-- Iwan Gunadi*
TAK sedikit pekerja film, sinetron, dan musik tersohor di Indonesia mengakui pentingnya peran manajer untuk kemajuan karier di dunia seni masing-masing. Tak heran kalau kemudian mereka meminta teman dekat, salah seorang anggota keluarga, suami, atau istri menjadi manajer mereka. Ada pula yang meminta atau menerima tawaran dari perusahaan yang menyediakan jasa manajemen artis. Kesadaran akan pentingnya peran tersebut memang memicu sejumlah pihak mendirikan perusahaan jasa pengelolaan artis. Ya, mereka menyebutnya manajer artis untuk pelakunya dan manajemen artis untuk aktivitasnya.
Kesadaran semacam itu mungkin tak hanya ada di kalangan para pekerja film, sinetron, dan musik tersohor di Indonesia, tapi juga para pelaku seni rupa, seni tari, seni teater, atau bahkan seni sastra. Tapi, untuk empat kelompok terakhir, kesadaran itu kemudian tak segera atau bahkan sama sekali tak menjadi kenyataan, apalagi kelaziman.
Perbedaan tingkat persentuhan masing-masing bidang seni dengan napas industrialisasi memang berbeda. Sebab itu, unsur komersialisasi masing-masing bidang seni itu pun tak sama. Bahasa sederhananya, tingkat penghasilan di masing-masing bidang seni berbeda. Sementara ini, di Indonesia, tingkat penghasilan di bidang film, sinetron, dan musiklah yang memungkinkan para pelakunya mampu menggaji seorang atau beberapa orang dalam suatu tim manajemen artis untuk membantu perkembangan kariernya. Itu pun terutama hanya berlaku untuk mereka yang sudah masuk kategori bintang, seperti pemain film, pemain sinetron, pemusik, atau penyanyi terkenal tadi.
Namun, apakah mereka sudah memanfaatkan dukungan manajer artis atau manajer seniman itu semaksimal mungkin? Jawabannya terbilang mudah: belum. Simak saja pengakuan beberapa di antara mereka dan juga sejumlah manajer artis itu sendiri tentang peran yang biasa dilakoni seorang manajer artis. Menyiapkan pelbagai kebutuhan fisik seperti kostum, mengatur wawancara dengan wartawan, membalas surat-surat penggemar, menyiapkan kontrak kerja dengan pengguna jasa, dan mengelola keuangan, inilah sejumlah peran yang sering mereka sebut di beberapa tayangan infotainment.
Sementara, kegiatan yang berhubungan langsung dengan kerja artistik dan estetiknya tetap menjadi hak dan wewenang sang artis. Si artis masih menjadi pengendali utama atau bahkan pelaku tunggal manajemen proses kreatif secara menyeluruh. Kalau hanya itu yang dilakukan, peran manajer artis cenderung hanya mempermudah kegiatan "terutama" fisik atau psikomotorik yang tak perlu dilakukan seorang pemain film, pemain sinetron, pemusik, atau penyanyi terkenal.
Ada yang salah dengan pemahaman tersebut? Boleh jadi, tidak ada yang salah. Sebab, di negeri ini, manajer artis hanya menempatkan artis sebagaimana orang lain kebanyakan yang menyandang profesi berbeda. Bedanya, orang lain yang berprofesi berbeda tak membutuhkan pihak atau orang lain untuk membantu meringankan kegiatan "terutamna" fisik atau psikomotoriknya ataupun membutuhkan pihak atau orang lain itu, tapi tak mampu membayarnya. Jadi, manajer artis tak akan berbeda dengan manajer mubalig atau manajer politikus kondang, misalnya. Pemahaman seperti itulah yang banyak dikembangkan penjual dan pengguna jasa tersebut di sini untuk terminologi "manajer artis", termasuk aktivitasnya alias terminologi "manajemen artis".
Sesungguhnya, cakupan pemahaman manajemen artis dapat diperluas hingga ke pengelolaan pelbagai persoalan yang berhubungan dengan kerja artistik dan estetik sang artis. Bukan cuma mengelola pelbagai kegiatan fisik atau psikomotorik. Jadi, manajemen artis meliputi manajemen proses kreatif dan bukan proses kreatif. Kalau hal itu yang dilakukan, manajemen artis tentu akan berbeda dengan manajemen mubalig atau manajemen politikus, misalnya, karena bidangnya memang tak sama.
Kalau manajemen artis diperluas seperti itu, manajer artis juga tak sekadar menyiapkan tim kreatif yang bertugas menyokong gagasan-gagasan baru untuk kelompok pelawak, misalnya. Lebih dari itu, manajer artis dapat berperan sebagai dokumentator artistik dan estetik yang lengkap sekaligus kritikus yang mumpuni untuk kemajuan pencapaian artistik dan estetik kelompok pelawak yang dimanajerinya dalam setiap pementasan lawak.
Dalam manajemen kelompok pelawak seperti itu, peran manajer artis dapat dimulai dengan membantu kelompok pelawak itu menyiapkan tema yang cocok dengan penikmatnya dan media apa yang dimanfaatkannya, seperti media cetak, radio, atau televisi, baik siaran secara langsung maupun rekaman. Kalau akhirnya harus mengulang tema yang sama, manajer artis harus mampu membantu mencari perspektif yang berbeda. Ketika tema sudah menjadi materi cerita yang lengkap atau sekadar panduan kasar, memilih pelawak yang cocok untuk suatu tokoh merupakan pekerjaan lain yang juga dapat dibantu manajer kelompok pelawak. Kalau pelawak A kembali harus memerankan tokoh dengan karakter dasar yang sama dengan tokoh dalam pementasan sebelumnya, misalnya, manajer kelompok pelawak harus sanggup turut mencari pembedanya. Pencarian pembeda perspektif dan perincian karakter tersebut tentu sebaiknya tetap dalam jalur pencitraan yang selama ini dibangun kelompok pelawak itu. Di situlah kemampuan dokumentatif dan kekritikusan manajer kelompok pelawak itu bekerja.
Sebelum pemain film dan pemain sinetron menerima atau mendapatkan peran tokoh tertentu, manajer artis harus dapat membantu memutuskan apakah peran itu pantas diambil atau tidak. Kalau diambil, apa pertimbangannya: tantangan akting atau komersial semata, misalnya.
Kalau peran itu kemudian diambil, manajer artis kudu mampu membantu mengekpslorasi karakter tokoh itu sesuai dengan tuntutan skenario, menganalisis perbedaannya dengan karakter tokoh-tokoh yang sebelumnya pernah diperankan si artis, menemukan akting yang berbeda dengan akting untuk karakter-karakter sebelumnya yang mungkin mirip atau bahkan sama persis, serta menciptakan komunikasi yang efektif dengan pihak-pihak yang terlibat dalam pembuatan film atau sinetron itu, terutama produser, sutradara, dan penulis skenario. Untuk semua itu, manajer artis tentu butuh data yang akurat. Di titik itulah, kemampuan dokumentatif dan kekritikusan juga dibutuhkan manajer pemain film atau sinetron.
Untuk manajer pemusik atau penyanyi, fokus manajemen proses kreatif tentulah lagu, mulai dari proses penciptaan, penafsiran, hingga perekaman atau pementasannya. Manajer penyanyi, misalnya, tentu harus mampu membantu penyanyi memilihkan lagu yang cocok dengan karakter vokal penyanyi tersebut dan media penyampaiannya, yakni melalui produk rekaman atau nonrekaman (di depan khalayak). Tema lagu di negeri ini yang cenderung bermain di wilayah yang seragam, yakni cinta, sering kali menjadi titik krusial untuk mengeksplorasinya. Belum lagi aransemen musiknya yang juga cenderung tak berbeda secara signifikan. Sebab itulah, eksplorasi yang bertujuan menciptakan perbedaan pendekataan menyanyi bukanlah proses pencarian dan penemuan yang mudah. Dukungan kemampuan dokumentatif dan kekritikusan yang lebih perinci pun sangat dibutuhkan manajer penyanyi.
Bahasa mestinya menjadi satu dari dua titik perhatian penting manajer sastrawan. Sebab, bahasa merupakan media untuk sastrawan mewujudkan gagasannya. Pada saat yang bersamaan, gagasan atau apa yang akan dibahasakan melalui karya sastra merupakan satu hal penting lain yang mesti dihatikan. Yang tak mudah tentulah mengelola tarik-menarik atau ketegangan antara bahasa dan apa yang akan dibahasakan atau tarik-menarik antara bentuk dan isi karya sastra itu. Bagaimana menempatkan proses ketegangan itu dalam konstelasi karakter karya-karya sang sastrawan dan sejarah kesusastraan di Tanah Air adalah hal lain yang juga tak selayaknya dilewatkan manajer sastrawan dalam menata proses kreatif sang sastrawan.
Dengan pemahaman manajemen proses kreatif seperti itu, tak gampang memang menjadi manajer seniman. Walau tak mesti menjadi sekaliber kritikus, manajer seniman tetap mesti mampu menjadi pemuji dan pencela yang mumpuni untuk kemajuan artistik dan estetik sang seniman. Sebagai pemuji atau pencela yang mumpuni, selain mampu melontarkan pujian yang tak memabukkan dan celaan yang tak menghancurkan disertai alasan-alasan yang rasional dan solusi-solusi yang dapat diterapkan sang seniman, manajer seniman sekurangnya dapat menjadi pendamping atau jembatan penghubung yang produktif ke arah kemajuan kualitas dan kuantitas karya-karya kreatif sang seniman. Apalagi kalau manajer seniman juga dapat menjadi pendamping atau jembatan penghubung ke penemuan keunikan karya-karya hingga menjadi trade mark sang seniman kalau memang seniman tersebut belum menemukan karakter yang khas untuk karya-karyanya.
Idealnya, peran manajer seniman dilakukan pihak atau orang lain. Bukan sang seniman sendiri. Kalau penghasilan sang seniman sangat besar dan tuntutan kegiatan manajemen seniman memang banyak, kegiatan manajemen seniman dapat melibatkan pekerja yang banyak. Kalau kebutuhannya memang hanya satu dua orang, ya cukup sejumlah itu.
Namun, ketika dukungan keuangan sangat tidak memadai, seniman tentu harus realistis. Dia mesti rela berperan ganda sebagai manajer untuk dirinya. Dalam kondisi seperti itu, tentu tak semua aktivitas manajerial dapat dilakukan. Pelbagai aktivitas yang sangat substantif memengaruhi kemajuan kualitas dan kuantitas karya sepantasnya lebih diprioritaskan. Artinya, seniman yang tak mampu menggaji manajer harus bekerja lebih keras karena tak ada pihak lain yang membantunya.
Meski dukungan keuangan sangat tak memadai, seniman sebetulnya masih berpeluang punya manajer selama ada komunitas seni yang sudi mengambil peran tersebut. Komunitas seni itu bisa membentuk divisi atau kelompok kerja yang melakukan kegiatan manajemen seniman. Sang seniman selayaknya menjadi anggota komunitas seni tersebut. Komunitas seni itu bisa melakukan kegiatan manajemen seniman itu secara cuma-cuma atau menerapkan tarif fee tertentu dari setiap karya yang sudah mendatangkan uang. Catatannya, tarif tersebut tentu tak memberatkan seniman dan sekurangnya dapat turut membantu komunitas seni itu melanjutkan kegiatan manajemen seniman yang menjadi anggotanya. Pokoknya, win-win solution-lah.
* Iwan Gunadi, Peminat Seni
Sumber: Lampung Post, Minggu, 21 Februari 2010
No comments:
Post a Comment