Friday, February 12, 2010

[Fokus] Pendidikan Demokrasi: Didasari Roh dan Semangat yang Sama

BOLEH jadi penilaian yang menyebutkan reformasi di negeri ini mati muda itu ada benarnya. Bukan karena bayi reformasi yang diperjuangkan dengan darah dan air mata oleh kalangan mahasiswa itu lahir sungsang, apalagi prematur, tetapi lebih akibat hadirnya semacam kartel politik di kalangan elite kekuasaan.

Gerakan mahasiswa selama Orde Baru yang berujung tumbangnya kekuasaan Soeharto sebagai arsitek pemerintahan otoritarian di negeri ini selama 32 tahun pada 1998, bukanlah serpihan-serpihan kecil yang tidak memiliki benang merah satu sama lain. Sejak kemunculan gerakan mahasiswa yang mengkritisi pemerintahan Orde Baru pada tahun 1970, kemudian berlanjut pada 1974, 1978, era 1980-an, hingga berpuncak pada 1998, esensi dan substansi yang melatari keberadaan gerakan mahasiswa dari waktu ke waktu relatif selalu berada di garis yang sama.

”Dia hadir untuk menjawab tantangan zaman pada saat gerakan itu digulirkan. Bentuk, organisasi, dan pola gerakan bisa saja berbeda, dan memang tidak mesti sama, tetapi roh dan semangat perjuangan yang mendasarinya tidak pernah berhenti hanya pada satu gerakan, lalu diam,” kata Heri Akhmadi, salah satu tokoh gerakan mahasiswa Indonesia tahun 1978, yang juga Ketua Umum Dewan Mahasiswa Institut Teknologi Bandung (ITB) 1977-1978.

Kesinambungan gerakan mahasiswa dari waktu ke waktu sesungguhnya bukanlah kebetulan. Tokoh-tokoh penggerak di balik setiap aksi umumnya mereka yang sadar sejarah. Mereka belajar dari gerakan-gerakan sebelumnya, baik melalui ajang diskusi dengan beragam topik, membaca buku-buku yang relevan dengan isu yang diusung, terjun ke lingkungan masyarakat kecil, atau langsung ”berguru” pada tokoh-tokoh gerakan mahasiswa terdahulu.

Di sini ada semacam proses pewarisan nilai-nilai perjuangan untuk melawan ketidakadilan yang justru datang dari pemegang kekuasaan. Dalam kondisi represif sekalipun, roh dan semangat yang mendasari arah perjuangan mahasiswa menentang ketidakadilan tersebut tidak pernah mati.

Y Adi Prasetyo—lebih dikenal dengan panggilan akrab Stanley—misalnya, sudah akrab dengan isu dan semangat gerakan mahasiswa 1978 sejak masih sebagai pelajar SMA di Malang. Pemikiran-pemikiran Heri Akhmadi dan Indro Cahyono, dua pentolan tokoh pergerakan dari ITB, yang tertuang dalam Buku Putih Perjuangan Mahasiswa ITB jadi bahan bacaan Stanley jauh sebelum ia berstatus mahasiswa.

”Tahun 1970-an saya sudah rajin baca koran, jadi saya juga kenal pemikiran Soe Hok-gie dan lain-lain,” kata Stanley, yang kini tercatat sebagai komisioner Komnas HAM.

Lulus SMA dan melanjutkan ke Universitas Kristen Satya Wacana di Salatiga, ia bertemu Rizal Sajad, eks mahasiswa ITB yang mengajar di Satya Wacana. Meski kuliah di teknik elektro, Stanley malah lebih aktif terlibat dalam diskusi-diskusi politik mahasiswa. Lebih-lebih pada 1980-an itu Arief Budiman—kakak Soe Hok-gie, eks tokoh gerakan mahasiswa 1966—yang sudah menyelesaikan program doktornya di luar negeri, pulang dan mengajar di Satya Wacana. Kedatangan Arief dengan teori ketergantungan dan strukturalismenya ikut menambah ingar-bingar diskusi politik dan pergerakan mahasiswa di Salatiga.

Bersama rakyat kecil

Semangat dan nilai-nilai yang dihasilkan dari diskusi-diskusi semacam itu, antara lain, mendasari keterlibatan mahasiswa ketika itu terjun ke kasus-kasus pemarjinalan masyarakat kecil. Sebutlah seperti kasus Waduk Kedungombo di Jawa Tengah pada 1989, atau kasus becak setahun sebelumnya, serta kasus Badega dan Kacapiring di Jawa barat, juga keterlibatan mereka dalam kasus Gunung Balak di Lampung.

Di tengah situasi yang makin represif, terjun langsung ke tengah masyarakat menjadi bagian tak terpisahkan dari gerakan mahasiswa 1980-an dan 1990-an. Budiman Sudjatmiko, salah satu pendiri Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi—belakangan ia mendirikan Partai Rakyat Demokratik pada 1994, sebelum akhirnya bergabung dengan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan—bahkan mengorganisasi mahasiswa untuk berada bersama buruh, petani, nelayan, dan rakyat miskin lainnya.

Pengetahuan yang didapat dari belajar bersama wong cilik tersebut menjadi bahan diskusi dengan sesama aktivis mahasiswa. Dalam banyak hal, dari diskusi semacam itu lahir konsep, bahkan teori-teori untuk merumuskan arah gerakan mahasiswa.

Terkait upaya perjuangan mereka, Budiman hidup selama tiga tahun di tengah-tengah petani Cilacap, Jawa Tengah, dan setahun bersama petani di Ngawi, Jawa Timur. Di sana ia belajar dan mengajar bersama petani, khususnya bagaimana mempertahankan hak-hak atas tanah mereka, mengorganisasi diri, hingga menumbuhkan pemimpin di kalangan petani.

”Setiap akhir pekan saya berada bersama mereka, bolak-balik. Saya juga belajar banyak dari mereka,” kata aktivis yang dituding ikut mendalangi kerusuhan 27 Juli 1996 dan sempat dijatuhi hukuman 13 tahun, sebelum dibebaskan ketika Abdurrahman Wahid menjadi presiden tahun 1999.

Melacak benang merah kesamaan roh dan semangat pergerakan mahasiswa dari waktu ke waktu bagai melihat jalan ketidakadilan yang panjang membentang di negeri ini. Jalan itu ada di mana-mana dan bisa ditapaki dari berbagai arah.

Gerakan aktivis mahasiswa yang ikut meramaikan berbagai aksi dalam beberapa tahun terakhir, termasuk aksi 28 Januari 2010 untuk menyikapi kinerja 100 hari pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, esensi dan substansi perjuangan mereka sesungguhnya juga tidak lepas dari roh dan semangat pergerakan para pendahulunya. Meski mengaku sudah merumuskan posisi baru (repositioning) gerakan mereka, tetapi hal itu lebih pada bentuk, organisasi, dan pola gerakan yang dibangun.

Upaya membangun komunitas, misalnya, seperti yang dilakukan aliansi Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) se-Indonesia saat ini untuk menggandeng masyarakat, dalam bentuk lain juga dilakukan angkatan Stanley dan Budiman Sudjatmiko. Keterlibatan penyair-dramawan (alm) WS Rendra pada serangkaian aksi mahasiswa 1978, juga harus dilihat sebagai bentuk interaksi kalangan kampus dan masyarakat di luar kampus.

Terlepas dari itu semua, juga terlepas dari kemudahan-kemudahan menggelar aksi di jalanan pascakejatuhan Soeharto, mahasiswa selalu berada di garis depan dalam menyuarakan aspirasi rakyat. Entah itu karena saluran demokrasi yang macet lantaran terjadi semacam persekongkolan politik di tingkat elite kekuasaan, atau karena memang penguasa sudah buta-tuli terhadap realitas yang ada di masyarakat, gerakan mahasiswa bisa jadi katup pelepasnya.

(MH/DOT/INK/NMP/KEN)

Sumber: Kompas, Jumat, 12 Februari 2010

No comments: