Friday, February 05, 2010

Kuasa Tafsir dan Metafora Fauna

-- Indra Tranggono

BERBAGAI citraan, kata/bahasa, benda, dan hewan menjelma kekuatan simbolik, semiotik, dan semantik ketika diletakkan dalam konteks politik. Mereka menjadi tidak netral lagi karena kuasa tafsir memainkan peranannya.

Kuasa tafsir itu merekonstruksi realitas sesuai dengan pemaknaan dunia subyektif pelaku komunikasi politik. Seekor kerbau, misalnya, menjelma menjadi simbol kritik terhadap tokoh politik tertentu ketika dihadirkan dalam demonstrasi. Jadi, tokoh tersebut masygul dan menilai ”simbolisme kerbau” tersebut melanggar asas kesantunan. Begitu juga dengan pembakaran foto petinggi negara dan kata-kata keras yang menyerang pihak penguasa.

Kuasa tafsir sangat ditentukan sensitivitas dan kemampuan pemaknaan pelaku komunikasi politik. Pemimpin yang sensitif cenderung memainkan kuasa tafsirnya secara rigid berdasarkan pengalaman dan pengetahuan berbagai realitas.

Karena sejak kecil seorang pemimpin memaknai kerbau adalah hewan yang bertubuh besar dan lamban, pemaknaan itu pula yang terpantul ketika sosok kerbau dihadirkan sebagai ikon kritik kepadanya. Padahal, semestinya ia pun bisa memaknai kerbau sebagai makhluk mulia: pekerja keras, kuat, setia, bersahaja, dan berdaya guna bagi kehidupan. Bahkan, dalam mitologi Jawa, kerbau mendapatkan posisi yang tinggi: ia dihormati dan disakralkan. Di Keraton Surakarta, misalnya, kerbau pun mendapatkan gelar terhormat: kiai.

Panggung melodramatik

Pemimpin ideal adalah pemimpin yang memiliki kuasa tafsir yang kaya atas seluruh kritisisme yang ditujukan kepadanya sehingga ia tidak jatuh pada sifat sentimental dan gemar membangun panggung melodramatik, di mana ia selalu memosisikan dirinya sebagai pihak yang teraniaya.

Kuasa tafsir atas kritisisme publik itu ibarat shock breaker yang menyeimbangkan kejiwaan pemimpin ketika menghadapi benturan dan guncangan. Kuasa tafsir itu pula yang memandang tidak semua guncangan dan benturan hidup sebagai tragedi, tapi juga komedi. Jadi, ketika menghadapi kritisisme demonstran seorang pemimpin masih bisa tersenyum dan bilang, ”Ah, anak-anakku, kalian memang kreatif dan nakal.” Sambil diam-diam ia mengambil substansi kritik sebagai asupan gizi jiwa yang mematangkan kerja kepemimpinan.

Maka, idealnya serang pemimpin memiliki selera humor tinggi untuk menyublimasi berbagai kerisauan dan mengubahnya menjadi semangat. Dengan demikian, seorang pemimpin tetap mampu tampil gagah, elegan, berwibawa, dan tidak mereduksi persoalan domestik menjadi urusan publik.

Budayawan Umar Kayam mengatakan, demokrasi itu cerewet dan membuat repot. Cerewet karena demokrasi tidak mengenal kebenaran tunggal dan kebenaran subyektif, tetapi kebenaran obyektif (kebenaran publik) sehingga selalu penuh perdebatan.

Demokrasi juga membuat repot karena ia mengurusi kepentingan publik yang memiliki keragaman gagasan, selera, dan ekspresi. Di sini setiap pemimpin dituntut mewujudkan cita-cita kolektif, setidaknya mendekati ideal. Kritik pun menjadi keniscayaan. Seorang pelawak Yogya bilang, ”Pemimpin itu pengarep (orang yang siap pasang badan atas semua risiko). Kalau tidak mau dikritik, ya jangan jadi pengarep.”

Kesantunan sosial

Soal kebebasan demokrasi yang melanggar batas memang harus kita koreksi. Namun, kesantunan juga kita tuntut pada cara para penyelenggara negara dalam menerapkan demokrasi liberal, terutama dalam bidang ekonomi dan budaya massa.

Demokrasi ekonomi liberal membuat rakyat tidak sanggup menjangkau ekonomi berbiaya tinggi, misalnya dalam hal kebutuhan bahan pokok, pendidikan, dan kesehatan. Adapun demokrasi liberal di bidang budaya massa membuat masyarakat kehilangan karakter, bermental instan, dan hanya menjadi makhluk konsumen. Apakah hal ini santun secara sosial? Apakah cara-cara ekonomi liberal itu juga patuh pada asas kesantunan? Apakah juga santun ketika gaji para penyelenggara negara naik, sementara rakyat hidup didera kemiskinan.

Apakah pemerintah santun ketika memberikan mobil mewah kepada para pejabat negara, sementara rakyat hanya bisa membayangkan rasa kenyang? Rakyat akan santun jika pemimpinnya juga santun.

Saatnya para pemimpin menghentikan imajinasi penderitaan individualnya akibat kritsisme publik. Saatnya juga para pemimpin lebih cerdas menafsirkan dan menjawab eskalasi penderitaan rakyat akibat lapangan kerja yang semakin mengecil serupa lubang jarum. Nah, untuk soal-soal ini para pemimpin justru harus rigid mengoperasikan kuasa tafsirnya dan jitu menjawab persoalan.

* Indra Tranggono, Pemerhati Budaya, Bermukim di Yogyakarta

Sumber: Kompas, Jumat, 5 Februari 2010

No comments: