YOGYAKARTA, KOMPAS - Maraknya penjiplakan karya ilmiah selama ini, antara lain, disebabkan ringannya sanksi terhadap pelaku. Karena itu, untuk memberikan efek jera, serta mencegah semakin meluasnya aksi penjiplakan, pelaku perlu dikenai sanksi yang berat, termasuk sanksi pidana.
”Selama ini, sanksi terhadap pelaku penjiplakan hanya berupa sanksi administratif dan sanksi akademis yang sangat ringan,” kata Editor Penerbitan Universitas Islam Indonesia (UII) Press yang juga Direktur Penerbit Total Media Sobirin Malian di Yogyakarta, Selasa (23/2).
Jika pelakunya dosen, misalnya, hanya dikenai sanksi akademis atau sanksi administratif berupa pernyataan tidak puas dari pimpinan, teguran lisan, teguran tertulis, penundaan kenaikan pangkat, penurunan pangkat atau pencopotan jabatan. ”Bisa juga pelaku hanya diminta menyampaikan permohonan maaf,” kata Sobirin.
Tanpa ada sanksi pidana, kata Sobirin, penjiplakan oleh dosen dikhawatirkan akan terus terjadi. Apalagi, menerbitkan buku merupakan salah satu syarat untuk mengajukan jabatan guru besar.
Saat ini, buku hasil penjiplakan dosen bisa ditemukan beredar di pasaran. Sejumlah penerbit di Yogyakarta juga mengaku sudah beberapa kali menerima naskah karya ilmiah dosen, yang setelah diperiksa, ternyata merupakan hasil penjiplakan.
Penerbit dan Percetakan Navila, misalnya, sudah tiga kali menerima naskah hasil penjiplakan. ”Ketiganya diajukan dosen yang berbeda. Salah satunya ketahuan karena bahasa yang tidak sinkron antara bahasa pengantar dan bahasa yang digunakan dalam buku,” kata Direktur Penerbitan Navila Sholeh UG.
Direktur Penerbit Pustaka Insan Madani Muhyidin Albarobis menuturkan, pihak penerbit sangat mudah kecolongan. Hal ini karena pemeriksaan naskah oleh penerbit kerap terbentur keterbatasan sumber informasi dan data mengingat banyaknya jumlah karya ilmiah yang terbit.
”Tidak mungkin kami memeriksa satu per satu buku ilmiah yang pernah terbit,” ujarnya.
Pelanggaran hak cipta
Secara terpisah, Direktur Pusat Hak Kekayaan Intelektual Fakultas Hukum UII Budi Agus Riswandi mengatakan, penjiplakan karya tulis termasuk dalam kategori pelanggaran hak cipta. Penjiplakan karya tulis, baik untuk kepentingan komersial maupun akademis, bertentangan dengan Undang-Undang Hak Cipta yang menyebutkan, perbanyakan atau kutipan suatu karya tulis tanpa mencantumkan nama penciptanya merupakan pelanggaran hak cipta.
”Bahkan, UU Hak Cipta yang baru sekarang lebih tegas lagi. Di situ tidak ada batasan persentase banyaknya kutipan yang bisa masuk kategori pelanggaran hak cipta, seperti pada UU lama,” katanya.
Menurut Budi, penjiplakan karya ilmiah untuk kepentingan akademis merupakan pelanggaran hak cipta secara moral, yaitu hak pencipta untuk memperoleh pengakuan atas karyanya. Untuk karya ilmiah yang diperjualbelikan, selain melanggar hak cipta moral, penjiplakan juga melanggar hak cipta ekonomi. Dengan demikian, penjiplakan memungkinkan adanya penuntutan ganti rugi oleh pencipta.
Secara terpisah, di Jakarta, Menteri Pendidikan Nasional Mohammad Nuh mengatakan, lebih penting dari sanksi adalah menciptakan sistem yang tidak memungkinkan terjadinya penjiplakan. Salah satunya melalui pembentukan kelompok keahlian antarperguruan tinggi.
Setiap karya ilmiah, terutama untuk tesis, disertasi, atau persyaratan guru besar, harus dibaca dan dibahas kelompok ahli sehingga kemungkinan terjadinya penjiplakan semakin kecil.
Wakil Mendiknas Fasli Jalal mengatakan, sanksi bagi pelaku penjiplakan selama ini diserahkan kepada perguruan tinggi masing-masing. (IRE/THY)
Sumber: Kompas, Rabu, 24 Februari 2010
No comments:
Post a Comment