-- Otto Gusti*
”KENDATIPUN manusia mewajibkan dirinya untuk taat pada norma-norma moral, satu hal tetap tak dapat dilakukan manusia tanpa agama: memberikan pendasaran atas keniscayaan dan universalitas kewajiban-kewajiban moral” (Hans Küng).
Awasan Hans Küng, salah seorang teolog Katolik Jerman terbesar abad ini, dialamatkan kepada masyarakat dan negara sekuler yang beranggapan agama tak punya peran lagi sebagai basis dan orientasi moral publik.
Rambu-rambu kritis atas tendensi pendewaan akal budi manusia dalam masyarakat sekuler mencapai puncaknya dalam kredo Nietzschean: Gott ist tot (Allah sudah mati).
Para pemikir sekuler beranggapan argumentasi dan interpretasi moral religius harus diganti dengan diskursus rasional atau ”paksaan tanpa paksaan dari argumentasi terbaik” (Juergen Habermas).
Namun, realitas hidup konkret, seperti rendahnya taraf pendidikan sebagian besar warga negara miskin di seantero jagat, menunjukkan betapa sulitnya menjelaskan serta menerapkan secara global etos yang mewajibkan dan berlaku universal dengan bantuan diskursus rasional abstrak semata.
Filsafat dapat saja menggunakan instrumen argumentatif dan atas dasar pertimbangan rasional menganjurkan untuk menaati norma-norma moral universal. Namun, filsafat tidak mampu memberikan pendasaran terakhir tak tergoyahkan tentang keharusan dan universalitas nilai-nilai moral.
Krisis paradigma sekuler
Di kalangan masyarakat sekuler sendiri, secara filosofis tak dapat dijelaskan mengapa manusia harus menaati nilai-nilai moral jika ketaatan itu harus dibayar dengan hidupnya sendiri. Untuk apa orang mengorbankan nyawa, misalnya, menentang sebuah rezim totaliter atau represif demi memperjuangkan hak-hak sesamanya yang tertindas tidak dapat dijelaskan secara rasional semata. Dibutuhkan keteguhan iman akan sesuatu yang transenden, melampaui kefanaan dunia ini.
Krisis paradigma sekuler menjadi jelas ketika harus berhadapan dengan persoalan-persoalan moral publik kontemporer, seperti eutanasia, aborsi, dan kloning manusia.
Hanya berpijak pada pertimbangan rasional, moral sekuler tidak dapat membendung maksud seorang pasien sakit parah yang mau mengakhiri hidup lebih awal lantaran penderitaan tak tertahankan lagi. Atau mengapa secara etis aborsi harus dilarang jika bayi di dalam kandungan merupakan buah dari pemerkosaan?
Solusi dari perspektif korban atas persoalan-persoalan ini tidak cukup berpijak pada pertimbangan rasional. Dibutuhkan iman kokoh akan sebuah kekuatan maha tinggi sebagai sumber mata air kehidupan.
Demikian pun krisis ekologis, jurang antara negara kaya dan miskin, terorisme global, serta persoalan mondial lainnya hanya dapat diakhiri lewat revolusi cara hidup. Perubahan cara hidup menuntut orientasi etis kolektif. Masyarakat dunia membutuhkan panduan bersama berupa etos yang berlaku mutlak dan universal.
Etos global
Etos bukan suatu teori atau doktrin filosofis serta teologis tentang moral. Etos adalah kesadaran, keyakinan dasar moral dari dalam diri manusia yang mewajibkannya untuk taat pada nilai-nilai kolektif. Etos adalah kebajikan (virtu) moral.
Kesadaran ini tidak dipaksakan dari luar lewat hukum positif. Ketika mengikuti tuntutan etos, manusia tidak lagi bergerak pada tataran norma eksternal, tetapi sudah masuk ke ranah hati sebagai kompas moral yang memberi arah bagi keputusan dan tindakannya.
Sebagai kesadaran moral, etos global lahir dari persoalan-persoalan yang muncul dalam semua kebudayaan sepanjang zaman. Masalah seputar perlindungan atas hak hidup, hak milik, martabat manusia, dan gender ditemukan di hampir semua kebudayaan.
Persoalan-persoalan ini telah menelorkan norma-norma umum. Betul bahwa kejujuran dan keadilan dihayati secara lain di China atau India dibandingkan dengan Eropa atau Amerika Serikat. Namun, di mana-mana, pembunuhan, pencurian, dusta, serta pemerkosaan yang melecehkan hak hidup, hak milik, martabat, dan gender dianggap sebagai kejahatan.
Nilai-nilai etos global tampil bervariasi dalam setiap kebudayaan berbeda, tetapi selalu mengungkapkan substansi yang sama. Etos hanya menjadi sumbangan konkret bagi perdamaian global jika setiap kebudayaan dan agama-agama giat mengomunikasikan nilai-nilai yang dihayatinya dalam sebuah dialog peradaban.
Dialog peradaban
Persoalan-persoalan global, baik bersifat individual, sosial, politis, maupun ekologis, menjadi semakin kompleks seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi industri modern.
Kompleksitas ini menuntut kerja sama semua komponen sosial, agama dan non-agama. Untuk itu, dibutuhkan etos bersama. Perdamaian dunia menuntut kesadaran kolektif untuk menyelesaikan tanpa kekerasan konflik antarbangsa, antaretnis, dan antaragama.
Agama-agama dan kelompok budaya sekuler butuh etos bersama sebagai basis sebuah dialog peradaban. Itulah budaya tanpa kekerasan dan penghargaan terhadap hak-hak hidup, budaya solidaritas dan tatanan ekonomi dunia yang adil.
Agama-agama dapat memainkan peran sentral dalam membangun etos global. Sebab, di tengah krisis moral rasionalitas modern, agama tetap mampu memberikan pendasaran atas keniscayaan dan universalitas moral. Namun, kedekatan pada yang niscaya dan absolut dapat dengan mudah menggiring agama ke dalam bahaya fundamentalisme dan intoleransi. Maka, di tengah pluralitas, agama-agama harus terus mempromosikan budaya toleransi, kejujuran, egaliterisme, serta kesejajaran antara pria dan wanita.
* Otto Gusti, Filsafat Lulusan Hochschule fuer Philosophie München, Jerman; Dosen di STFK Ledalero, Maumere
Sumber: Kompas, Sabtu, 27 Februari 2010
No comments:
Post a Comment