-- Ahmad Muhakkam el Zein*
ALANGKAH takjub menyaksikan begitu tinggi cinta serta minat warga Mesir terhadap buku. Baik itu dalam hal membaca, menulis, ataupun mengoleksi buku. Hal tersebut bisa tergambar jelas dalam Cairo International Book Fair (CIBF) pada 28 Januari-10 Februari 2010 di pusat kota Kairo, Mesir.
Sewaktu mengunjungi CIBF, spontan tebersit keirian dan impian saya ketika menyaksikan warga Mesir sangat antusias membaca dan mencintai buku. Saya pun berkhayal andai saja hal yang terekam di mata itu juga terjadi di tanah air. Betapa tidak, ribuan orang, mulai anak-anak, pemuda, hingga para orang tua, berbaur menjadi satu dalam satu tujuan yang sama: membeli buku favorit keluaran baru yang belum mereka punya. Namun, tidak hanya buku baru yang dijual, CIBF juga menjual aneka buku lama (dalam bahasa pesantren kitab; buku yang ditulis dengan huruf Arab) dari berbagai disiplin dan ilmu. Ratusan penerbit dari berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia, berpartisipasi mengirimkan perwakilannya di pameran buku tahunan itu.
Sebagai salah satu negeri pemilik peradaban lama, kiranya Mesir sangat sadar bahwa syarat sebuah negara dapat maju dan terus berkembang adalah adanya masyarakat pembelajar yang cerdas. Masyarakat pembelajar adalah masyarakat yang gemar membaca dan menulis. Bila tidak ada aktivitas membaca, peradaban sebuah negara akan dengan sendirinya terhenti. Budaya membaca memiliki fungsi sangat penting dalam peningkatan masyarakat sebuah negara karena menjadi pintu menuju cakrawala ilmu pengetahuan. Menulis mustahil terwujud tanpa adanya kegiatan membaca. Mungkin karena kesadaran itulah, di bumi yang berjuluk Negeri Seribu Menara tersebut, membeli buku atau kitab sudah seperti membeli permen saja. Sedangkan orang mencetak buku sudah serupa membuat kopi. Setiap hari hampir dapat dipastikan selalu ada buku baru yang siap saji. Bahkan, jika dicetak oleh penerbit yang mendapat subsidi dari pemerintah, harga jual buku tersebut sangat murah, laiknya sepiring nasi dan kopi. Mencari penerbit yang mau menerbitkan naskah bagi para penulis pun bisa diibaratkan mencari kedai kopi di pinggir jalan. Asal bagus, meski belum tentu laris manis di pasaran (punya selling point), naskah itu akan tetap diterbitkan penerbit untuk memperkaya khasanah kepustakaan Mesir.
Sebuah fenomena yang tentu kontradiktif dengan kondisi di tanah air. Sebab, meski penerbit di sini sekarang mulai banyak bermunculan, sebagian besar masih amat mengedepankan selera pasar dan laba daripada motif pembelajaran masyarakat. Mereka berpikir seribu kali untuk menerbitkan buku yang tidak sesuai selera pasar meski naskah itu bagus dan mendidik. Hal itulah yang mungkin menjadikan Indonesia per tahun ''hanya'' mampu menelurkan 12.000 judul buku. Kalah jauh dari Vietnam yang menghasilkan 15.000 judul buku baru dalam setahun. Belum lagi ditambah adanya gejolak ekonomi global yang berimbas pada kenaikan bahan baku dan produksi. Penerbit lebih selektif menerbitkan buku dan berimbas pada harga jual buku di pasaran. Fakta itulah yang termasuk semakin menjauhkan masyarakat Indonesia dari masyarakat cerdas dan maju.
Menyematkan satu kesalahan atas masih rendahnya daya beli dan minat baca-tulis masyarakat pada satu pihak tentu juga bukan hal yang bijak. Lebih bijak bila bersama-sama mencari solusi permasalahan kompleks yang ada. Untuk mengatasinya pun, diperlukan kerja sama dan kesadaran dari berbagai pihak. Berkaca pada pengalaman saya di Mesir, tentu pemerintah harus lebih proaktif dalam upaya mewujudkan masyarakat pembelajar dan cerdas. Langkah awal yang perlu dipertimbangkan adalah mendirikan penerbit-penerbit bersubsidi (pelat merah) di setiap kota besar serta memperbanyak perpustakaan. Negara Mesir saja yang luasnya hanya dua kali Pulau Sumatera mempunyai banyak penerbit pelat merah dan perpustakaan di seantero kota. Menemukan perpustakaan yang besar dan lengkap pun tidak sesulit di tanah air. Padahal, adanya sebuah perpustakaan mampu menjadi solusi bagi masyarakat yang ingin membaca namun tidak mampu membeli buku karena harganya yang rata-rata masih mahal.
Selain syarat mutlak pembentukan masyarakat pembelajar, budaya membaca merupakan bagian upaya menjalankan amanat konstitusi, yakni mencerdaskan kehidupan bangsa. Ketika budaya membaca dan menulis tidak dikuasai, sebuah bangsa akan kewalahan dalam menguasai ilmu pengetahuan. Namun, dalam mendorong budaya membaca, perlu ada sebuah ''gerakan'' kolektif. Cita-cita luhur itu sulit diwujudkan jika hanya dilakukan negara. Di sinilah perlu ada kerja sama saling bahu-membahu antara pemerintah, komunitas literasi, dan masyarakat. Mengingat masih rendahnya minat baca-tulis, memang cita-cita itu tidak akan bisa terpenuhi dalam waktu dekat dengan hanya mengandalkan negara. Kita membutuhkan banyak sekali pustaka, perpustakaan, pemustaka yang dewasa serta peduli untuk saling bekerja sama menstimulus kecintaan pustaka.
Dari kerja sama itu, setidaknya ada semacam pameran buku, bazar buku, pelatihan-perlombaan menulis, bedah buku, hingga munculnya penerbit dan perpustakan baru. Semua itu jelas akan meningkatkan pengenalan terhadap kepustakaan dan selanjutnya menjadikan adanya minat membaca dan menulis. Waba'du, impian saya saat menyaksikan CIBF pun segera terwujud di tanah air. (*)
*) Ahmad Muhakkam el Zein , pencinta pustaka. Kini tercatat sebagai mahasiswa di al Azhar Kairo, Mesir
Sumber: Jawa Pos, Minggu, 7 Februari 2010
No comments:
Post a Comment