan belitan pandangan rabun seolah-olah tersebut belum juga dituntaskan.

Pelajaran, kalaupun konotasi seperti itu boleh kita manfaatkan, dari apa yang sudah dilakukan oleh Mang Udjo sebenarnya sederhana, yakni menciptakan ruang sehingga yang namanya kreativitas menemukan suasana yang tetap nyaman dan asyik. Secara sederhana bisa dikatakan, wajah Bandung sebagai kota budaya muaranya ke sana juga. Bagaimana menciptakan ruang agar para kreator mampu terus berkreasi: Gugum Gumbira dengan jaipongnya, Asep Sunandar Sunarya dengan wayang goleknya, demikian juga komunitas-komunitas kreatif lainnya, termasuk komunitas pemikiran yang kurang suka bersorak-sorai. Kiatnya yang lain, menanggalkan sikap picik dan rabun dalam memandang dan menyikapi kreativitas.*

Abdullah Mustappa
, wartawan senior.

Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 7 Februari 2010

No comments: