Friday, February 12, 2010

[Fokus] Pilihan: Dari "Shane" sampai Partai

ADA yang terus melawan, ada yang mencoba masuk dalam sistem politik untuk memengaruhi, ada yang terus berusaha merebut negara, semua dengan cara masing-masing. Dari situ bisa ditengarai jejak para (mantan) aktivis mahasiswa tahun 1974 sampai ”reformasi” 1998.

Tiga kelompok tipologi dalam penelitian Lili Hasanuddin dan kawan-kawan dari Aliansi Masyarakat Sipil untuk Demokrasi (Yappika) itu terlihat jelas dari perbincangan dengan beberapa (mantan) aktivis gerakan mahasiswa.

”Mahasiswa dan aktivis perlu menyalurkan ide-idenya,” ujar Hariman Siregar (59). Untuk itu, ia mendirikan Indonesian Democracy Monitor (Indemo), yang menyelenggarakan diskusi Reboan. Pada 15 Januari 2007 ia masih ikut aksi pawai rakyat Cabut Mandat SBY-JK.

Hariman adalah Ketua Dewan Mahasiswa UI 1973 yang disebut ”operator” Malapetaka 15 Januari (Malari) 1974. Ia mendekam di penjara beberapa tahun setelah demonstrasi menentang kuatnya modal Jepang yang menyebabkan 11 orang tewas, 775 orang ditahan, dan 807 mobil hangus.

Keluarganya terpengaruh. Istrinya, Sriyanti, putri Prof Sarbini Sumawinata, terguncang. Setelah memberi Hariman anak lelaki, bayi kedua yang lahir saat Hariman ditahan, meninggal.

”Shane”

Tak banyak yang tahu bahwa Wakil Ketua Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Prof Lukman Hakim (56) pernah merasakan pengapnya ruang penjara ketika menjadi Ketua Dewan Mahasiswa UI 1977-1978. Ia keluar dari jalur politik karena ingin menjaga kemurnian gerakan mahasiswa sebagai gerakan moral.

Keyakinan gerakan mahasiswa adalah gerakan moral yang harus dijaga juga terlihat pada Y Adi Prasetyo yang biasa disapa Stanley (50). Setelah hiruk pikuk aksi mahasiswa poros Yogya-Salatiga membela hak-hak mereka yang terpinggirkan sampai awal tahun 1990-an, Stanley terus menentang wacana dominan yang represif melalui kerja jurnalistik, menulis dan meneliti. Lebih dari 10 bukunya yang terbit terkait pelanggaran hak asasi manusia.

Sejak tahun 2007 ia menjadi anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, di Komisi Pendidikan dan Penyuluhan serta mengurus pelanggaran hak-hak ekonomi, sosial, budaya.

Filosofi dalam film Shane (1953) yang memengaruhi aktivis tahun 1966 seperti Arief Budiman tampaknya juga memengaruhi Stanley. ”Shane membantu sheriff mengusir bandit-bandit. Setelah selesai, ia melanjutkan perjalanan. Dipanggil pun tak menoleh. Shane tak butuh penghargaan.”

”Gua ngeri”

Kalau Hariman Siregar punya klinik di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, selain bangunan ruko tiga lantai warisan yang lantai terbawahnya disewakan, tak demikian dengan Adian Napitupulu (38) dan Emil Nasibu (42).

Adian adalah penggerak Forum Kota (Forkot) dan konseptor pendudukan Gedung DPR tahun 1998. Hidupnya keras. Ia bekerja untuk biaya kuliah, dikejar aparat setelah peristiwa 27 Juli 1996, mengalami represi dan penyiksaan. Kuliahnya di Fakultas Hukum Universitas Kristen Indonesia molor 17 tahun. Ia baru lulus tahun 2007.

Sampai punya anak usia lima tahun dan satu anak lagi lahir Kamis kemarin ia tak punya pekerjaan tetap. ”Tak ada perusahaan yang mau menerima.”

Adian sempat mendirikan Kota Law Office tahun 2007, tetapi lalu digerebek polisi. ”Dituduh terlibat pembakaran mobil di depan Kampus Atma Jaya karena rapat-rapatnya di kantor saya,” kata Adian tentang peristiwa akhir Juni 2008 itu.

Ia kini berdagang jaket kulit dari Bandung dan kerja apa pun. Hidupnya menjadi lumayan karena terbantu warisan rumah mertua sebagai tempat tinggal.

Namun, ia mulai khawatir dengan anak sulungnya. Di sekolahnya, anaknya tiba-tiba naik ke atas meja dan berteriak, ”Hidup rakyat Indonesia Raya.” Anak itu juga suka menyanyi dengan syair ”pasti menang, harus menang”. ”Kadang gua ngeri. Fair aja, gua ngerasain beratnya (jadi aktivis). Gimana nanti kalau anak gua....”

Hal sama terjadi dengan Emil Nasibu yang berdemonstrasi di depan Kedutaan Besar Perancis, Jakarta, tahun 1986, memprotes pemukulan mahasiswa Indonesia oleh gerakan fasis. Emil tak pernah menyelesaikan kuliahnya di Fakultas Hukum Universitas Nasional angkatan tahun 1986.

Ia menjadi desainer grafis yang mendesain sejumlah spanduk, kaus, stiker, dan alat peraga aksi-aksi di jalan. Hariman pun mengakui kualitas desain Emil.

”Hanya butuh waktu sebentar untuk mendesain, apalagi kalau kenal orangnya,” ujar Emil yang juga berprofesi fotografer.

Emil dan Adian membayar mahal pendirian politiknya: menolak kompromi. Begitulah.

(MH/NMP/INK)

Sumber: Kompas, Jumat, 12 Februari 2010

No comments: