-- Tiwiek S.A.*
SIAPA pun tahu bahwa sastra Jawa saat ini berada di ambang kepunahan. Hal yang sangat ditakuti (oleh sastrawan Jawa) ini bisa saja terjadi jika orang Jawa sebagai pemilik sah khazanah sastra Jawa semakin tidak peduli. Kalau saya mengatakan sastra Jawa, tidak berarti kehidupan sastra daerah lain (misalnya, sastra Sunda, Bali, dan Batak) lebih baik. Di sini saya khusus membicarakan nasib sastra Jawa karena kebetulan saya adalah orang Jawa yang selama ini menggeluti sastra Jawa.
Sesuai dengan kenyataan, jumlah penduduk Indonesia yang 200 juta lebih itu sebagian besar adalah orang Jawa. Sehari-hari mereka (kecuali yang sudah tak mengakui kejawaannya) berbicara memakai bahasa Jawa (orang Jawa memang tak perlu malu berbicara menggunakan bahasa Jawa karena dijamin oleh undang-undang). Mengingat orang Jawa masih eksis menggunakan bahasa Jawa sebagai bahasa sehari-hari, mestinya di samping memiliki media nasional, tidak berlebihan jika juga ada media lokal berbahasa Jawa dalam jumlah yang memadai.
Namun, kenyataannya, kini tinggal tiga media berbahasa Jawa yang masih hidup. Yakni, Panjebar Semangat dan Jaya Baya (Jawa Pos Group) di Surabaya serta Djaka Lodang di Jogjakarta. Masih mending koran Suara Merdeka (Semarang) dan Solo Pos (Solo) mau melampirkan halaman berbahasa Jawa. Media tersebut setiap terbit pasti menyajikan sajian sastra, yakni berupa crita cekak (cerita pendek) dan crita sambung (cerita bersambung) yang merupakan sajian unggulan dan banyak penggemarnya. Jumlah media yang hanya tiga buah tersebut sangat tidak sebanding dengan jumlah sastrawan yang setia mengisi, yang jumlahnya terus bertambah. Akibatnya, terjadilah antrean naskah yang sangat panjang. Contohnya, untuk bisa dimuat, suatu cerita pendek harus antre minimal tiga bulan. Bahkan, cerita bersambung baru bisa dimuat setelah antre minimal setahun!
Yang mengherankan, meski harus antre lama dan dengan honor yang sangat sedikit, para sastrawan Jawa tidak kapok. Mereka tetap saja setia mengisi dan belum punya niat beralih profesi (misalnya, beralih ke sastra Indonesia). Eksistensi dan idealisme para sastrawan Jawa itu patut diacungi jempol.
Belakangan, beberapa sastrawan berusaha membuat terobosan baru. Yakni, menerbitkan karya mereka menjadi buku. Usaha itu dilakukan setelah Yayasan Rancage pimpinan Ayip Rosidi memberikan penghargaan terhadap karya sastra Jawa terbaik yang berbentuk buku. Jumlah hadiah yang disediakan (sejak kali pertama didirikan hingga sekarang) Rp 5 juta. Memang tidak seberapa. Namun, itu cukup memacu para sastrawan untuk terus berkarya dan menerbitkannya menjadi buku.
Yang menjadi permasalahan sekarang, ternyata tidak gampang mencari penerbit yang mau menerbitkan buku sastra Jawa. Alasannya, buku sastra Jawa tidak laku dijual! Namun, mereka tidak putus asa. Dengan dimotori Suparto Brata, mereka menerbitkan naskahnya dengan biaya sendiri. Untuk naskah setebal 100 halaman dengan jumlah 250 eksemplar, si pengarang harus merogoh kantong paling sedikit Rp 3 juta. Seandainya buku tersebut menang dalam seleksi Rancage, memang masih untung. Tetapi jika tidak menang, terpaksa memasarkan sendiri. Berbagai cara dilakukan. Misalnya, memasang iklan di media berbahasa Jawa. Atau yang paling gampang (dan ditanggung pasti laku), dipasarkan di acara seminar tentang bahasa dan sastra Jawa. Biasanya, peserta seminar tidak keberatan membeli meski hanya sekadar untuk oleh-oleh. (*)
*) Tiwiek S.A., penggiat sastra Jawa dan pengelola Sanggar Sastra Triwida Tulungagung
Sumber: Jawa Pos, Minggu, 28 Februari 2010
No comments:
Post a Comment