Judul Buku: Psikologi Dzikir: Studi Fenomenologi Pengalaman Transformasi Religius
Penulis : M.A. Subandi PhD
Penerbit : Fakultas Psikologi UGM dan Pustaka Pelajar
Edisi : Pertama, September 2009
Tebal : xi + 310 halaman
KETIKA William James menerbitkan buku monumentalnya, The Varieties of Religious Experience, di awal abad ke-20, muncul harapan besar dari komunitas ilmiah bahwa disiplin psikologi akan memberikan tempat terhormat bagi studi agama. Secara simpatik dia menempuh jalan serong dengan melihat agama tak melulu sebagai sejenis neurosis atau respons ketakutan terhadap kekuatan alam semesta, sebuah pandangan yang lazim berkembang di komunitas ilmiah waktu itu. Dia meyakini bahwa beragama merupakan dorongan alamiah dalam setiap diri manusia untuk memahami yang suci (divine), sebagaimana tertuang dalam definisinya yang terkenal, ''...the feelings, acts, and experiences of individual men in their solitude, so far as they apprehend themselves to stand in relation to whatever they may consider the divine.'' (James, 1982: xxi).
Karya masterpiece James tersebut digadang-digadang dapat menandingi pengaruh Totem and Taboo-nya Freud yang teramat sinis melihat agama. Sebagai karya rintisan, setidaknya ada dua konsekuensi serius dari karya James tersebut. Pertama, memberikan perspektif baru dalam studi agama melalui penekanannya pada aspek ''pengalaman keagamaan''. Kedua, telah menjadi pemicu bagi lahirnya disiplin baru dalam psikologi, yaitu psikologi agama.
Kajian psikologi agama sempat mati suri karena pengaruh behaviorisme di Amerika yang menganggap tabu kajian agama di tahun-tahun sesudahnya. Ia baru muncul kembali pertengahan 1950-an yang ditandai dengan terbitnya jurnal-jurnal ilmiah bidang agama, antara lain Journal for the Scientific Study of Religion, Journal of Religion and Health, dan Journal for Psychology and Theology. Namun, topik yang umum dikaji waktu itu masih seputar fenomena perubahan kehidupan agama yang dramatis, yang sering disebut konversi agama. Perhatian terhadap fenomena pengalaman transendental dan mistik belum banyak terlihat. Selain itu, pendekatan yang digunakan pun masih didominasi metode kuantitatif yang terobsesi dengan keberhasilan ilmu-ilmu alam.
Kendati demikian, upaya memberikan alternatif dalam penelitian psikologi yang bersifat kualitatif lambat laun mulai muncul. Selanjutnya lahir metode-metode baru seperti grounded theory, fenomenologi, dan interaksionisme simbolik, yang lebih menekankan ''pengalaman manusia'' sebagai fenomena yang unik dan konkret. Sayang, apresiasi terhadap pendekatan baru ini untuk konteks Indonesia belum menunjukkan perkembangan signifikan. Kondisi ini bahkan berlangsung hingga saat ini yang bisa dilihat dari masih dominannya pendekatan kuantitatif untuk penelitian-penelitian psikologi di Indonesia.
Salah satu peneliti yang serius hendak mengisi kekosongan penerapan pendekatan kualitatif untuk konteks Indonesia adalah Dr Subandi, penulis buku ini. Buku ini merupakan kontribusi nyata keseriusannya dalam mengaplikasikan pendekatan kualitatif, lebih khusus pendekatan fenomenologi dalam penelitian psikologi. Buku hasil penulisan ulang tesis masternya di Quensland University of Technology, Australia, ini secara khusus menyoroti fenomena pengalaman transformasi religius dengan menggunakan fenomenologi sebagai perangkat metodologinya. Menurut pendapat dia, dengan menggunakan pendekatan fenomenologi peneliti lebih dapat memahami makna yang paling mendasar dari pengalaman transformasi religius sesuai dengan perspektif individu yang mengalaminya.
Dengan cara penglihatan seorang fenomenolog, penelusuran penulis dalam memahami pengalaman transformasi religius seseorang menyuguhkan sejumlah fakta menarik. Penekanannya pada studi transformasi pengalaman religius memberikan gambaran betapa kompleksnya proses yang dilalui dan betapa dramatisnya kondisi psikologis seseorang yang mengalaminya. Artinya, pengalaman religius seseorang jarang sekali diperoleh secara gratis tanpa melalui olah batin yang serius. Bahkan, tidak jarang seseorang harus melewati fase krisis spiritual terlebih dahulu sebelum sampai pada pengalaman religius yang mendalam. Dalam khazanah tradisi Islam Jawa, kondisi ini terwakili oleh sosok Sunan Kalijaga yang harus menjalani laku spiritual dengan disiplin tinggi sebelum akhirnya mencapai tingkatan kesadaran spiritual seorang wali.
Penelitian yang melibatkan partisipan dari sebuah majelis zikir ini menunjukkan bahwa pengalaman transformasi religius partisipan melewati beberapa tahap. Berpijak dari logika transformasi, penelitian ini berhasil menyajikan skema proses mengenai transformasi kehidupan religius para partisipan, mulai tahap sebelum bergabung dengan majelis zikir hingga tahap yang bersangkutan mengalami transformasi kehidupan religius yang mendalam. Pertama, identifikasi tahap pra-zikir. Di tahap ini penulis menyajikan informasi mengenai kehidupan spiritual partisipan yang masih bercorak ritualistik atau malah tidak menjalankan ritual apa pun bagi sebagian partisipan. Bentuk kesadaran yang berhasil diidentifikasi adalah egosentrisme dan kehampaan batin.
Kedua, tahap kontak awal dengan majelis zikir. Kompleksitas persoalan kehidupan yang tak selalu bisa dipecahkan menjadi pemicu utama bergabungnya para partisipan. Ketiga, tahap pengalaman zikir. Di tahap ini partisipan mulai terlibat dengan amalan zikir, tahap yang oleh penulis disebut sebagai pintu gerbang menuju pengalaman spiritual. Bentuk-bentuk kesadaran mistikal mulai muncul di tahap ini, misalnya pengalaman penyucian diri, pengalaman pencerahan, dan pengalaman diganggu oleh makhluk halus. Ini adalah tahap transisi. Kekuatan batin partisipan tengah diuji. Bagi partisipan yang berhasil melewati tahap ini, mereka akan mendaki ke tahap selanjutnya. Indikator-indikator keberhasilannya tak sepenuhnya bisa diidentifikasi secara jelas, selain secara kualitatif ada peningkatan ke arah kehidupan emosional yang lebih matang.
Keempat, tahap pembaruan kehidupan religius. Tahap ini merupakan momen manakala partisipan telah mencapai kehidupan spiritual yang matang. Telah terjadi transformasi kehidupan religius secara mendasar. Penulis mengidentifikasi tema-tema yang muncul dalam tahap ini mirip dengan sejumlah karakteristik kehidupan religius yang matang menurut Allport dan Clark. Antara lain: terdiferensiasi, dinamis, konsisten, komprehensif, heuristik, dan integral. Dengan kata lain, kehidupan religius partisipan telah mencakup seluruh dimensi eksistensinya, yaitu dimensi rasional, emosional, sosial, dan mistikal. (*)
Afthonul Afif , staf pengajar di Program Studi Psikologi UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta
Sumber: Jawa Pos, Minggu, 7 Februari 2010
No comments:
Post a Comment