-- Lusiana Indriasari
PERAHU prawean yang dipakai masyarakat Madura sejak abad ke-17 ”terdampar” di halaman tengah Museum Bahari, Jakarta Utara. Banjir besar yang melanda Jakarta pada 2007 mengoyak salah satu koleksi museum yang berada di kawasan Kota Tua Jakarta. Inilah potret buram kondisi museum kita.
Banjir yang merendam museum hingga hampir 1 meter menyeret perahu prawean dari tempat penyimpanannya. Saat terseret banjir, perahu itu membentur tembok hingga beberapa pasaknya patah. Sebagian badan perahu juga ikut terkoyak.
”Perahu itu sengaja dibiarkan di halaman karena tanpa pasak perahu akan hancur kalau diangkat,” kata Sukma Wijaya (46), pemandu di Museum Bahari. Sudah hampir tiga tahun sejak banjir melanda, perahu Madura itu belum juga diperbaiki.
Tidak ada informasi apa pun yang tertulis tentang perahu tadi. Namun, menurut Sukma, perahu prawean yang ornamennya berwarna-warni ini awalnya dipakai penduduk di pesisir utara Pulau Madura untuk berdagang rempah-rempah dan hasil bumi lainnya. Dengan perahu prawean, rempah-rempah itu dibawa ke kapal-kapal Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC), perusahaan Belanda yang memiliki hak monopoli perdagangan di Asia, yang merapat di dekat Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya.
Nasib perahu prawean hanya salah satu gambaran betapa muramnya kondisi beberapa museum yang ada di Jakarta. Keterbatasan dana menjadi alasan klasik kenapa museum yang menyimpan jejak peradaban manusia dan menjadi sumber ilmu pengetahuan ini terbengkalai.
Kondisi bangunan sebagian museum juga memprihatinkan. Sejak dibuka pada 1977, Museum Bahari kesulitan untuk merawat gedung tua yang ditempatinya, gedung bekas gudang rempah-rempah milik VOC yang dibangun pada 1652.
Intrusi air laut merusak sebagian besar bangunan museum. Dinding di hampir seluruh bangunan museum mengelupas karena lembab. Catnya juga sudah kusam. Di beberapa bagian, lantai museum sering tergenang rembesan air laut dari dalam tanah, padahal elevasinya sudah ditinggikan. Kayu jati penopang bangunan mulai keropos.
Di luar museum, Menara Syahbandar yang menjadi bagian dari Museum Bahari rawan roboh. Menara ini miring sekitar 2,5 derajat dari garis tegak lurus karena tanah yang dipijaknya ambles. Pada beberapa kali kejadian gempa di Jakarta, petugas museum sampai harus menutup arus lalu lintas di depan menara karena khawatir menara akan roboh. Menara Syahbandar ini dulunya digunakan Belanda untuk mengawasi lalu lintas kapal yang akan keluar masuk Pelabuhan Sunda Kelapa.
Museum Sejarah Jakarta, atau dikenal dengan nama Museum Fatahillah, di Jakarta Utara kondisinya jauh lebih bagus dari Museum Bahari. Hanya saja di beberapa bagian atap bangunan museum ini mulai bocor. ”Kami terpaksa menggeser-geser beberapa koleksi museum supaya tidak kebocoran jika hujan datang,” kata Rafael Nadapdap, Kepala Museum Sejarah Jakarta.
Rafael mengatakan, anggaran yang diberikan kepada museum hanya cukup untuk perawatan rutin yang bersifat pembersihan ruangan dalam museum dan koleksinya. Pada 2008 dan 2009 bahkan tidak ada anggaran untuk merenovasi Museum Fatahillah.
Sepi pengunjung
Buruknya kondisi museum, ditambah kurangnya kesadaran masyarakat untuk menggali ilmu dari museum, membuat sumber informasi sejarah ini ditinggalkan masyarakat. Saking sepinya, Museum Reksa Artha milik Perusahaan Umum Percetakan Uang Republik Indonesia (Perum Peruri) yang sudah 20 tahun lebih didirikan di Jalan Lebak Bulus I, Jakarta Selatan, lebih sering tutup.
Dari luar, gedung museum yang berwarna hijau muda itu suasananya seperti sudah lama ditinggalkan pemiliknya. Pagarnya berkarat. Pintu pagar menuju halaman ataupun pintu masuk gedung lebih sering terkunci rapat. Pos satpam dan menara penjaga di sudut halaman kosong melompong.
Menurut warga sekitar museum, sebenarnya museum itu buka setiap hari. Hanya saja pengunjung harus lebih dulu mencari penjaga museum untuk minta dibukakan pintu. ”Habis, tidak setiap hari ada pengunjung yang datang ke museum,” kata Riswan, penjaga museum yang siang itu mengisi waktunya dengan nongkrong di sekitar lapangan futsal di dekat museum.
Museum Reksa Artha menyimpan berbagai benda yang terkait dengan percetakan uang, seperti mesin kuno pencetak uang kertas dari awal abad ke-20 yang berukuran besar, alat pencetak uang logam, serta foto-foto yang menceritakan beratnya perjuangan pencetakan ORI (Oeang Republik Indonesia) untuk mempertahankan kedaulatan ekonomi pada awal kemerdekaan RI. Berbeda dengan bagian luar museum yang tak terawat, bagian dalam ruangan besar yang dulunya berfungsi sebagai gudang tinta Perum Peruri itu bersih dan sangat terawat. Tidak terasa ada debu di lantai ataupun pada benda-benda pajangan di dalamnya.
Di Jakarta, museum pun terdesak oleh padatnya lingkungan. Museum Tekstil di Jalan KS Tubun Tanah Abang, Jakarta Pusat, sulit dicari pengunjung karena dikepung pedagang kaki lima. Akses masuk ke museum ini juga sulit karena sekitar 50 meter jalanan selalu dipadati kendaraan. Museum ini memiliki 1.872 koleksi kain dari seluruh wilayah Nusantara, antara lain kain batik, jumputan, tenunan, sulaman, dan produk tekstil lain.
Museum Bahari juga kurang diminati pengunjung meski museum itu memiliki lebih dari 1.700 koleksi. Karena kekurangan tempat, museum ini hanya memamerkan sebagian koleksinya saja, antara lain miniatur kapal klasik dari zaman Kerajaan Majapahit hingga zaman VOC, miniatur kapal modern, serta beberapa perahu tradisional asli dari belahan Nusantara. Ada juga berbagai perlengkapan navigasi kapal pada masa lalu.
Setiap hari, jumlah kunjungan di Museum Bahari rata-rata 30 orang. Menurut Sukma, pengojek sepeda onthel yang beroperasi di kawasan Kota Tua menambah ramai tamu yang datang ke Museum Bahari. Ironis memang. Budaya niaga maritim masa lalu berupa kapal itu
berjumpa dengan ojek sepeda onthel dan pedagang kaki lima yang menjadi simbol parahnya perekonomian bangsa ini.
(Dahono Fitrianto/Yulia Sapthiani)
Sumber: KOmpas, Minggu, 7 Februari 2010
No comments:
Post a Comment