Sunday, February 07, 2010

Gagasan yang Menyangga Kolonialisme

Judul Buku: Hindia Belanda: Studi tentang Ekonomi Majemuk

Penulis: J.S. Furnivall

Prolog dan Epilog: Thee Kian Wie dan Poltak Hotradero

Penerbit: Freedom Institute, Jakarta

Cetakan: Pertama, Agustus 2009

Tebal: xxxiv + 544 Halaman

SETELAH hampir 70 tahun diterbitkan kali pertama dalam bahasa Inggris, Netherlands Indie: A Study of Plural Economy (Cambridge University Press, 1939), salah satu karya besar John Syndenham Furnivall ini diterbitkan dalam edisi Indonesia. Di dunia akademik, khususnya di bangku kuliah ilmu sejarah dan politik, sebenarnya nama Furnivall dan karangannya ini sudah dikenal luas, malah hampir mengklasik.

Ditakar sesuai tema dan runtutan gagasan, karya ini juga nyaris sama klasiknya dengan disertasi sejarawan J.H. Boeke, Tropisch Koloniale Staathuiskunde, yang dipublikasikan persis seabad lalu (1910).

Secara umum, buku yang disebut Thee Kian Wie sebagai ''ensiklopedi tentang Indonesia'' ini komprehensif dan terperinci. Merentang mulai masa-masa supremasi Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC, 1600-1800) sampai masa krisis ekonomi dahsyat yang melanda Indonesia mulai 1929 hingga akhir 1930-an. Atau, setidak-tidaknya sebagai awal sebelum meneruskan memelototi karya besar Furnivall satu lagi, Colonial Policy and Practice: A Comparatif Study of Burma and Nedherlands Indie (1948).

Tapi, secara khusus, menurut saya, buku ini layak diperiksa sebagai ''gugus gagasan ilmiah'' yang menyangga kolonialisme di Hindia Belanda. Mengapa disebut ''gugus''? Sebab, pokok gagasan di buku ini terkait erat dengan pandangan Furnivall atas kesangsian Boeke perihal penerapan teori dualisme ekonomi di Hindia Belanda. Dalam disertasi Tropisch Koloniale Staathuiskunde, menurut Furnivall, Boeke terlalu menekankan diferensiasi antara tata sosial kapitalis dan prakapitalis, antara motif ekonomi modern Barat dan pribumi.

Sebaliknya, pengalaman 20 tahun Boeke di Pulau Jawa malah memperkuat pemikirannya bahwa penerapan ekonomi modern Barat di Hindia Belanda tak akan pernah mencapai hasil memuaskan. ''...aksioma-aksioma yang menjadi dasarnya tidak berlaku dalam kehidupan pribumi dan karena kondisi-kondisi di wilayah pendudukan itu sangat berbeda dengan kondisi-kondisi di Barat,'' kata Boeke. Itu pun terbukti ketika pada 1930 Politik Etis dihentikan lantaran, salah satunya, daerah koloni (Hindia Belanda) kian dilanda krisis ekonomi dahsyat.

Sebagai fondasi pemikiran ekonomi-politiknya, Furnivall tak luput memaparkan persepsi sosiologis mengenai Hindia Belanda -yang bagi bangsa pascakolonial seperti kita sangat krusial. Furnivall menyebutkan, Hindia Belanda merupakan satu contoh ''masyarakat majemuk''. Masyarakat majemuk itu ''masyarakat yang terdiri atas satu atau lebih golongan atau tata sosial yang hidup berdampingan, tapi tanpa berbaur dalam satu unit politik. Dalam hal ini, Hindia Belanda adalah tipikal wilayah pendudukan tropis di mana penguasa dan rakyat berasal dari ras berbeda'' (hlm 471).

Atas dua larik kalimat tersebut, beberapa kritik (bernada ''curiga'') layak ditemu-kemukakan. Pertama, soal ''tipikal'', ''tropis'', dan ''ras''; tiga kata sebagai clue yang teramat mengganggu. Harus dipahami bahwa adanya ''pembagian kerja berdasar etnis'', sebagaimana tercatat eksplisit, merupakan penjeda pemikiran antara Furnivall dan Boeke. Tapi, penjeda itulah yang justru memendam pekat premis ilmu kolonial yang meyakini bahwa tipe-tipe ras tertentu memiliki ciri-ciri fisik dan karakter bawaan.

Sejarawan HW van den Doel dalam buku De Stille Macht: Het Europese Binnelands Bestuur op Java en Madoera, 1808-1942 (1994: 276-277) sempat mencatat pamflet JHE Kohlbrugge yang diedarkan pada 1907. Kohlbrugge adalah seorang dokter yang sebelas tahun bekerja di Jawa -dan secara politik dia konservatif.

Tentang karakter orang Timur (Jawa), bagi dia, ''Logika tidak dikenal dan kekacauan spirituallah yang menguasainya. Hanya nafsu dan emosi yang dapat menggerakkan orang Timur. Timur diperbudak oleh alam, lemah, dan tidak berkemauan.'' Pangkal musabab semua itu, lanjut dia, adalah iklim tropis -yang menjadikan orang tak mampu menegang saraf dan berpikir terus-menerus.

Kedua, ihwal ''tanpa berbaur dalam satu unit politik'' lantaran ''penguasa dan rakyat berasal dari ras berbeda''. Membaca kritis logika tersebut, rumusan Furnivall tiba-tiba saja tampak hipokrit karena menutup-nutupi kebijakan politik kolonial, di bawah selubung dalil ilmiah. Bagaimana tidak? Menelusuri sejarah binnelands bestuur (pegawai negeri kolonial) saja, misalnya, van den Doel sampai menyebut sebagai de stille macht, kekuasaan tersembunyi. Posisi binnelands bestuur sebagai alat kekuasaan pemerintah kolonial memang efektif, sekalipun sehari-hari mereka cukup melakukan kerja-kerja ''diam'' administratif.

Sampai kekuasaan kolonial Belanda tamat, tidak pernah ada pribumi yang mendapat tempat sebagai binnelands bestuur. Tentu ini bukan hanya lantaran kekolotan politikus konservatif, tapi juga dilegitimasi sejumlah kalangan sarjana. Salah satunya, sebagaimana disebutkan P. Swantoro (2002), guru besar hukum tata negara dari Universitas Utrecht: J. de Louter (1847-1932). Menurut de Louter, ''Kaum pribumi di Hindia Belanda tidak bisa dipercaya, betapa pun tinggi pendidikan mereka. Selain itu, mereka akan rugi jika diberi kesempatan menduduki jabatan orang Eropa karena justru akan terasing dari bangsa mereka sendiri.'' Furnivall adalah sarjana yang tak jauh selisih dari de Louter.

Kini, kiranya tak perlu lagi ada ragu di antara kita. Sebab, bahkan dalam pengantar buku ini, Gubernur Jenderal Hindia Belanda 1929-1931 ACD de Graeff, yang pada 1947 menulis buku Colonial Policy and Practice, begitu mengumbar ungkapan sanjungan sekaligus terang memosisikan garapan Furnivall ini untuk keberlangsungan politik kolonial. Yakni, ''agar administrasi-administrasi (kolonial) lain bisa belajar dari kegagalan dan pencapaian Belanda'' (hlm xxiv).

Apalagi, diperiksa dari tahun penerbitan (1939), Furnivall sesungguhnya meluncurkan buku ini tepat pada periode yang -menurut Arjen Tasselar- sohor sebagai ''periode interbellum''. Yakni, periode antara dua Perang Dunia (1920-1940) alias ''puncak kolonialisme Belanda''. Suatu periode ketika ekspansi teritorial disudahi -dan Belanda berilusi bahwa keadaan rijkseenheidsgedachte (Hindia dan Belanda tak terpisahkan) bakal terus berlangsung sepanjang zaman. (*)

M. Lubabun Ni'am Asshibbamal S.
, peminat sejarah, bergiat di Komunitas Kembang Merak Jogjakarta

Sumber: Jawa Pos, Minggu, 7 Februari 2010

No comments: