-- Eny Prihtiyani dan Irene Sarwindaningrum
KEHADIRAN puluhan museum di Yogyakarta telah menjadi magnet pariwisata. Museum-museum itu sekaligus mengukuhkan gelar Yogyakarta sebagai satu-satunya kota di Indonesia yang menyandang gelar Kota Bersejarah bersama 88 kota besar lain di dunia, seperti Kyoto, Paris, dan London.
Busana adat Jawa dan berbagai peralatan nelayan menjadi bagian dari koleksi Museum Sonobudoyo Unit II, Jalan Wijilan, Yogyakarta, Jumat (5/2). Museum ini merupakan perluasan dari Museum Sonobudoyo di Alun-alun Utara, Yogyakarta, yang merupakan museum tertua di Yogyakarta. (KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO)
Setidaknya ada 37 museum yang saat ini eksis di Yogyakarta. Jumlah tersebut sekitar 15 persen dari total museum di Indonesia yang tercatat sebanyak 272 buah. Padahal, luas daratannya hanya sekitar 0,5 persen dari luas daratan di Nusantara. Tak berlebihan jika Yogyakarta mendapat julukan ”Kota Museum”.
Predikat ”Kota Museum” pula yang membuat Yogyakarta sangat berkepentingan dalam pencanangan Tahun Kunjungan Museum 2010. ”Secara kuantitas kami memiliki banyak museum. Dari sisi kualitasnya, museummuseum tersebut juga layak dikunjungi. Bila daya tarik museum diperbesar, saya yakin museum menjadi idola baru. Tahun ini seharusnya menjadi milik Yogya,” kata Ketua Badan Musyawarah Museum (Barahmus) DIY Thomas Haryonagoro. Thomas adalah pemilik Museum Ullen Sentalu, museum budaya di Kaliurang, Yogyakarta.
Menurut dia, museum-museum di Yogyakarta bisa dikelompokkan menjadi tiga kategori, yakni museum sejarah (misalnya Museum Yogya Kembali dan Museum Dirgantara), museum budaya (misalnya Museum Keraton dan Museum Sonobudoyo), serta museum pendidikan (misalnya Museum Biologi UGM dan Museum Ki Hajar Dewantara). Dari ketiga jenis tersebut, sebagian besar berupa museum budaya.
Hampir di setiap ruas jalan utama Kota Yogyakarta ada museum. Sebutan ”Kota Museum” semakin menemukan maknanya ketika kita melihat proses terjadinya museum di Yogyakarta yang bukan semata-mata lahir dari ide pemerintah. Banyak yang muncul justru dari spirit masyarakat atau komunitas tertentu. Museum Tani Jawa di Desa Kebonagung, Imogiri Bantul, misalnya, lahir dari kehendak segenap warga desa itu.
Di lahan seluas 1.000 meter persegi, setidaknya ada 260 koleksi alat-alat pertanian sumbangan dari para petani sekitar. Bangunan museum juga mirip rumah petani Jawa yang bercorak joglo. Sederhana, tetapi dari dalam bangunan ini orang bisa menyaksikan perjalanan budaya pertanian di pedesaan Jawa.
Kepala Museum Tani Jawa Kristya Bintara mengatakan, pembangunan museum untuk mendukung pengembangan desa wisata Kebonagung.
Museum Batik di Jalan Sutomo, Yogyakarta, juga lahir dari inisiatif pribadi, yakni dari keluarga Hadi Nugroho. Koleksi tertua Museum Batik adalah batik-batik tahun 1700-an, koleksi Van Zuylen dari Belanda, dan Oey Soe Thoen dari China. Koleksi-koleksi lainnya meliputi sekitar 5.000 kain batik gaya Pekalongan, Surakarta, ataupun Lasem. Tak ketinggalan 124 canting serta 35 peralatan membatik, seperti wok dan pewarna alami.
Kepala Dinas Kebudayaan Provinsi DI Yogyakarta Djoko Dwiyanto mengatakan, museum Yogyakarta mempunyai sejumlah koleksi bernilai budaya dan sejarah tinggi, mulai dari koleksi purbakala, Hindu-Buddha, Islam, kolonial, hingga zaman modern.
Dari zaman Hindu-Buddha, terdapat koleksi prasasti perunggu dari abad ke-8. Prasasti yang tersimpan di Museum Sonobudoyo merupakan sumber utama penulisan sejarah kuno Indonesia.
Selain itu, terdapat pula sejumlah koleksi dan karya raja-raja Jawa yang terus-menerus menjadi kajian nilai budaya pada masa lalu. Di antara serat berharga itu adalah Serat Ambya dari abad ke-16. Serat yang masih tertulis di lembaran-lembaran lontar itu berisi kisah para nabi dalam perspektif masyarakat pada masa lalu. Terdapat pula lima salinan Serat Jati Pusaka Makuta Raja dari zaman Sultan Hamengku Buwono V yang sudah tertulis di kertas, tetapi masih dengan tulisan tangan. Serat ini sering dikaji karena sarat akan ilmu kepemimpinan yang masih relevan hingga saat ini.
Salah satu koleksi unggulan (masterpiece) Museum Sonobudoyo adalah Genta Pemanggil Dewa peninggalan abad ke-4 sebelum Masehi. Foto genta perunggu itu digunakan sebagai ikon Museum Sonobudoyo.
Diperkirakan bagian dari biara Candi Kalasan, diduga genta digunakan dalam upacara-upacara keagamaan Buddha untuk mengusir roh jahat. ”Ini masterpiece karena bentuknya yang lebih besar dari genta-genta lain dengan hiasan yang rumit dan indah,” ujar Kepala Seksi Bimbingan Informasi dan Dokumentasi Museum Sonobudoyo Diah Tutuko Suryandaru.
Selain koleksi-koleksi itu, terdapat pula sejumlah koleksi emas, seperti topeng wajah sebagai lambang keabadian sesudah kematian, cincin stempel tipe Dieng berhuruf Pranegari, kalung dan liontin, serta sirkam (sisir kulit penyu dengan kepala emas). Piranti-piranti emas dengan hiasan berukir ini menunjukkan tingginya peradaban pada masa lalu.
Dengan 42.598 koleksi benda bersejarah, Sonobudoyo tengah digagas menjadi museum internasional. Sonobudoyo dikukuhkan menjadi museum dengan jumlah koleksi terbanyak setelah Museum Nasional (Museum Gajah, Jakarta).
Dalam alur besar, keberadaan museum di Yogyakarta seperti kehadiran sebuah mozaik kehidupan yang lengkap, mulai dari kehidupan purba hingga modern. Dari museum-museum di Yogyakarta itu kita bisa belajar tentang perjalanan sejarah peradaban manusia.
Barangkali ungkapan seorang pengunjung Museum Ullen Sentalu ada benarnya, ”Mengunjungi museum membuat kita menemukan dunia baru, yakni pemahaman sejarah dan spirit yang muncul dari benda-benda koleksinya. Ternyata, kehidupan di keraton sudah ada sikap Gusti Nurul yang antipoligami bisa menjadi sumber informasi wacana kesetaraan jender.”
Sumber: Kompas, Sabtu, 6 Februari 2010
No comments:
Post a Comment