Sunday, February 21, 2010

[Buku] Membumikan Gerakan Adil Gender

Judul buku: Bersikap Adil Jender: Manifesto Keberagamaan Keluarga Jogja
Penulis: Yusdani dkk
Penerbit: PSI UII - CORCAID, Yogyakarta
Cetakan: I, Desember 2009
Tebal: xxvi + 454 halaman

BILA kita membuka lembaran sejarah, segera akan ditemukan sederet catatan buram tentang eksistensi perempuan. Setumpuk atribut yang bernada negatif disematkan pada perempuan: dianggap makhluk pelengkap, manusia kelas dua, memiliki akal pikiran setengah dari rasio laki-laki, dan sebagainya. Bahkan, acap kali hak, kewajiban, serta keberadaannya bergantung sepenuhnya dan ditentukan oleh laki-laki. Hal ini sekaligus menjadi indikasi bahwa penindasan dan kekerasan terhadap perempuan sudah terjadi sejak berabad-abad silam dan terus berlangsung dalam beragam bentuknya hingga sekarang.

Sekadar menyegarkan ingatan, di era Yunani Kuno perempuan diperlakukan sebagai makhluk tahanan yang bisa diperjualbelikan. Tak sebatas itu, perempuan dianiaya sampai dibunuh pun adalah hal yang biasa. Demikian halnya perempuan di masa Hindu sekitar abad ke-7 M. Perempuan diperlakukan sebagai sesajen bagi para dewa. Hak hidupnya bergantung sepenuhnya pada suami. Jika suaminya meninggal, ia pun turut dibakar dalam kondisi hidup-hidup berbarengan dengan saat pembakaran jenazah suaminya. Perlakuan menyedihkan juga dialami perempuan dalam tradisi Nasrani. Perempuan dianggap tidak memiliki ruh suci, bahkan dikonotasikan bahwa penciptaan perempuan semata-mata untuk melayani laki-laki.

Ketertindasan perempuan yang tak kalah mengerikan juga ditemui dalam peradaban jahiliyah. Di tengah peradaban bobrok yang selalu memuja materi sebagai status sosial, perempuan nyaris tidak dipandang kecuali sebatas barang yang nista. Bahkan, bayi yang fitrah pun dihalalkan darahnya hanya gara-gara terlahir berjenis kelamin perempuan. Jika tidak, bayi perempuan itu bakal dikubur hidup-hidup tanpa diberi kesempatan untuk menikmati karunia hidup di dunia. Dengan kata lain, bayi laki-laki adalah lambang kebanggaan. Sebaliknya, bayi perempuan merupakan aib yang tak terperikan.

Begitulah, serangkum fakta pilu tentang kekerasan dan penindasan terhadap perempuan yang terus berjejalin dalam kehidupan. Maka, masyarakat dunia pun menginsafi hal tersebut dan memberi perhatian yang cukup serius. Setidaknya, dimulai pada 1975, PBB menyelenggarakan konferensi dunia pertama tentang perempuan di Meksiko. Karena itu, tahun 1975 dicanangkan Majelis Umum PBB sebagai Tahun Perempuan Internasional.

Kemudian pada 1979, Majelis Umum PBB mengadakan konferensi dengan tema Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Againts Woment. Dari konferensi itu, disepakati 30 pasal yang bertujuan untuk menghapus semua bentuk diskriminasi terhadap perempuan.

Pada 1990, ECOSOC menghasilkan Resolusi 1990/15 (24 Mei 1990) yang menyatakan bahwa tindak kekerasan terhadap perempuan dalam keluarga dan masyarakat merupakan perilaku yang merambah semua kelompok penghasilan, kelas, dan kebudayaan sehingga perlu segera diambil langkah-langkah efektif untuk menghapuskan kekerasan seperti itu.

Dalam konteks demikian, hasil riset Pusat Studi Islam UII selama tiga warsa (2006-2009) ini memiliki kontribusi yang sangat penting bagi penguatan gerakan adil gender di Indonesia. Tidak semata-mata meniupkan wacana adil gender, tetapi telah jauh menyusuri kehidupan sosial masyarakat yang multikultural dan multireligius. Setidaknya tampak dari senarai analisis sikap adil gender dari perspektif Buddha, Hindu, Katolik, dan Islam (hlm 8-31) sekaligus pengalaman mengaji adil gender bersama kelompok masyarakat multireligius yang tersebar di kawasan Jogjakarta (hlm 223-236).

Eksistensi perempuan Indonesia sejatinya dilindungi UU RI No 17 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan. Namun pada kenyataannya, dominasi kultur patriarkis masih kuat berurat-akar di masyarakat, sehingga ketimpangan gender pun serupa klise peristiwa yang terus diputar di alam nyata. Maka, tak heran bila laporan PBB pada 2008 menyatakan bahwa Indonesia rugi USD 2,4 juta per tahun akibat ketimpangan gender.

Implikasi laporan PBB tersebut kian mengemuka tatkala menilik fakta bahwa di tingkat dunia, Human Development Index (HDI) mengurut Indonesia pada posisi ke-81 dari 277 negara. Hal itu disebabkan, dari 1,3 juta penduduk miskin Indonesia, 70 persen di antaranya perempuan. Faktor lain yang memengaruhinya adalah tingkat buta huruf perempuan yang mencapai 65 persen dari 90 juta penduduk Indonesia yang buta huruf. Betapa tidak, akses perempuan masuk di dunia pendidikan masih rendah. Bahkan, dua per tiga penduduk dunia yang buta huruf dari kalangan perempuan.

Jelaslah, rendahnya tingkat pendidikan perempuan bisa membuka lebar-lebar pintu ketimpangan gender, termasuk kekerasan dalam beragam bentuknya yang dialami perempuan. Data kekerasan yang dikumpulkan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) dari 303 LSM di Indonesia menunjukkan bahwa kasus kekerasan terhadap perempuan kian meningkat. Pada 2001 tercatat 3.169 kasus. Pada 2002 meningkat menjadi 5.163 kasus. Pada 2003 meningkat lagi menjadi 5.934 kasus. Lalu, pada 2004 menjadi 6.232 kasus dan pada 2005 kembali naik menjadi 6.553 kasus.

Diyakini bahwa jumlah sesungguhnya jauh lebih banyak. Sebab, data tersebut hanya mengandalkan pada laporan, sementara sangat banyak faktor yang membuat perempuan tidak melaporkan kekerasan yang dialaminya. Mulai faktor budaya yang tidak mendukung, kurangnya pemahaman perempuan akan definisi kekerasan, kurangnya perlindungan hukum, hingga kurangnya informasi tentang institusi yang berwewenang menerima laporan kasus.

Karena itu, dalam buku ini disertakan pula desain kurikulum ''living with gender equality in family'' dalam proses pendidikan pada jalur nonformal. Fokus kurikulum ini menitikberatkan sikap berkeadilan dan berkesetaraan gender, terutama dalam dinamika kehidupan masyarakat multireligius (hlm 182-298).

Sebagai sebuah hasil riset, buku ini tentu saja telah teruji kesahihannya. Meski area penelitian sebatas kawasan Jogjakarta, substansi gerakan adil gender yang diusung buku ini patut digandakan di daerah lain. Sudah saatnya menempatkan perempuan pada posisi yang sejajar dengan lelaki sebagai mitra yang saling mengisi dalam kehidupan. Inilah pesan moral yang dipindai buku ini. (*)

Saiful Amin Ghofur
, redaktur Jurnal Millah MSI UII Jogjakarta

Sumber: Jawa Pos, Minggu, 21 Februari 2010

1 comment:

ANNAS said...

Hari ini kaum Muslimin berada dalam situasi di mana aturan-aturan kafir sedang diterapkan. Maka realitas tanah-tanah Muslim saat ini adalah sebagaimana Rasulullah Saw. di Makkah sebelum Negara Islam didirikan di Madinah. Oleh karena itu, dalam rangka bekerja untuk pendirian Negara Islam, kita perlu mengikuti contoh yang terbangun di dalam Sirah. Dalam memeriksa periode Mekkah, hingga pendirian Negara Islam di Madinah, kita melihat bahwa RasulAllah Saw. melalui beberapa tahap spesifik dan jelas dan mengerjakan beberapa aksi spesifik dalam tahap-tahap itu