BERCERITA tentang perpustakaan, sastrawan dan budayawan Taufiq Ismail punya banyak pengalaman. Di Perpustakaan Nasional, Jakarta, beberapa hari yang lalu, dia beberkan kepada para pelajar, guru, penulis, dan kalangan lain bagaimana awal mula dia mencintai buku sehingga bisa menjadi sastrawan terkemuka seperti sekarang.
Taufiq Ismail (KOMPAS/LUCKY PRANSISKA)
”Saya mempunyai ibu dan ayah yang berprofesi sebagai guru dan mereka suka membaca. Di rumah ada perpustakaan dengan koleksi beberapa ratus judul buku. Sebagai anak-anak, ketika masa pendudukan Jepang, saya dijatah dibelikan satu buku per minggu atau per dua minggu. Dibonceng di sepeda oleh ayah, kami beli buku di Pasar Johar, Semarang,” katanya.
Di toko buku, Taufiq langsung berlari ke rak buku anak-anak. Dipilihnya empat-lima judul buku yang disukai. Duduk di lantai, satu buku yang dibeli disisihkan dan empat lainnya dibaca cepat di toko buku.
Buku sastra pertama yang dibaca Taufiq kecil adalah Tak Putus Dirundung Malang, karya Sutan Takdir Alisjahbana.
Sastrawan yang kini punya Rumah Puisi di Aia Angek, kawasan lereng Gunung Marapi, Kabupaten Tanahdatar, Sumatera Barat, itu kenal perpustakaan sejak duduk di bangku SMP di Bukittinggi.
”Saya berutang budi dengan perpustakaan,” kata pria kelahiran Bukittinggi, Sumatera Barat, 25 Juni 1937, ini. (NAL)
Sumber: Kompas, Jumat, 5 Februari 2010
No comments:
Post a Comment