Sunday, February 21, 2010

Media Bahasa Indung

-- Eddy D. Iskandar

HAMPIR semua pengarang Sunda karya-karyanya mulai dikenal melalui media berbahasa Sunda. Jarang misalnya, ada pengarang baru yang karyanya langsung diterbitkan sebagai buku, lalu dikenal secara meluas. Secara umum, kehadiran pengarang Sunda sering kali berhubungan dengan keberadaan majalah Sunda pada masanya.

Tahun 1960-an, boleh dibilang sebagai masa jayanya majalah Sunda. Meskipun hampir semua majalah Sunda terbit di Bandung, tetapi para pengarang Sunda bermunculan dari berbagai daerah. Bahkan kemudian ada yang pindah ke Bandung, di antaranya menjadi redaktur majalah Sunda.

Pada masa itu, sangat menonjol kekayaan tema cerpen atau novel yang muncul dalam berbagai majalah Sunda dengan ungkapan bahasa yang sangat hidup. Suasana pilemburan atau suasana desa yang diungkapkan melalui cerita pendek begitu orisinal, misalnya pada karya-karya Wahyu Wibisana, Ki Umbara, Ahmad Bakri, Dudu Prawiraatmadja, Yus Rusyana, Ami Raksanagara, Dedy Windyagiri, Karna Yudibrata, Iskandarwassid, Agus Sur, dan yang lainnya.

Sementara suasana kekinian, suasana kota, dan suasana kehidupan ”orang gedongan” mulai menggema melalui cerita bersambung karya Mh. Rustandi Kartakusumah yang dimuat dalam majalah Mangle, ”Mercedes”, ”Bincarung di Kampus Universitas”, dan ”Mojang Dusun Meledug”. Kemudian secara fasih, kehidupan remaja kota banyak mewarnai awal kehadiran karya-karya Aam Amilia. Sementara suasana perang, suka duka seorang prajurit, secara dominan muncul pada karya-karya Adang S., pengarang yang saat itu berpangkat kopral, antara lain melalui cerita bersambung ”Ngepung Kahar Muzakar”. Warna pesantren melekat pada sejumlah karya RAF yang diteruskan oleh Usep Romli H.M. Begitu halnya karya sastra berlatar belakang sejarah Sunda yang menonjol, terasa sekali pada cerpen Saleh Danasasmita, seperti ”Ruhak Pajajaran” dan ”Lalaki di Tegal Pati”. Penerusnya adalah Yoseph Iskandar yang menulis sekian banyak novel sejarah berdasarkan Wangsakerta. Patut dicatat pula nama Duduh Durahman, kritikus sastra Sunda yang sepanjang hidupnya paling banyak menerjemahkan karya-karya asing ke dalam bahasa Sunda.

Majalah Sunda memang menjadi media yang membuat seorang pengarang begitu dikenal karena karya-karyanya digandrungi pembaca. Cerita bersambung ”Nyi Sutirah” karya Tjandrahajat dan ”Mercedes” karya Rustandi yang dimuat dalam majalah Mangle, termasuk yang mendapat sambutan pembaca secara fenomenal. Kemudian ada juga karya Tjaraka yang dimuat dalam majalah Langensari, ”Menak Baheula”, dan karya Min Resmana, ”Si Kabayan Saba Kota”.

Pengarang Sunda saat itu begitu leluasa mengirimkan karya-karyanya ke berbagai majalah Sunda. Sebab, ada majalah Mangle, Langen Sari, Campaka, Sari, Baranang Siang, Pelet, dan Wangsit. Bahkan majalah Sunda pimpinan Ajip Rosidi yang muncul menjelang tumbangnya Orde Lama, meskipun merupakan satu-satunya majalah Sunda bernuansa politik, tetapi tetap membuka lahan karya sastra; puisi, cerpen, dan cerita bersambung.

Menjamurnya majalah Sunda saat itu bisa jadi karena majalah berbahasa Indonesia relatif kurang. Sementara bahasa Sunda masih menjadi bahasa yang dominan digunakan dalam pergaulan sehari-hari, termasuk di kalangan remaja. Di sekolah menengah misalnya, lebih dikenal grup kesenian Sunda dari pada kesenian luar, salah satunya ”Rampak Sekar”, semacam vocal group sekarang.

Media

Makin derasnya media berbahasa Indonesia, terutama yang mengungkapkan dunia hiburan, dunia selebriti, dengan penampilannya yang mewah, dan juga merasuknya bahasa gaul ke wilayah anak muda, merupakan sebagian faktor penyebab tersisihnya media berbahasa Sunda, seiring dengan melunturnya kebanggaan berbahasa Sunda.

Secara tidak langsung, munculnya rubrik ”Pangajaran Basa Sunda” dalam media Sunda yang masih terbit sekarang ini – dengan target menjadi acuan untuk muatan lokal bagi para siswa sekolah menengah, menunjukkan bahwa kemampuan berbahasa Sunda makin tergerus.

Kini, majalah Sunda yang pernah terbit, seperti Kiwari, Langen Sari, Campaka, Baranang Siang, Sari, Wangsit, Sunda, Hanjuang, Gondewa, Pelet, termasuk koran Sipatahunan, tinggal nama. Sementara media Sunda yang teruji oleh perubahan zaman, dengan tetap konsisten jadwal penerbitannya dan juga memiliki jaringan pemasaran yang tertata, di antaranya majalah Mangle dan tabloid mingguan Galura (PR Group).

Setiap kali memperingati bahasa ibu atau bahasa indung, selalu semarak dengan kegiatan yang ada kaitannya dengan penggunaan bahasa indung, bahasa Sunda. Apakah itu pembacaan puisi, pementasan drama, panggung kesenian tradisi, atau mewajibkan berbahasa Sunda untuk instansi tertentu.

Akan tetapi, satu hal yang sering kali dilupakan justru peran media berbahasa Sunda, media bahasa indung. Sekarang ini, justru perhatian dan penghargaan pemerintah (daerah) terhadap bahasa indung boleh dibilang kurang. Padahal, berkesinambungannya regenerasi para pengarang Sunda tak lepas dari peran media berbahasa Sunda. Pengarang seperti Godi Suwarna, Taufik Faturochman, dan Yoseph Iskandar mengumumkan karya-karya melalui majalah Sunda.

Semestinya, perhatian dan penghargaan untuk media berbahasa Sunda langsung ditujukan kepada lembaganya – bukan individu atau melalui instansi lain. Dengan demikian, bisa digunakan untuk pengembangan media tersebut, termasuk yang menyangkut peningkatan honorarium bagi para penulisnya.

Tentu saja, kehadiran buku-buku Sunda dan kegiatan-kegiatan organisasi kasundaan merupakan kegiatan yang menunjang keberadaan bahasa indung. Akan tetapi, jika kita menyimak begitu besarnya peran media berbahasa Sunda – dari dulu hingga sekarang, tak bisa dibayangkan bila ke depan tak ada lagi media berbahasa Sunda yang terbit. Kemana para pengarang Sunda akan menyalurkan karya tulisnya? Melalui dunia maya? Yang pasti, penghargaan karya sastra, kehadiran pengarang-pengarang baru dan materi pengajaran bahasa Sunda tak lepas dari peran media berbahasa Sunda. Padahal, kalau hitung-hitungannya dari sisi bisnis, umumnya media berbahasa Sunda tidaklah meraup keuntungan yang memadai. Bahkan dalam situasi seperti itu, Galura masih mampu memberikan honorarium yang memadai untuk ukuran media Sunda. Demikian pula Mangle, memberikan hadiah uang yang bisa merangsang kreativitas para penulis cerpen, puisi, dan esai.

Tokoh seperti Ajip Rosidi, Uu Rukmana, Ganjar Kurnia, Atang Ruswita, begitu juga Harian Pikiran Rakyat, telah memberikan dukungan moril dan materiil yang tinggi bagi keberadaan media berbahasa Sunda. Ajip pendiri majalah Sunda, memprakarasai terbitnya majalah bulanan Cupumanik yang kini dikelola Rektur Unpad Prof. Dr. Ir. Ganjar Kurnia. Uu Rukmana pernah menerbitkan harian Koran Sunda, meskipun hanya bertahan satu tahun. Kini Uu juga menjadi donatur berbagai penghargaan untuk karya sastra dan kesenian. Tentu masih ada media Sunda lain yang kini masih bisa dijumpai, seperti Giwangkara, Sunda Midang, Mandiri, dan Ujung Galuh.

Patut dicatat, peran pengarang Aan Merdeka Permana yang secara individu – dengan modal pribadi, menerbitkan puluhan novel Sunda berlatar belakang sejarah dan majalah sasakala Ujung Galuh. Bahkan belakangan ini, Aan juga menerbitkan kumpulan cerpen, puisi, dan buku sastra karya pengarang lainnya.

Berbeda dengan penerbit lainnya, Aan memasarkan buku-bukunya melalui dunia maya dan menjalin kerja sama dengan sekian banyak toko buku di Tatar Jabar. Dengan pola seperti itu, ia memiliki komunitas pembeli yang tetap – bahkan terus bertambah.

Kegandrungan akan kasundaan sekarang ini, dengan wujud apa pun, tentu saja sesuatu yang positif untuk mencintai bahasa indung. Misalnya dengan memasyarakatkan arsitektur Sunda, pejabat yang membiasakan mengenakan pakaian (yang diyakini) Sunda, menggunakan aksara Sunda untuk nama jalan, munculnya organisasi kasundaan dengan nama-nama sunda, ngaguar kembali falsafah Sunda, gerakan inovasi dalam kesenian Sunda, secara tidak langsung akan bersentuhan dengan bahasa Sunda dan memopulerkan bahasa Sunda. Dan semua kegiatan itu akan bermuara pada media berbahasa Sunda sebagai alat penyampaiannya atau promosinya.

Memperingati bahasa ibu, sesungguhnya bisa digunakan untuk terus meningkatkan peran media berbahasa Sunda yang secara terus-menerus memelihara bahasa, budaya, dan sastra Sunda, tidak hanya pada momen tertentu atau sebatas seremonial belaka.***

Eddy D. Iskandar, Pemimpin Redaksi SKM Sunda ”Galura” (PR Group).

Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 21 Februari 2010

No comments: