Sunday, February 21, 2010

Optimisme dan Logika Korban

PANDANGAN yang banyak mencemaskan perkembangan bahasa Sunda yang terus mengalami penurunan jumlah penuturnya, seperti yang selalu muncul dalam peringatan bahasa ibu, mau tak mau menyaran pada semacam pesimisme. Setiap menyambut Hari Bahasa Ibu, pesimisme itu selalu muncul dari data statistik. Bahkan sering kali dilengkapi dengan prediksi-prediksi yang kian menebalkan pesimisme itu. Dan ujung dari pesimisme itu kemudian menekan pada pengertian bahwa di tengah realitas global sekarang, bahasa Sunda kian terancam. Dengan kata lain, kecemasan dan pesimisme itu mengarah pada bayangan serbuan realitas global yang telah menyebabkan bahasa Sunda menjadi korban.

Pesimisme ini juga sebenarnya menjadi pertanyaan ketika kita berada di Bandung sekalipun. Sangatlah tidak sulit menemukan orang berbicara bahasa Sunda, baik dalam angkot maupun di tempat-tempat umum lainnya, termasuk anak-anak sekolah. Jangan sebut lagi jika kita berada di Ciamis, Garut, Tasikmalaya, atau sejumlah kota lainnya yang akan menjadi janggal jika orang menggunakan bahasa Indonesia.

Dalam pandangan aktivis budaya Gustaff Hariman Iskandar, kecemasan itu membayangkan identifikasi diri sebagai pihak yang tak berdaya. Sebuah keadaan yang secara tak langsung membuat orang lantas menyalahkan keadaan atas sejumlah pihak. Ia bahkan melihat hasil survei semacam itu yang selalu muncul setiap tahun, jadi terlalu paranoid.

”Saya masih ingat ketika kita diskusi akhir tahun di ’PR’ yang menyinggung-nyinggung kebiasaan kita menciptakan mental victim (korban). Saya takut ini malah menjadi doa. Kecemasan itu akan terjadi dan tak memberi peluang pada kita untuk bersikap optimistis,” ujar aktivis yang akrab dengan berbagai komunitas kreatif di Bandung ini.

Dalam pengalamannya sehari-hari, ia dengan mudah menemukan penutur bahasa Sunda di mana pun di Bandung, termasuk di komunitas underground. Ia melihat bagaimana bahasa itu adalah sebuah kode genetik kultural dan tidak mungkin bisa dihilangkan karena ia hidup di dalam dan bersama masyarakatnya. Ia mengakui, mungkin sepuluh tahun yang lalu ada semacam rasa gengsi anak-anak muda di kota besar seperti Bandung untuk bicara dengan bahasa Sunda.

”Tetapi keadaan sekarang sudah berubah. Tak ada lagi anak-anak muda yang malu berbahasa Sunda, paling tidak yang saya amati di komunitas underground. Begitu juga di dunia seni tradisi Sunda. Tak sedikit anak-anak muda di Bandung yang menciptakan musik hiphop dengan lirik bahasa Sunda. Mereka pun tak sungkan-sungkan berlatih karinding atau celempung. Bahkan ada kelompok ”Karinding Attack” yang setiap minggu manggung dan mereka sedang bersiap melempar album. Ini semua menjawab tudingan bahwa anak-anak muda sudah malu berbahasa Sunda dan seni tradisi,” tutur Gustaff.

Dalam pandangannya, hasil-hasil survei setiap tahun itu terlalu pesimistis melihat realitas di lapangan. Dunia maya juga tak bisa diabaikan begitu saja dalam konteks perkembangan bahasa Sunda. Dengan mudah akan ditemukan berbagai situs bahasa daerah, termasuk bahasa Sunda.

**

SIKAP pesimistis yang memunculkan kecemasan ihwal nasib bahasa Sunda yang muncul tiap tahun, dari mulai hasil survei hingga pidato pada pejabat, tampaknya di seberang lain dilihat secara berbeda oleh mereka yang selama ini berada ”di lapangan”. Bahkan mereka sama sekali tidak pesimistis dan cemas perihal masa depan bahasa Sunda. Bagi mereka tantangan di tengah realitas global hari ini justru menyediakan peluang bagi perkembangan bahasa Sunda.

”Saya adalah orang yang berani mengatakan bahwa bahasa Sunda tidak akan hilang! Sebab saya punya data. Malah, kalau mau ekstrem lagi, sepanjang Teater Sunda Kiwari dan ’Festival Drama Basa Sunda’ masih ada, bahasa dan budaya Sunda tidak akan hilang,” kata Dadi. P. Danubrata, pimpinan Teater Sunda Kiwari.

Bagi Dadi P. Danubrata, Festival Drama Basa Sunda (FDBS) yang digelar setiap dua tahun sekali dan selalu diikuti dengan antusias oleh para remaja dari berbagai kota di seluruh Jabar, merupakan jawaban telak atas kecemasan terhadap bahasa Sunda.

Dari Ciamis, sastrawan Godi Suwarna mengatakan, jika seseorang berada di Ciamis, Tasikmalaya, Garut dan ia berbicara dengan bahasa Indonesia justru akan dianggap aneh. Oleh karena itu, sebagai orang yang tinggal di daerah, ia tidak merasa pesimistis apalagi cemas hanya karena hasil-hasil survei tahunan atau lontaran pernyataan tentang nasib bahasa Sunda.

Senada dengan Gustaff, ia pun menilai bahwa dunia internet telah menjadi peluang bagi perkembangan bahasa Sunda. ”Dari Jerman, teman saya Ging Ginanjar rajin sekali mengajak chatting di jejaring Facebook. Dia bilang, pengen melenturkan lagi bahasa Sunda!” tuturnya. (Ahda Imran)

Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 21 Februari 2010

No comments: