Friday, February 12, 2010

[Fokus] Gerakan Mahasiswa: Mencari Isu Bersama

-- Ingki Rinaldi

GERAKAN Mahasiswa Aksi demo 28 Januari 2010 di Jakarta, meskipun diikuti ribuan orang, belum memunculkan isu solid yang dapat menyatukan berbagai elemen yang terlibat. Yang menjadi bahan pembicaraan justru instruksi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kepada para menteri dan gubernur se-Indonesia, awal pekan lalu, tentang cara berdemo yang membawa kerbau.

Mahasiswa menduduki Gedung MPR/DPR pada Mei 1998. (KOMPAS/EDDY HASBY)

Pada aksi menyambut 100 hari pemerintahan SBY-Boediono, Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta, di seberang gedung Mahkamah Agung tertutup lautan mahasiswa sejumlah perguruan tinggi. Mereka bersama sejumlah konsorsium gerakan, seperti Petisi 28, Gerakan Indonesia Bersih (GIB), hingga Front Oposisi Rakyat (FOR) Indonesia, menyampaikan ketidakpuasan kepada pemerintah di depan Istana Merdeka.

Dalam waktu hampir bersamaan, mahasiswa Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) berdemonstrasi di depan Gedung DPR/MPR/DPD. Sebelumnya di situ berdemo kelompok buruh dan tani. Di Bundaran Hotel Indonesia ada ratusan mahasiswa anggota Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (BEM UI) dan BEM Institut Teknologi Bandung (ITB). Di selatan Jakarta, di depan gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), mahasiswa BEM Institut Pertanian Bogor (IPB) dan sejumlah universitas negeri dan swasta serta anggota KAMMI Jabodetabek menuntut penuntasan kasus Bank Century.

Di depan bioskop Metropole di kawasan Pegangsaan Timur, mahasiswa Universitas Bung Karno (UBK) juga berdemonstrasi. Sekitar 500 meter dari situ, puluhan anggota Benteng Demokrasi Rakyat (Bendera) membakar ban di depan kantor Sekretariat Bendera di Jalan Diponegoro 58. Aksi ini berakhir dengan bentrok antara massa Bendera dan polisi. ”Itu karena (mahasiswa) UBK minta ada aksi bakar ban lagi. Padahal kesepakatannya hanya sekali,” kata Kepala Pos Polisi MH Thamrin Ajun Komisaris Nababan WTP.

Pada 28 Januari unjuk rasa berlangsung di 30 kota, sebagian besar di Jawa, dan ricuh di Palu (Sulteng) dan Pekanbaru (Riau) (Kompas, 29/1).

Isu berbeda

Isu yang diusung mahasiswa juga beragam. BEM UI, misalnya, minta evaluasi penyelenggaraan pemerintahan yang mereka nilai mengalami krisis kepemimpinan dan bermasalah di bidang politik dan ekonomi. Ketua BEM UI Imaduddin Abdullah menganggap belum perlu revolusi radikal mengubah sistem pemerintahan. Alasannya, isu skandal Bank Century dan perseteruan kepolisian-KPK masih isu elite, belum menyentuh rakyat kebanyakan. Sementara, menurut Imaduddin, BEM ITB memilih langsung menyatakan mosi tak percaya.

BEM UI juga melihat dilema menurunkan SBY dari jabatan presiden. ”Posisi Boediono juga sulit. Kalau SBY jatuh tidak mungkin Boediono menggantikan. Rakyat sudah capek,” kata Imaduddin.

Lain lagi pendapat Front Aksi Mahasiswa (FAM) UI. Menurut ketuanya, Andre Dwi Nova, gerakan mahasiswa hanya kelompok penekan sehingga tak perlu berpikir jauh soal politik kekuasaan dan siapa yang akan mengisi kekosongan tampuk pimpinan. Karena itu, FAM UI memilih jalan politik menurunkan SBY dan penuntasan dari sisi hukum.

Meskipun begitu, umumnya gerakan mahasiswa sepakat penuntasan hukum skandal Bank Century adalah agenda utama gerakan. Tujuan bersama tetap membersihkan Indonesia dari praktik korupsi dan mengganti sistem pemerintahan yang tidak berpihak kepada rakyat dan pro modal asing.

Presiden Mahasiswa BEM IPB Ach Firman Wahyu mengatakan, ”Kami mengusung tiga tuntutan: KPK tuntaskan Century, menagih janji Presiden untuk pemberantasan korupsi, serta mahasiswa dan rakyat di garda depan untuk berantas korupsi.”

Sementara GIB yang terdiri dari 58 elemen gerakan, antara lain HMI, Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia, Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia, Kontras, Badan Koordinasi Pemuda dan Remaja Masjid Indonesia, Liga Mahasiswa Nasional Demokrasi, dan Serikat Dosen Progresif, juga tidak satu pandangan. ”Yang muda-muda bilang SBY gagal. Kami yang akademisi bilang, (program) SBY banyak yang gagal, jadi masih ada yang berhasil,” kata aktivis GIB, Effendi Gazali, yang juga Koordinator Program Master Komunikasi Politik UI.

Terfragmentasinya gerakan mahasiswa ini diakui Imaduddin dan itu tidak membuat kecil hati. ”Perbedaan isu gerakan adalah proses menuju satu gerakan bersama,” kata juru bicara FOR Indonesia, Anwar Ma’ruf. FOR Indonesia terdiri dari puluhan elemen, antara lain Walhi, Indonesia Corruption Watch, Indonesia Police Watch, dan Jaringan Rakyat Miskin Kota.

Fokus

Dalam sejarah pergerakan mahasiswa di Indonesia ada beragam organisasi mahasiswa dan masing-masing punya agenda. Meskipun begitu, isu pokoknya dalam tiap zaman sama walau ada varian pada tiap zaman, yaitu kesejahteraan rakyat.

Perbedaan ideologi dan cara menyampaikan bukan barang baru. ”Tesis kami, gerakan mahasiswa memang tidak dapat disatukan oleh satu organ, tetapi bisa oleh isu yang fokus,” kata penggiat Keluarga Besar Universitas Indonesia, Budi Arie Setiadi atau Muni, alumnus FISIP UI angkatan 1993 yang kini aktivis di PDI-P. Muni mengacu pada pengalaman gerakan mahasiswa tahun 1998 yang berhasil melengserkan Soeharto. Hal itu juga disampaikan Taufik Basari, alumnus FH UI angkatan 1995 yang kini memimpin Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat. Hal yang mempersatukan mahasiswa pada 1998 adalah semua menginginkan perubahan.

Ketua Dewan Mahasiswa UI tahun 1973, dr Hariman Siregar, mengatakan, mahasiswa memerlukan sosok sebagai simbol perlawanan meskipun perlawanannya bukan karena alasan ideologi. ”Mahasiswa bergerak karena rasa ada ketidakadilan,” kata Hariman yang masih ikut pawai rakyat Cabut Mandat 15 Januari 2007.

Di sisi lain, Adian Napitupulu, pentolan Forum Kota yang aktif dalam demo mahasiswa 1998, berpendapat, konsorsium gerakan yang kebanyakan berisi tokoh publik berpotensi memikat media massa dan menguasai opini publik. Namun, kritik lebih substansial dia lontarkan. Kebanyakan gerakan mahasiswa saat ini tidak memilah isu dengan baik sehingga cenderung naïf karena mahasiswa tidak bergaul dan tidak memahami kelompok masyarakat yang mereka perjuangkan. (NMP/SF)

Sumber: Kompas, Jumat, 12 Februari 2010

No comments: