Jakarta, kompas - Setidaknya 7.900 hasil penelitian dan produk inovatif perguruan tinggi serta lembaga penelitian sudah dihasilkan. Meskipun demikian, perlindungan hukum atas produk itu dalam bentuk paten atau pendaftaran hak atas kekayaan intelektual masih sangat minim.
”Dulu, hanya sekitar 5 sampai 10 produk yang dipatenkan. Kecil sekali. Tetapi, tahun 2009, ada kenaikan menjadi sekitar 136 produk,” kata Menteri Pendidikan Nasional Mohammad Nuh saat penandatanganan kerja sama perlindungan hak atas kekayaan intelektual (HaKI) di perguruan tinggi yang berlangsung di Jakarta, Rabu (24/2).
Penandatanganan kerja sama itu dilakukan tiga menteri Kabinet Indonesia Bersatu II, yaitu Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Patrialis Akbar, Menteri Pendidikan Nasional Mohammad Nuh, dan Menteri Negara Riset dan Teknologi Suharna Surapranata.
Dalam kesempatan yang sama, Direktorat HAKI juga menandatangani kerja sama dengan enam perguruan tinggi, yaitu Universitas Diponegoro, Semarang; Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta; Universitas Padjadjaran, Bandung; Universitas Muhammadiyah, Jakarta, Universitas Muhammadiyah, Malang; dan Universitas Trisakti, Jakarta.
”Ini merupakan upaya pemerintah untuk memberikan fasilitas kepada peneliti yang banyak menghasilkan karya di perguruan tinggi dan lembaga penelitian,” ujar Patrialis.
Menurut Mohammad Nuh, ada sekitar 150.000 dosen dan peneliti di perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta, serta peneliti di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan berbagai lembaga penelitian lainnya. Mereka banyak menghasilkan karya ilmiah dan inovasi. ”Namun, sangat sedikit yang dilindungi secara formal hak kekayaan intelektualnya,” katanya.
Salah satu kendala yang menyulitkan, tambah Mohammad, adalah susahnya menyusun atau menggubah bahasa dari bahasa yang terlalu teknis terapan ke bahasa hukum.
”Selain itu, waktu pengurusan pun terlalu lama. Kurang praktis,” ujarnya.
Terkait dengan persoalan bahasa, Direktur Jenderal HaKI Andi Someng Nurzaman mengatakan, pihaknya sudah mengadakan pelatihan mengenai hal tersebut.
Jemput bola
Patrialis mengatakan, pihaknya juga sudah mengirimkan surat kepada para kepala daerah (wali kota, bupati, dan gubernur) untuk mendata semua sistem budaya sekecil apa pun. Hal ini untuk mencegah terulangnya kembali klaim-klaim atas hasil budaya Indonesia oleh negara lain.
Patrialis mengatakan, kasus terakhir mengenai HaKI adalah ukiran Jepara. Christoper Harrison, pemilik PT Harrison & Gil, yang berlokasi di Semarang, pada 2004 telah mendaftarkan buku katalog berjudul Harrison & Gil Carving Out A Piece of History ke Direktorat HaKI. Menurut dia, yang didaftarkan adalah katalognya dan bukan jenis-jenis ukirannya.
Namun, hal ini memicu persoalan ketika ada larangan ketika orang lain mendaftarkan HaKI terhadap barang-barang yang ada di katalog tersebut. (ana)
Sumber: Kompas, Kamis, 25 Februari 2010
No comments:
Post a Comment