JAKARTA, KOMPAS - Pembaca komik, komikus, dan penerbit komik sangat banyak di Indonesia, tetapi kehadiran novel grafis trilogi Kontrak dengan Tuhan, yang diterbitkan Penerbitan Nalar, karya Will Eisner—Bapak Novel Grafis, bisa membuka cakrawala baru di Indonesia. Sebab, di Amerika Serikat, penjualan novel grafis menjadi fenomena yang mencengangkan, penjualan melonjak dari dari 75 juta dollar AS tahun 2001 menjadi 207 juta dollar AS tahun 2004.
Demikian benang merah diskusi Will Eisner dan Novel Grafis yang digelar Bentara Budaya Jakarta (BBJ) bekerja sama dengan Penerbit Nalar, Selasa (16/2) di Jakarta. Tampil sebagai pembicara, sastrawan dan pencinta komik Seno Gumira Ajidarma. Diskusi dihadiri para komikus, sastrawan, dan pembaca komik dari Jakarta dan Bogor.
Seno Gumira Ajidarma mengatakan, pencapaian seperti Will Eisner belum terjadi di Indonesia. Will Eisner mengembangkan komik sebagai bahasa, berusaha mengeksplorasi bahasa komik sebagai bahasa gambar dengan kata-kata sebagai bagiannya. Jasa utama Eisner dalam sejarah komik (Amerika Serikat) adalah memberikan kecerdasan pada komik.
”Secara prinsip, Eisner berpendapat bahwa seni komik adalah seni keberuntungan dan karena itu bagaimana panil disusun dan gambar serta kata yang menjadi isi panil itu sendiri jadi menentukan. Eisner dengan contoh-contoh gambarnya berhasil menunjukkan bahwa justru dengan mempermainkan berbagai konvensi dalam penggambaran isi panil dan keberurutannya, bahasa komik terlihat keberdayaannya sebagai seni bahasa,” ujar Seno.
Kata bagian dari gambar
Dalam komik Eisner, lanjut Seno, kesadaran bahwa kata adalah adalah bagian dari gambar sangat kuat. Kata-kata tidak hadir demi kata-kata itu sendiri karena, dalam pendapat Eisner, gambar yang mestinya bercerita dengan susunan kata-kata yang sangat diperhatikan segi visualnya. Eisner justru menjamin komik yang digubahnya akan tampil sepenuhnya seperti yang selalu dikehendakinya, yakni komik berbobot ”sastra”.
”Dalam novel grafis karya Eisner, pembaca akan menemukan perkembangan strategi estetik, sebagaimana selalu dilakukannya. Tetapi, yang membuatnya menjadi novel grafis yang ia bedakan istilahnya dari ’sekadar’ komik adalah kandungan tematiknya.
Dipandu Hikmat Darmawan, Seno juga menyoal apakah benar komik itu lebih ”rendah” daripada novel grafis. Seno menegaskan, secara teknis novel grafis itu komik dan komik itu novel grafis, tetapi adalah kepentingan ideologis yang telah menyebabkan perbedaan penamaannya. Adapun pemberian nama adalah bagian dari proyek naratif penciptaan identitas diri.
JB Kristanto dari Penerbit Nalar mengatakan, pihaknya tertarik menerbitkan novel grafis karena karya Eisner adalah mahakarya, sebuah trilogi yang dikerjakannya dalam rentang waktu hampir 20 tahun. Novel grafis itu dia ciptakan pada usia senjanya, menjelang akhir karier panjangnya yang mencapai sekitar 70 tahun.
”Tidak sederhana menerjemahkan novel grafis trilogi Kontrak dengan Tuhan ini. Kami tidak menerjemahkan bahasa, tetapi kebudayaan. Karena itu, istilah-istilah yang khas tidak kami terjemahkan,” ujarnya.
Kontrak dengan Tuhan melukiskan keriangan, kegembiraan, tragedi, dan drama kehidupan di jalan raya Dropsie, Bronx, New York. Pada novel grafis Daya Hidup, Eisner tidak hanya mengisahkan zaman depresi akhir tahun 20-an hingga 30-an, tetapi juga bangkitnya Naziisme dan menyebarnya politik kiri di wilayah miskin kota New York. Dalam buku ini Eisner ”menjelmakan” diri dalam sosok Joseph Shtarkah yang pencarian makna hidupnya mencerminkan perjuangan pribadi Eisner.
Trilogi karya Will Eisner ini menjadi legendaris karena berhasil menciptakan sebuah cabang kesenian baru dan mengukuhkan Will Eisner sebagai perintis novel grafis. (NAL)
Sumber: Kompas, Rabu, 17 Februari 2010
No comments:
Post a Comment