-- Jaya Suprana
MENDADAK seorang teman saya yang pujangga dan budayawan terkemuka di Indonesia (yang akibat terlalu rendah hati maka keberatan namanya disebut di sini) mengirimkan SMS sebagai berikut: Mas Jaya, mengapa negeri ini seperti kehilangan nuraninya, kehilangan kejujuran. Politisi, pengusaha korupsi, akademi berplagiasi, rohaniwan memanipulasi. Di manakah sejarah pelajaran untuk itu?
Mahakarya-mahakarya filsafat lazimnya lahir dari pertanyaan baik yang diajukan ke diri sendiri maupun orang lain seperti yang kerap dilakukan Sokrates berdasarkan apa yang dikisahkan kembali oleh Plato. Meskipun sadar bahwa mustahil saya mampu mencipta suatu mahakarya filsafati, pertanyaan atau lebih tepatnya kerisauan teman saya itu membuat saya merenung, mawas lingkungan peradaban dan kebudayaan yang sedang terjadi di Tanah Air tercinta ini.
Mengenai kata kehilangan sebaiknya saya tidak bahas. Sebab, apabila saya menulis negeri ini tidak kehilangan, karena tidak pernah memiliki nurani, bisa-bisa saya dituduh menghina negeri yang sangat saya cintai ini. Ungkapan tentang politisi dan pengusaha yang korupsi sebenarnya kurang lengkap. Masih banyak lagi pejabat publik yang berpotensi melakukan korupsi.
Sementara frase ”akademisi berplagiasi” sebenarnya bukanlah kenyataan yang dimonopoli bangsa Indonesia di masa kini. Kasus plagiasi di kalangan akademisi sama halnya dengan kasus korupsi di kalangan politisi atau pengusaha, yang kenyataannya semua tetap manusia biasa. Manusia yang tidak selalu jujur.
Pada bagian lain kita merasa terheran-heran juga, mengapa tiada tuduhan plagiasi, antara Darwin dan Wallace meski keduanya pada masa yang hampir bersamaan menciptakan karya akademis yang serupa argumentasinya. Lebih parah lagi, plagiasi bisa samar atau sengaja disamarkan dengan teknik penggunaan istilah, rangkaian kalimat, dan pendekatan materi yang merupakan keahlian kaum akademisi.
Manipulasi rohaniwan
Mengenai ”rohaniwan yang memanipulasi”, kita dapat temukan terlalu banyak fakta sejarah untuk disebut di sini tentang bagaimana para rohaniwan bukan hanya di Indonesia mengingkari nurani keimanan sampai hati memanipulasi ajaran-ajaran agama mereka sendiri. Yang kebetulan saya ingat, antara lain, adalah kisah seorang rohaniwan sempat sibuk memanipulasi tuduhan blasfemi terhadap siapa pun, termasuk Nabi Isa. Pernah pula ada rohaniwan asyik menjual sertifikat pengampunan dosa yang memicu gerakan reformasi gereja. Di samping, tentu, di sepanjang sejarah agama apa pun selalu ada rohaniwan yang tega memanipulasi ajaran kasih sayang menjadi ajaran kekerasan!
Apa yang dapat dilakukan saat ini, memang tidak lagi cukup dengan mengatakan berbagai imperasi normatif: jangan korupsi, jangan kehilangan nurani, jangan kehilangan kejujuran, jangan menjiplak, jangan manipulasi atau berbagai bentuk larangan verbal, bahkan yuridis sekalipun. Namun pertama, tampaknya fenomena kehilangan integritas dan kejujuran di kalangan elite–bahkan hingga ke akar rumput—bangsa kita itu, mesti diterima lebih dulu sebagai sebuah keniscayaan yang alamiah.
Satu realitas das Sein yang senantiasa hadir pada situasi atau kondisi apa pun: hal yang baik dan yang buruk selalu hadir di tengah kemelut kehidupan, sejak dahulu, mungkin hingga akhir zaman. Dalam bahasa lain, saya hendak menyatakan fenomena itu adalah semacam ”kelumrahan” dari sebuah perkembangan yang terjadi pada sebuah bangsa yang tengah gigih bergerak maju. Sebuah ”kelumrahan” yang mesti dijawab oleh kemajuan itu sendiri.
Kerisauan teman saya yang mengirim SMS pada awal abad XXI setelah Masehi di Indonesia, buat saya sama (meski beda bahasa dan gaya ungkapan) dengan kerisauan Plato di sekitar abad III-IV sebelum Masehi di Yunani. Saya yakin pada saat ini di China, India, Jepang, Inggris, Afrika Selatan, apalagi Amerika Serikat, atau negeri-negeri lain, juga muncul pujangga dan budayawan yang ”meratapi” malapetaka etika dan moral di negeri mereka masing-masing!
”Ratapan” itu mungkin saja bersifat verbal pada mulanya. Namun, dari verbalisme yang timbul kepekaan mereka terhadap kebobrokan sikap dan perilaku manusia di lingkungan mereka itulah, sebenarnya peradaban mulai berbenah. Untuk itu, kita layak bersyukur, ”Alhamdullilah”, sebab kerisauan para pujangga dan budayawan, seperti Plato, Cervantes, Rousseau, Kant, Emerson, Tolstoy, Sartre, Russel, Ronggowasito, WS Rendra, Taufiq Ismail, Franz Magnis-Suseno, atau teman saya yang sangat rendah hati dan tidak ingin disebut namanya itu, merupakan salah satu mekanisme kendali moral dan etik.
Yang menentukan kemudian adalah kemauan dan kemampuan setiap bangsa untuk mendengar, memahami, memedulikan, memerhatikan ratapan kerisauan para budayawan masing-masing demi membenahi apa saja yang perlu dan bisa dibenahi! Di sinilah mereka, yang tergolong pekerja, profesional, dan para pelaksana (eksekutif) menjalankan fungsi aplikatif dan praksisnya. Ide—yang datang dari kecemasan, kerisauan atau ratapan—harus bertemu dengan pelaksanaan. Di situlah integritas dapat ditegakkan. Insya Allah...
* Jaya Suprana, Komponis; Pengusaha; Pengamat Sosial Budaya
Sumber: Kompas, Sabtu, 20 Februari 2010
No comments:
Post a Comment