Sunday, February 28, 2010
[Buku] Menjaga Api Soekarno
Judul Buku: Bung Karno; The Other Stories: Serpihan Sejarah yang Tercecer
Penulis: Roso Daras
Penerbit: Imania dan Pustaka Media Mulia
Cetakan: Pertama, November 2009
Tebal: xxxviii dan 276 halaman
TAHUKAH Anda bahwa mobil kepresidenan yang pertama dimiliki Indonesia adalah hasil curian? Sudiro, sekretaris pribadi Soekarno, mendatangi rumah seorang pejabat Jepang yang memiliki mobil jenis limosin bermerek Buick. Hanya ada sopir si pejabat yang terlihat di pekarangan rumah. Sudiro berteriak kepada si sopir, ''Merdeka!'' Kemudian, dia menjelaskan maksud kedatangannya untuk meminta kunci mobil milik majikan si sopir.
''Saya bermaksud mencuri mobil juraganmu, buat presidenmu!'' jelas Sudiro untuk meredakan kebingungan si sopir. Alhasil, si sopir melepaskan mobil milik majikannya kepada Sudiro. Mobil buatan General Motor tahun 1939 tersebut telah menemani Soekarno dalam pelbagai kegiatan yang dia lakoni pada masa-masa awal menjadi presiden RI.
Cerita tersebut adalah salah satu di antara 30 kisah tentang Soekarno yang dihimpun Roso Daras dalam buku setebal 276 halaman ini. Roso Daras dalam buku ini memang menuliskan cerita-cerita tentang Soekarno yang jarang menjadi diskursus publik. Dia menelusuri buku-buku, koran, dan majalah terbitan lawas untuk menghimpun kisah-kisah snapshot perihal Soekarno.
''Api di tungku tidak akan menyala dengan baik kalau kayu tak bersaling-silang,'' demikian peribahasa orang Minang. Roso Daras seolah mempraktikkan peribahasa tersebut melalui buku ini. Kisah-kisah yang dia himpun bukan melulu terkait revolusi, pemikiran politik, atau ideologi Soekarno, namun juga cerita-cerita tentang keseharian, anekdot, dan tingkah unik sang proklamator tersebut. Keragaman tampilan kisah yang disajikan Roso Daras membuat buku ini tampak sebagai sejumput usaha untuk menjaga ''api'' Soekarno.
Khalayak agaknya hanya teringat pada judul pleidoi Soekarno di hadapan pengadilan Hindia Belanda pada 1930, yakni Indonesia Menggugat, tetapi kurang paham pada kisah dan isi pleidoi yang menggetarkan banyak pihak itu. Roso Daras mengingatkan bahwa Soekarno menulis pleidoi tersebut setiap malam hari dengan tangan dan beralas tempat buang air di dalam sel selama 45 hari tanpa henti. Soekarno merujuk kepada 80 buku dan pidato tokoh terkemuka untuk menulis Indonesia Menggugat (hlm. 35-42).
Pleidoi tersebut menjadi bahasan serius di Eropa terkait dengan perlawanan bangsa-bangsa terjajah di Asia. Kisah yang melingkupi Indonesia Menggugat hanyalah sedikit bukti bahwa Soekarno adalah sosok yang cerdas dan responsif merasakan penderitaan masyarakatnya.
Soekarno pun seorang humoris yang selalu memiliki lelucon untuk dibagi kepada lawan bicaranya. Howard P. Jones, duta besar AS, pernah terpingkal-pingkal setelah mendengarkan lelucon dari Soekarno (hlm. 245-248). Sifat humoris memberikan isyarat kepada kita bahwa Soekarno bukanlah pribadi yang memikirkan kehidupan pada segi politik semata. Bahkan, Soekarno juga dikenal sebagai pemikir kebudayaan yang sangat luas pengetahuannya di bidang seni rupa. Boleh dikata, Soekarno merupakan politikus yang mampu mengupas kesenian sebaik menjelaskan pemikiran politiknya.
Roso Daras juga menghimpun kisah-kisah percintaan Soekarno dengan beberapa perempuan hingga gosip affair antara Soekarno dan Marilyn Monroe. Cerita-cerita semacam itu, agaknya, mampu membuat pembaca mengenal sosok Soekarno sebagai manusia biasa yang pernah tersandung cinta.
Bagi saya, kisah yang mengharukan justru datang dari momen Soekarno melamar Rahmi untuk menjadi istri Bung Hatta (hlm. 145-151). Peristiwa yang terjadi beberapa bulan setelah proklamasi dikumandangkan itu memperlihatkan bahwa Soekarno selalu meluangkan waktu untuk memikirkan orang-orang terdekatnya. Soekarno membantu Bung Hatta, yang saat itu berumur 43 tahun dan masih perjaka, untuk mendapatkan istri. Padahal, jamak paham bahwa dua proklamator RI itu sering berselisih dalam pandangan politik. Sikap care yang ditunjukkan Soekarno terhadap Bung Hatta memberikan pelajaran kepada kita bahwa politisi memang harus mampu membedakan urusan politik dan perkawanan.
Suatu kali, Oei Tjoe Tat, menteri negara diperbantukan presidium Kabinet Kerja 1963-1966, pernah tidak percaya diri atas nama Tionghoa yang disandangnya. Karena itu, Oei meminta Soekarno memilihkan nama yang pantas baginya sebagai seorang pejabat negara. Alih-alih menuruti kemauan Oei, Soekarno malah marah dan berkata, ''Apa? Kamu kan orang Timur? Apa kamu sudah kehilangan hormat kepada ayahmu yang memberi kamu nama itu?''
Kisah itu agaknya bisa menjadi pembanding bagi pandangan beberapa lawan politik Soekarno yang menilai pemimpin besar revolusi itu sebagai pribadi bermental Jawasentris.
Melalui buku ini, Roso Daras memang ingin menyuguhkan pemandangan tentang Soekarno sebagai manusia yang multiaspek. Kepribadian presiden pertama RI itu tak bisa dinilai hanya melalui satu kisah. Buku ini merupakan usaha yang baik dalam menyuguhkan sosok Soekarno secara utuh kepada generasi masa kini. Hanya, Roso Daras tak menuliskan tahun terbit dari sumber pustaka yang memuat kisah Soekarno sebagaimana dia nukil dalam buku ini. Hal itu tentu akan menyulitkan pembaca yang ingin lebih lanjut menelusuri kisah tersebut. Walau begitu, kita tetap layak membaca buku ini sebagai langkah dalam mewarisi api, bukan abu Soekarno. (*)
Fenny Aprilia, alumnus FIK Universitas Padjadjaran, penerjemah dan penyunting
Sumber: Jawa Pos, Minggu, 28 Februari 2010
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment