-- Sainul Hermawan
SAAT orang-orang terlibat pro-kontra tentang kerbau politik, terlintas di benak nukilan lirik lagu ”Cikal” karya Iwan Fals. Begini: ”kerbau di kepalamu ada yang suci, kerbau di kepalaku rajin bekerja, kerbau di sini teman petani...”.
Citra kerbau dalam lirik lagu itu positif. Alangkah indahnya jika kita menyikapi kerbau yang diperalat para demonstran—yang pasti di antara mereka ada yang bershio kerbau pula—disikapi dengan perasaan sastrawi. Kerbau yang pantatnya ditempeli foto orang nomor satu di negeri ini cukup disikapi sebagai ikon.
Ini salah satu risiko orang besar yang harus dihadapi dengan kebesaran hati untuk tidak terpancing oleh tindakan cari sensasi yang tidak substansial. Kita bisa cuplik pengetahuan tentang ikon dari buku karya Mary F Rogers (2009: 10-11). Ikon merupakan pengetahuan dasar yang bersifat umum yang memberikan kesempatan setiap orang untuk mengalami rasa kebersamaan di tengah-tengah keberagaman, berbagi minat yang sama di tengah perbedaan dan berpartisipasi dalam struktur kebudayaan yang sama di tengah-tengah berbagai subkultur yang ada.
Orang bisa dan sekaligus mustahil bersepakat dengan cara Presiden memaknai ikon kerbau sebagai binatang lamban dan bodoh. Sebab, menurut Rogers, tidak ada ikon yang hanya merepresentasikan satu dimensi atau satu aksi kebudayaan. Lirik Iwan tadi menyaripatikan cara-cara beragam kebudayaan dalam menyikapi kerbau.
Kerbau di keseharian kehidupan masyarakat Toraja, misalnya, merupakan hewan yang sangat tinggi maknanya dan dianggap suci yang melambangkan tingkat kemakmuran seseorang jika memilikinya karena harga satu ekor kerbau bisa mencapai puluhan, bahkan ratusan juta rupiah. Dianggap suci karena orang Toraja dalam upacara kematian Rambu Solo meyakini bahwa kerbau adalah pembawa roh arwah menuju nirwana alam baka (roh si mati menunggangi kerbau). Kerbau di Minangkabau adalah ikon legenda yang suci. Ini sekadar dua contoh ikon kerbau dalam kebudayaan yang berbeda. Jika ditelusuri lebih jauh, bisa dipastikan maknanya positif.
Namun, ikon memang memiliki beragam representasi karena karakternya yang cerdas, maknanya yang berlapis, mampu beradaptasi dengan berbagai kondisi atau keinginan individu atau sekelompok orang, ambiguitasnya tinggi, dan kodratnya senantiasa bersifat terbuka. Sikap Presiden atas ikon yang multitafsir itu telah menggarisbawahi makna penting dan perlu diperhatikan.
Ungkapan rasa sayang
Sang demonstran berhasil memaksa perhatian orang penting untuk mendefinisikan ikon mereka secara kultural dan sukarela. Jadi, keprihatinan banyak pihak atas sikapnya adalah juga ungkapan rasa sayang masyarakat atas presiden sebagai simbol negara.
Mungkin demonstran memaknai ikon kerbau seperti yang telah disitir oleh SBY. Sayangnya, ikon itu tidak dimaknai juga sebagai cerminan cara berpikir para demonstran. Bukankah mereka yang menyeret-nyeret kerbau ke arena demo juga bisa menyinggung perasaan sekelompok orang memandang kerbau sebagai hewan yang suci? Kaum beragama tak bereaksi karena mungkin mereka merasa bahwa kerbau dalam konteks demo bukan sinonim ikon kerbau ritual.
Ada gejala pengaruh makna ikon kerbau dari lingkungan kultur Presiden di masa silam. Ada beberapa ungkapan dalam idiom Jawa yang menggunakan kerbau untuk menyatakan gagasan yang negatif, misalnya kumpul kebo (kumpul kerbau), yaitu idiom untuk menyatakan bahwa pria dan wanita dewasa yang hidup serumah tanpa ikatan pernikahan yang sah atau resmi adalah sebuah keburukan.
Artinya, ada medan tafsir yang bisa dimainkan oleh pihak yang disamakan dengan kerbau untuk menafsirkan ikon dengan cara yang lebih intelek. Misalnya, menyebut mereka yang membawa kerbau ke arena demo bukan sebagai mahasiswa, tetapi para gembala kerbau dalam pengertian sebagai orang-orang yang hanya menjalankan perintah patronnya untuk menjaga, memandikan, dan merawat kerbau. Secara tidak langsung, kerbau yang mereka bawa pun bisa memantulkan watak kekerbauan mereka dalam beragam kemungkinan maknanya.
Dengan cara demikian, ikon budaya bergeser jadi ikon fantastis, yaitu ikon yang melebih-lebihkan apa yang sungguh ada, mungkin ada, atau bisa dianggap ada. Ikon fantastis membawa kerbau hingga batasnya yang terjauh. Dengan demikian, secara substansial, ikon adalah gambaran apa yang diciptakan setiap orang dalam dunianya sendiri. Kekuranghati-hatian mempersepsikan ikon sebagai salah satu properti bisa merugikan pendemo dan yang didemo karena ikon-ikon semacam itu mampu melahirkan pemikiran tak sadar mengenai persoalan yang dihadapi oleh kedua pihak.
Selain kerbau, binatang yang sering diajak demo adalah ayam, bebek, tikus, dan ular. Sifat ambiguitas ikon ini tak seperti kerbau dan beha. Beberapa orang dikabarkan mendatangi Komisi Pemberantasan Korupsi dengan menjadikan ikon beha sebagai lambang keragu-raguan. Penggunaan ikon itu bukan hanya seksis, tetapi juga menunjukkan derajat kesadaran dalam memaknai makna pakaian dalam perempuan.
Ketidaksadaran yang muncul ke permukaan itu bisa mengungkap lingkungan masa lalu pengguna tanda. Ikut-ikutan menggunakan sebuah ikon tanpa menyadari implikasi luas ikon itu pun bentuk ketaksadaran yang perlu disikapi dengan kesadaran tertentu agar kita tidak terjebak dalam permainan simulasi tanda yang artifisial semata.
Jadi, hati-hatilah menggunakan ikon. Pahami sifat ambiguitas dan keterbukaan maknanya. Jangan sampai maksud hati menghina orang dengan ikon, padahal secara tak sadar telah menghina diri sendiri. Main air tepercik muka sendiri.
* Sainul Hermawan, Dosen PBSID FKIP Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin
Sumber: Kompas, Sabtu, 6 Februari 2010
No comments:
Post a Comment