-- Bramma Aji Putra*
DISADARI atau tidak, kehidupan saat ini kian tenggelam dengan pelbagai karut-marut persoalan yang seolah terus membenamkan negara hingga titik nadir. Kiranya tepat apabila solusi atas permasalahan yang kita hadapi saat ini, salah satunya, adalah melahirkan generasi yang memiliki kepekaan hati. Kepekaan hati amat diperlukan sebagai wujud simpati dan empati kepada sesama yang kini mulai mengalami kemerosotan.
Kepekaan semacam itu dapat dilatih kepada generasi muda melalui gerakan cinta sastra. Apa itu? Yakni, sebuah gerakan yang mendorong para generasi muda, baik pelajar maupun mahasiswa, untuk mencintai sastra yang pernah dilahirkan oleh anak bangsa ini. Sastra di sini dapat dimaknai cerita pendek (cerpen), novel, dan puisi serta ragam sastra lainnya yang pernah dibuat oleh sastrawan besar yang kita miliki. Atau dengan lain perkataan, sudah tinggi waktunya bagi kita untuk membumikan karya sastra. Membumikan gerakan cinta sastra.
Untuk soal sastra, bangsa ini seharusnya tak patut untuk merasa rendah diri. Kita memiliki sastrawan besar yang terbukti pernah melahirkan karya agung. Sebut saja Pramoedya Ananta Toer, Umar Kayam, Moh. Diponegoro, Ahmad Tohari, Taufiq Ismail, dan D. Zamawi Imron. Juga angkatan tempo doeloe, seperti Marah Roesli, Hamka, Sutan Takdir Alisjahbana, dan masih banyak lagi.
Sayang seribu sayang, nama-nama sastrawan dan beberapa karya besarnya biasanya dilewatkan begitu saja di bangku sekolah. Sama persis dengan menghafalkan nama gunung berikut perkiraan ketinggiannya. Bisu, dingin, dan angkuh. Tak ada kehangatan dan keakraban yang didapati di sana. Babakan sejarah bangsa yang sarat dengan nilai kemanusiaan yang acap menyembul dari karya sastra anak bangsa negeri ini menjadi sumir dan bias. Bahkan, hilang entah ke mana.
Menjadi ironis saat hafal beberapa nama sastrawan -dengan sedikit judul karyanya- namun tak ada satu pun yang diselami lebih dalam. Kita kerap alpa untuk mencecap kenikmatan dan ikut hanyut dalam drama yang dihadirkan para sastrawan tempo dulu. Bukan mustahil, karya sastra tersebut merupakan cermin perjalanan sejarah bangsa kita.
Y.B. Mangunwijaya atau yang akrab disapa Romo Mangun melalui karyanya, Burung-Burung Manyar, telah memberi kita perspektif baru kepada musuh. Hamka melalui karya Tenggelamnya Kapal Van der Wijk sarat bertutur dengan setting keindonesiaan. Berkisah seorang pemuda yang berayah Minang dan beribu Bugis. Sistem patrilineal dan matrilineal menjadi tema yang amat memikat dan kritis bagi masyarakat kita.
Idrus dengan karya Surabaya-nya telah meluluhlantakkan kita dari heroisme kekanak-kanakan. Umar Kayam melalui Sri Sumarah dan Bawuk memberikan penuturan yang mengharukan mengenai orang-orang yang dicap komunis.
Satu lagi sastrawan besar bangsa ini yang karya-karyanya dicekal dan dibredel oleh penguasa sampai-sampai Bennedict Anderson dalam bukunya, Imagined Communities (2001), tak sungkan-sungkan menyebutnya sebagai penulis besar. Tulisnya, ''Tak seorang pun menemukan metafora yang lebih baik bagi kerangka pemikiran (gagasan besar terkait dengan bangsa dan nasionalisme) selain novelis besar Indonesia yang satu ini. Dialah Pramoedya Ananta Toer".
Melalui berbagai karya agung mereka, kita dapat memetik hikmah, pelajaran moral, dan inspirasi yang terkadang luput dari pelajaran umum yang diajarkan di sekolah. Para siswa di pelbagai jenjang sekolah sudah selayaknya didorong untuk mencintai karya sastra. Dan, biarkan mereka mengapresiasi karya tersebut dengan pola pemikiran mereka masing-masing.
Tentu saja gerakan cinta sastra merupakan tantangan tersendiri bagi kita. Pasalnya, berdasar penelitian yang dilakukan penyair Taufiq Ismail beberapa tahun lalu, pelajaran sastra di sekolah hanyalah 10-20 persen dari keseluruhan pelajaran bahasa Indonesia. Bandingkan dengan keadaan para siswa SMA di negeri-negeri tetangga. Di Brunei, misalnya, para siswa diwajibkan membaca minimal tujuh judul, Malaysia enam judul, Jepang 15 judul, Prancis 30 judul, dan di Amerika sampai 32 judul.
Tentu gerakan cinta sastra jika mendapat tempat akan menjadi kawah candradimuka yang melahirkan generasi yang memiliki kepekaan hati. Apalagi, seperti yang saya sebut di muka, bangsa ini memiliki warisan karya sastra yang amat berkualitas. Gerakan cinta sastra dapat dikemas dengan menarik, asal ada perhatian dari seluruh stakeholder pendidikan.
Para sastrawan dapat diundang untuk datang ke sekolah. Membacakan karya sastranya, sedangkan para siswa mendengarkan dengan takzim. Sungguh pemandangan yang amat memikat. Dari atmosfer semacam itulah, bakal tercipta generasi madani. Generasi yang tidak berpihak pada kekuatan otot dan okol, namun lebih mengedepankan rasio seraya mengasah empati dan rasa, terlebih sisi nurani. Tentu kita memimpikan memiliki generasi semacam ini. Dan itu bisa terjadi, salah satunya, dengan mengampanyekan gerakan cinta sastra. (*)
* Bramma Aji Putra, mahasiswa Fakultas Dakwah UIN Sunan Kalijaga, Jogjakarta
Sumber: Jawa Pos, Minggu, 21 Februari 2010
No comments:
Post a Comment