Saturday, February 06, 2010

Sejarah: Rumah Kenangan Soekarno-Inggit

TERSEMBUNYI di belakang deretan lapak para pedagang kaki lima yang menjual barang bekas, suku cadang sepeda motor, dan peralatan lainnya, rumah yang pernah ditinggali Inggit Garnasih dan Soekarno pada masa mudanya di Bandung sudah lama tidak lagi menyiratkan semangat penghuninya. Bertahun-tahun lamanya sepi, bahkan pernah menyerupai rumah hantu.

Rumah sejarah Inggit Garnasih. (FOTO-FOTO: KOMPAS/HER SUGANDA)


Bangunan mungil di Jalan Ciateul (kini Jalan Ibu Inggit Garnasih) Nomor 8, Bandung, Jawa Barat, itu pernah direncanakan sebagai museum. Namun, dalam perjalanan selanjutnya menjadi lain. Sejak sebulan lalu, di depan bangunan rumah tersebut didirikan petunjuk yang terbuat dari tembok bata. Nama bangunan itu kini sudah diganti menjadi ”Rumah Sejarah Inggit Garnasih”.

Inggit adalah wanita asal Banjaran yang menikah dengan pemuda Soekarno setelah menceraikan istri pertamanya, Oetari. Perkawinannya berlangsung sederhana. Maklum, Inggit yang dicerai suaminya, Haji Sanusi, seorang aktivis Sarikat Islam, tidak banyak memiliki harta. Sementara Soekarno hanya seorang mahasiswa Technisch Hoogeschool (kini Institut Teknologi Bandung). Karena tidak mempunyai tempat tinggal tetap, kedua pasangan pengantin baru itu harus beberapa kali pindah rumah.

Sejarah

”Rumah Sejarah Inggit Garnasih merupakan tempat persinggahan terakhir sebelum Bung Karno dibuang ke Ende, Flores, Nusa Tenggara Timur. Rumah ini menyimpan kenangan paling kuat bagi Inggit Garnasih. Di tempat ini, ia melewati masa-masa yang paling manis sampai yang paling pahit dalam menjalani kehidupannya di hari tua.

Sebagai pendamping Bung Karno, Inggit bukan hanya menjadi istri, tetapi sekaligus menjadi tulang punggung ekonomi keluarganya. Apalagi setelah Bung Karno bersama dua pengurus Partai Nasional Indonesia (PNI) ditangkap dan kemudian dijebloskan ke penjara Banceuy karena melakukan kegiatan politik di Solo dan terakhir di Yogyakarta pada 29 Desember 1929. Ia kemudian dipindahkan ke penjara Sukamiskin setelah dalam sidang Landraad Bandung dijatuhi hukuman empat tahun penjara.

Menghadapi kenyataan ini, Inggit menunjukkan ketabahan yang luar biasa. Ia banting tulang mengerahkan kemampuannya untuk menghidupi keluarga dan sekaligus membantu Bung Karno yang berada di penjara. Tito Asmara Hadi (2000) menceritakan perjuangan nenek angkatnya. Tito adalah putra Ratna Djuami dengan Asmara Hadi. Wanita yang biasa disapa Omi itu tidak lain dari anak angkat Inggit Garnasih dan Bung Karno. Ia putri dari Murtasih, kakak kandung Inggit Garnasih. Akan halnya Asmara Hadi adalah pengikut Bung Karno.

Untuk menyambung hidupnya, Inggit bekerja sama dengan para perajin logam yang membuat golok dan peralatan besi lainnya di Ciwidey, Bandung selatan. Keuntungannya dibagi dua. Dengan uang itu, Inggit membeli daun enau (Sunda: kawung) dan tembakau. Ia membuat rokok lintingan daun kawung dan bungkusan. Setiap bungkus berisi sepuluh batang. Rokok itu diberi nama ”Rokok Kawung Ratna Djuami bikinan Ibu Inggit Garnasih”.

Rokok itu ternyata laku keras. Pembelinya yang sekaligus menjadi penyokong perjuangan Bung Karno terdiri dari rakyat kecil. Mereka berpendapat, dengan membeli rokok tersebut berarti ikut membantu rumah tangga ekonomi pemimpinnya yang sedang prihatin. Selain itu, bantuan diterima dari Mr Sartono, Moh Thamrin, Sukartono (kakak RA Kartini), Tan Tjoei Gien (pemilik toko kain di Jalan Raya Barat), dan Ibu Wardoyo (kakak kandung Bung Karno).

Inggit dalam waktu tertentu berusaha menjenguk suaminya. Namun, karena tidak memiliki uang, perjalanan pergi pulang Jalan Ciateul-penjara Sukamiskin ditempuh dengan jalan kaki. Padahal, jaraknya sekitar 15 kilometer pergi-pulang. Sebagai anak yang baru berusia enam tahun, Omi yang kelelahan merengek manakala melihat dokar yang lewat. Namun, Inggit membujuknya bahwa kuda dokar tersebut sedang sakit dan akan dikandangkan oleh kusirnya. ”Entong Nyai, karunya kudana keur gering. Tuh ku kusirna oge rek dibawa mulang ka kandangna,” katanya.

Bung Karno

Inggit Garnasih mengisi kembali rumah di Jalan Ciateul setelah sekitar 20 tahun mendampingi Bung Karno dalam masa-masa paling sulit selama menjalani pembuangan di Ende dan Bengkulu. Wanita yang menjadi sumber inspirasi Bung Karno itu berpisah persis seperti judul buku Ramadhan KH, Kuantar ke Gebang (Penerbit Sinar Harapan, 1981). Ia kembali ke Bandung membawa hatinya yang luka, tiga tahun sebelum Indonesia merdeka.

Di tempat ini, selama lebih dari 40 tahun ia menghabiskan sisa usianya. Inggit Garnasih tutup usia pada Jumat malam, 13 April 1984 pukul 19.10. Almarhum yang dilahirkan tanggal 17 Februari 1888 meninggal dalam usia 96 tahun di hadapan dua pembantunya yang setia, Ikah dan Irah, serta Djuhana, adik Ratna Djuami. Sesuai dengan pesannya, jenazahnya dimakamkan di Pemakaman Umum Caringin, Bandung.

Sepeninggal almarhumah, rumah tersebut dibiarkan kosong sehingga kondisinya pernah menyerupai ”rumah hantu”. Malam hari gelap gulita sehingga dijadikan tempat persinggahan tunawisma. Rumah itu akhirnya dibeli Pemerintah Provinsi Jawa Barat pada tahun 1993. Rencananya, bangunan tersebut akan dijadikan museum yang menyimpan benda-benda yang ada hubungannya dengan Bung Karno semasa perjuangan kemerdekaan.

Namun, sampai namanya diubah menjadi Rumah Sejarah Inggit Garnasih, isinya sama sekali tidak mencerminkan namanya. Pengunjung tidak menemukan sesuatu yang istimewa yang bisa mencerminkan kegiatan Bung Karno saat memperjuangkan kemerdekaan dan kehidupan pribadinya bersama Inggit Garnasih. Yang terpampang hanya beberapa foto Bung Karno bersama Inggit Garnasih dan keluarga saat menjalani pembuangan di Bengkulu, serta replika batu pipisan yang tersimpan di dalam lemari kaca.

Padahal, di luar masih terdapat benda-benda berharga lainnya yang menjadi peninggalan Bung Karno dan Inggit Garnasih. Benda peninggalan itu antara lain surat kawin Bung Karno dengan Inggit Garnasih pada tahun 1923, surat perjanjian perceraian, jam duduk, batu pipisan untuk membuat bedak dingin dan lulur, ranjang besi, dan lemari pakaian, serta lukisan karya Bung Karno. Inggit pada tahun 1961 menerima anugerah Satyalantjana Perintis Pergerakan Kemerdekaan dan tahun 1997 menerima anugerah Bintang Mahaputra Utama.

* Her Suganda, Anggota Forum Wartawan dan Penulis Jawa Barat

Sumber: KOmpas, Sabtu, 6 Februari 2010

No comments: