-- Arahmaiani
PAMERAN seni rupa di galeri ataupun pada acara semacam bienial dan festival memang biasa, tetapi jika ada pameran di sebuah pesantren, itu baru hal luar biasa. Beberapa waktu lalu telah diselenggarakan sebuah pameran seni rupa dengan menghadirkan perupa ternama, di antaranya Nasirun, Dian Anggaraini, KH Mustofa Bisri, dan KH Zawawi Imron, di Pesantren Kali Opak, Piyungan, Yogyakarta.
Pameran ini diselenggarakan sebagai bagian dari perhelatan seni dan workshop pada acara Muktamar Kebudayaan Nahdlatul Ulama (NU) Indonesia pertama. Dengan mengusung tema ”Inventory” kegiatan ini berlangsung secara bertahap mulai dari November 2009 hingga awal Februari 2010.
Selain menggelar pameran seni rupa, acara yang diprakarsai Lembaga Seniman Budayawan Muslimin Indonesia (Lesbumi) ini juga menyertakan kegiatan workshop film pendek untuk para santri dan kegiatan sastra serta teater dengan mengundang santri-santri penggiat dari seluruh Jawa. Kemudian menghadirkan penulis kenamaan, seperti Ahmad Tohari dan Acep Zam-zam Noor, untuk tampil berbicara. Diresmikan pula Limasan Kali Opak yang dirancang sebagai ruang publik untuk kegiatan keagamaan, kesenian, dan kebudayaan. Selain tentu saja sebuah galeri apik lengkap dengan panil-panil dan lighthing yang baik.
Kegiatan lain yang menjadi kegiatan utama adalah muktamar kebudayaan yang diikuti oleh komunitas-komunitas santri dan komunitas-komunitas seni dari sejumlah daerah. Juga diselenggarakan seminar sehari dengan tajuk ”Pesantren, Seni Rupa & Dialog Antarbudaya,” dengan menghadirkan pembicara St Sunardi, Abdul Mun’im DZ, Bisri Effendi, dan saya sendiri. Dan, yang tak bisa dilewatkan tentu saja peringatan wafatnya Gus Dur karena bersamaan dengan berjalannya rangkaian penyelenggaraan kegiatan itu, Gus Dur dipanggil pulang oleh Yang Maha Kuasa.
Bagi generasi muda serta mereka yang awam dan tak terlalu mengikuti perkembangan sejarah kebudayaan mungkin akan menganggap Lesbumi sebagai lembaga kebudayaan baru. Namun, kilas balik sejarah menjelaskan bahwa lembaga ini didirikan pada tahun 1962 sebagai sayap politik bidang seni budaya Partai NU. Lanskap sejarah politik-kebudayaan pasca-kemerdekaan memang kental diwarnai kemunculan berbagai macam lembaga seni budaya yang mencerminkan keberagaman ideologi politik-budaya.
Kilas balik sejarah
Dalam kehidupan sosial politik kala itu, Lesbumi dianggap sebagai lembaga kebudayaan yang didirikan untuk merespons sekaligus menandingi Lekra yang telah menunjukkan kedekatan dengan ideologi Partai Komunis Indonesia (PKI). Satu hal yang menarik, karya seni budaya organisasi-organisasi kebudayaan ini dipublikasikan melalui media massa masing-masing partai politik. Publikasi ini acap kali memicu timbulnya polemik seperti perdebatan mengenai realisme sosialis dan jargon ”politik adalah panglima” yang menjadi penggerak aktivitas Lekra di satu pihak dan humanisme universal dan semboyan ”seni untuk seni” (l’art pour l’art), yang menjadi elan vital kelompok Manifes Kebudayaan di pihak lain.
Dalam pertarungan ideologi politik-kebudayaan seperti itu, tidak banyak diungkapkan bahwa Lesbumi mengambil posisi lain lagi. Berbeda dari Lekra atau kelompok Manifes Kebudayaan, Lesbumi berpandangan bahwa seni mesti mempunyai tujuan dan tujuan itu adalah tujuan dari seluruh rakyat Indonesia: membentuk suatu masyarakat ”ber-Tuhan”, di mana tidak ada kezaliman, di mana keadilan berkuasa, di mana kemakmuran menjadi milik bersama. Oleh karena itu ”isme” dalam kebudayaan-kesenian menjadi tidak penting. Yang penting adalah ”gaya pribadi seorang budayawan-seniman untuk mengungkap sesuatu yang hendak ia sampaikan kepada masyarakat”.
Tampaknya hal itu kemudian hanya menjadi artefak sejarah yang tenggelam dalam dinamika pergerakan di tubuh NU sendiri. Semenjak era Reformasi dimulai, NU yang tidak lagi menjadi partai politik, seperti kehilangan arah dalam lapangan politik-kebudayaan. Jejak dan sumbangsih NU dalam perdebatan kebudayaan seperti sirna dan hilang tertelan bumi. Apakah mungkin karena warga NU kini banyak yang mendirikan partai politik dan berkiprah di bidang itu? Atau terbawa arus umum yang memandang bidang kebudayaan sebagai kurang penting jika bukan hanya sebagai komoditas dan alat pendukung kekuasaan belaka?
Kebangkitan kembali?
Dalam Surat Kebudayaan yang diterbitkan sesudah dilangsungkannya muktamar, jelas mengindikasikan seniman dan budayawan NU kini telah bangkit dari mati suri. Dan, memutuskan untuk ikut aktif memperjuangkan kebudayaan sebagai sumber atas khazanah pengetahuan, nilai, makna, norma, kepercayaan, dan ideologi. Ataupun sebagai praktik dan tindakan dalam mempertahankan dan mengembangkan harkat kemanusiaan. Akibatnya, kebudayaan akan memiliki fungsi dan peran untuk membangkitkan kembali vitalitas dan menjadi kekuatan yang menentukan.
Diasumsikan bahwa kebudayaan kini mengalami krisis, proses pengasingan (alienasi), dan pemiskinan yang disebabkan oleh dominasi tiga kekuatan, yaitu, pertama, kapitalisme pasar yang menilai kebudayaan dari sudut pandang pragmatis semata sehingga manusia ditempatkan sebagai obyek dan bukan subyek. Kedua, negara yang menempatkan kebudayaan semata sebagai pendukung kekuasaan atau legitimasi politik. Dan, ketiga, formalisme agama yang menempatkan kebudayaan bukan sebagai energi sosial yang menopang tumbuh-kembangnya harkat manusia dan malah lebih jauh lagi kebudayaan dilihat sebagai praktik yang ”menyimpang” dari ketentuan hukum agama.
Dengan landasan tersebut, Lesbumi merasa perlu membuat pernyataan dan sikap kebudayaan untuk menolak praktik-praktik dominasi tersebut. Dengan demikian, Lesbumi akan dengan tegas menolak seni yang cenderung memisahkan diri dari masyarakat ataupun relativisme historis masyarakatnya serta akan ikut membuka ruang kreativitas dan eksplorasi estetik seluas mungkin bagi para seniman (baik tradisional, modern, dan kontemporer).
Begitulah dengan menyusun agenda dan program kerja ke depan yang tertata dan jelas arahnya, Lesbumi kini hadir dan berpartisipasi dalam perjuangan menjaga posisi kebudayaan Indonesia untuk tetap menjadi tuan di negerinya sendiri.
Berbagai kegiatan seperti pelatihan seni di pesantren, riset dan penelitian, penerbitan jurnal dan situs web, diskusi reguler, pementasan dan pergelaran seni, ataupun publikasi dan dokumentasi akan mewarnai hari-hari yang bermakna. Selanjutnya krisis kebudayaan yang dianggap sebagai sumber dari segala krisis yang menimpa bangsa ini secara bertahap diharapkan akhirnya akan bisa diatasi.
* Arahmaiani, Perupa, Tinggal di Yogyakarta
Sumber: Kompas, Minggu, 28 Februari 2010
No comments:
Post a Comment