Monday, February 08, 2010

Buku: Memutus Gurita Konflik Etnis

-- Humaidy AS*


Data Buku


• Judul Buku: Strategi Migran Banjar
• Penulis: Taufik Arbain
• Penerbit: LKiS, Yogyakarta
• Cetakan: I , 2009
• Tebal: xxiv + 266 halaman
• ISBN: 978-979-1283-86-9

KONFLIK di Indonesia bukan sesuatu yang baru, tetapi sudah ada sejak dulu. Bahkan, negeri ini dibangun dengan sebuah konflik sosial yang amat luas, terutama dengan kolonialisme. Mungkinkah konflik sosial pudar di negeri ini?

Di era pemerintahan Orde Baru, konflik sosial sangat dikontrol di bawah politik stabilitas Soeharto yang sangat efektif dalam rangka menciptakan kondisi pembangunan ekonomi yang berorientasi pada pertumbuhan. Dengan politik SARA (suku, agama, ras dan antar-golongan) rezim Orde Baru yang birokratis-militeristik berhasil meredam konflik sosial ke tingkat yang sangat minimal. Namun, selanjutnya, belakangan ini konflik cenderung bergerak vertikal, antara negara (state) versus rakyat (society), daripada konflik (sosial) horizontal, antar-golongan, etnis, atau kelas dalam masyarakat.

Konflik, atas dasar apa pun, terlebih konflik etnis, niscaya selalu membawa perubahan sikap dan perilaku, baik bagi etnis yang bertikai maupun etnis yang tidak terlibat pertikaian. Sebagai contoh, masih segar dalam ingatan potret suram sejarah negeri ini tentang betapa konflik antara etnis Dayak dan Madura di Kalimantan Tengah benar-benar memberi dampak bagi eksistensi masyarakat lantaran disharmoni sosial, ekonomi, dan politik yang dimiliki masing-masing etnis.

Strategi adaptasi

Untuk menghindari terjadinya konflik serupa pada masa mendatang, Taufik Arbain melalui pengamatannya yang dibukukan dengan judul Strategi Migrasi Banjar ini menekankan perlu adanya rekonstruksi strategi adaptasi guna menjaga keseimbangan hubungan antar-etnis. Buku yang dirangkai dalam rentang waktu 2002-2008 ini memotret dengan cermat fenomena adaptasi yang dilakukan oleh komunitas Banjar terhadap penduduk asli sebagai upaya mempertahankan eksistensi mereka di Palangkaraya, terutama pascaperistiwa berdarah antara etnis Madura dan Dayak di Kalimantan Tengah.

Dalam pandangan penulis, konflik antaretnis merupakan persoalan pelik yang dihadapi bangsa Indonesia berkenaan dengan posisi pendatang dan penduduk asli, seperti kasus yang terjadi di Aceh, Kalbar, Kalteng, Ambon, dan Papua. Kebijakan transmigrasi antarpenduduk dari satu pulau ke pulau lainnya di satu sisi membawa perubahan yang positif, tetapi di sisi lain juga memberikan dampak negatif. Sisi positif berupa pengembangan sumber daya alam pada daerah tujuan, sedangkan sisi negatifnya adalah adanya kesenjangan antara penduduk asli setempat yang kemudian merasa inferior di hadapan penduduk pendatang yang sukses secara ekonomi dan sosial (hlm vii).

Realitasnya, masalah penduduk tidak sekadar berbicara soal angka-angka fertilitas, mortalitas, dan migrasi penduduk semata, tetapi persoalan lain yang terkait dengan dinamika kependudukan masa sekarang. Artinya, mobilitas dan migrasi penduduk dengan segala kompleksitasnya, baik menyangkut sosial-ekonomi, sosial-politik, lingkungan dan sosial budaya, menjadi faktor penting untuk melihat hubungan antarpenduduk yang berada di daerah rantau (hlm x).

Konflik etnis yang terjadi di Kalimantan Tengah antara Dayak dan Madura (dikenal dengan Konflik Sampit) pada Februari 2001 merupakan bukti nyata realitas pertentangan antara penduduk pendatang dan penduduk asli sebagai puncak dari rentetan pertentangan sebelumnya yang hanya disikapi dengan penyelesaian semu selama masa Orde Baru. Akibatnya, dampak dari konflik tersebut bagi etnis-etnis pendatang, seperti Jawa, Bugis, Bali, Batak, Sunda, Minang, dan tidak terkecuali juga etnis Banjar, harus mengonstruksi ulang pola adaptasi perilaku terhadap penduduk asli. Kondisi ini merupakan konsekuensi dari ”luka-luka konflik”. Teriakan ”putra daerah” harus dipahami sebagai sinyalemen bahwa telah terjadi marjinalisasi peran penduduk asli di tengah-tengah persaingan hidup dengan penduduk pendatang.

Pengalaman terusirnya etnis Madura dari tanah Kalimantan Tengah mesti dipahami oleh etnis pendatang lainnya sebagai bentuk adaptasi yang tidak kondusif dengan nilai-nilai yang berlaku pada masyarakat penerima (masyarakat asli), terlepas bahwa beragamnya perbedaan budaya dan nilai-nilai yang dibawa etnis pendatang terkadang memang memerlukan ruang toleransi yang lebih bagi masing-masing etnis. Menurut Arbain, ”bahasa protes” yang acapkali dimanifestasikan dalam ranah politik lokal (entah dengan latar belakang konflik individu ataupun massa) merupakan bentuk desakan untuk memberikan kesempatan kepada penduduk asli dalam persaingan hidup agar tidak serta merta menjadikan mereka sekadar penonton sampai pada titik nadir, sebagaimana kaum Aborigin di Australia atau suku Indian di Amerika (hlm x).

Dalam ranah inilah, pada penelusuran setiap bab demi bab dalam buku ini, Arbain menegaskan bahwa strategi adaptasi komunitas Banjar di Palangkaraya terhadap penduduk asli adalah dengan langkah penguatan interaksi sosial, keterlibatan dalam kegiatan sosial dan menjalin keterbukaan serta toleransi dalam memandang eksistensi masing-masing etnis.

Faktor determinan

Pilihan-pilihan strategi yang dikontruksi memberikan sebuah pemahaman berkembangnya kesadaran sekaligus reaksi perlunya langkah strategis untuk merekonstruksi penyesuaian terhadap lingkungan sekitar. Lebih jauh, ulasan penulis memperlihatkan bahwa kondisi sosial migran Banjar sebagai penduduk asli Kalimantan (Selatan) yang bermigrasi dan berdomisili di kota Palangkaraya, Kalimantan Tengah, dihadapkan pada persoalan penggugatan posisi sebagai migran dan bukan migran. Realitas demikian mengesankan adanya tarikan-tarikan segmentasi dalam penguasaan berbagai sumber daya dan aneka fasilitas yang ada, terutama pascakonflik, di mana penduduk asli selama ini termarjinalkan (hlm 245). Akibatnya, tanpa mengesampingkan faktor peristiwa konflik etnis, semua etnis pendatang, tidak terkecuali etnis Banjar, merasakan dampak-dampak tersebut.

Meskipun demikian, faktor-faktor hubungan masa lalu yang harmonis antara masyarakat Dayak dan etnis Banjar, perasaan kesamaan latar belakang sejarah tentang asal-usul kesukuan sebelum memilih jalan ideologi dan kepercayaan masing-masing—masyarakat Banjar adalah representasi etnis asli Kalimantan yang beragama Islam dan merupakan etnis mayoritas migran di Kalimantan Tengah. Adapun etnis Dayak merupakan representasi dari bubuhan (saudara; b. Banjar) pemeluk Nasrani, Kaharingan, dan sebagian Islam)—menjadi faktor determinan dalam meredam letupan-letupan konflik antarkedua etnis ini. Meskipun pada sisi yang lain, kadangkala harus ”siap” pada posisi yang berhadapan, dikarenakan perseteruan individu yang mengarah pada perseteruan komunal.

Meski secara khusus menelaah pola interaksi dan adaptasi komunitas migran Banjar di Kalimantan Tengah, buku setebal 266 halaman ini sangat berguna sebagai referensi bagi para akademisi, peneliti, bahkan pemerintah sebagai pemegang kebijakan untuk memberikan prioritas perhatian kajian terhadap wilayah tujuan-tujuan migran yang rawan atau mempunyai sejarah konflik karena perbedaan nilai-nilai budaya antara penduduk pendatang dan penduduk setempat.

Jika tidak diatasi, konflik etnis pada akhirnya akan bermuara pada situasi krisis yang sangat potensial untuk mengarah pada disintegrasi nasional. Sayangnya, sepanjang pembahasan buku ini, tidak ada satu pun pembahasan khusus yang membedah bagaimana peran ataupun kebijakan pemerintah selama ini bertindak mengurangi potensi-potensi konflik di Tanah Air.

Kondisi pluralistik horizontal masyarakat Indonesia memang menyimpan ”gunung es” potensi konflik yang besar sehingga dapat mengganggu keutuhan bangsa. Namun, melalui solidaritas sosial yang sangat kuat, di mana manusia saling membantu dan saling mendukung, tentu bukan sesuatu yang mustahil untuk diretas kembali. Fakta bahwa masih terjadi diskriminasi dan pertikaian memang masih menunjukkan sebuah persoalan, yaitu belum adanya kesadaran kolektif sebagai satu warga negara Indonesia. Oleh sebab itu, berusaha saling mengerti dan memahami kebudayaan masing-masing adalah jalan untuk membangun ke arah masyarakat multikultural.

* Humaidy AS, Peneliti pada Lembaga Kajian Agama dan Swadaya Umat (LeKAS) Yogyakarta

Sumber: Kompas, Senin, 8 Februari 2010

No comments: