Sunday, February 07, 2010

[Buku] Mewaspadai Penjajahan Ruang Publik

-- Yohanes Krisnawan*

KEBIJAKAN Presiden KH Abdurrahman Wahid membubarkan Departemen Penerangan saat ia berkuasa semakin mewujudkan kebebasan pers di negeri ini. Perjalanan selanjutnya, benarkah kebebasan pers itu terjadi?

Meski banyak penentangan terhadap kebijakannya, Abdurrahman Wahid (Gus Dur) bergeming pada sikapnya. Dia berterus terang, kebijakannya bertujuan agar pemerintah tak banyak campur tangan dalam urusan masyarakat. Penerangan, menurut Gus Dur, urusan masyarakat, bukan pemerintah. Pemerintah itu supporting system.

Sebagai tokoh reformis, Gus Dur ingin menegakkan prinsip-prinsip demokrasi yang berlandaskan pada Hak-hak Asasi Manusia di Indonesia. Yang salah satunya adalah memenuhi kebutuhan masyarakat terhadap peran media yang bebas serta hak memperoleh informasi publik. Negara (res) adalah urusan atau milik seluruh masyarakat (publica) dan bukan milik golongan tertentu yang ingin menguasai pihak-pihak lainnya.

Hakikat bentuk masyarakat republikan, menurut Franz Magnis-Suseno dalam bukunya, ”Kuasa dan Moral” (1988), adalah kenyataan bahwa segala keputusan yang menyangkut masyarakat adalah urusan publik. Semua anggota masyarakat, melalui berbagai sarana demokratis, berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan. Pers berperan memasok informasi dan membantu memberikan penilaian.

Untuk itu, pers wajib menyajikan kebenaran. Pun jika kenyataan yang disampaikan tidak mengenakkan masyarakat.

Apakah gerak perjuangan reformasi sepuluh tahun terakhir telah sampai pada tujuan ideal tersebut? Lewat buku yang ditulisnya, Agus Sudibyo memberikan jawaban.

Benar bahwa SIUPP yang menjadi ”nyawa” bagi hidup-matinya penerbitan pers semasa Orde Baru sudah tak berlaku. Pasal 28 UUD 1945, UU Pers, UU Penyiaran, UU HAM secara substansial memuat pasal yang menjamin kebebasan pers dan kebebasan berpendapat. Namun, buku ini secara kritis mengungkapkan bahwa kebebasan pers yang sesungguhnya masih jauh panggang dari api.

Intinya, gerakan reformasi belum sepenuhnya mampu membebaskan media dari dominasi kekuatan-kekuatan politik negara dan kekuatan ekonomi pasar. Bahkan kekuatan-kekuatan tersebut bekerja sama mengendalikan media massa demi optimalisasi pengakumulasian kekuasaan masing-masing.

Rekolonisasi

Sekurangnya, ada tiga hal penting yang menjadi catatan Agus Sudibyo, yang mengancam kebebasan pers di Tanah Air. Pertama, terjadinya rekolonisasi ruang publik terutama pada ranah penyiaran. Spirit dasar UU Penyiaran sebenarnya mengeliminasi kolonisasi ruang publik media penyiaran.

UU Penyiaran adalah upaya transisi dari kekuasaan negara menuju kekuasaan publik. Intervensi pemerintah diminimalkan, kepemilikan media monopolitik dibatasi, dan prinsip keberagaman isi dilembagakan. Kontrol terhadap media dipercayakan kepada masyarakat melalui Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), sebagai regulator penyiaran nonpemerintah (hal 13).

Namun dalam perjalanannya, yang terjadi adalah pembalikan sejarah menuju reorganisasi kekuatan modal (rekomersialisasi) dan birokrasi (rebirokratisasi) dalam mengontrol media penyiaran. Pada Juli 2004, Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan permohonan uji materi terhadap UU Penyiaran. Dari 22 pasal yang diujimaterikan, hanya dua pasal yang dikabulkan MK. Hanya saja, salah satu pasal menyangkut persoalan mendasar bagi reformasi penyiaran.

MK memutuskan, peranan KPI sebagaimana diatur dalam Pasal 62 UU Penyiaran bertentangan dengan UUD 1945. Keputusan MK menjadikan KPI tak ”bergigi”. Pemerintah kemudian juga menggunakan PP Penyiaran untuk mengambil alih wewenang utama KPI di bidang perizinan dan kebijakan penyiaran. Kontrol atas ruang publik penyiaran kembali ke tangan birokrasi. Departemen Komunikasi dan Informasi (Depkominfo) menjadi regulator penyiaran, mendelegitimasi KPI. Yang menarik, asosiasi pemilik televisi dan radio mendukung paket PP Penyiaran (hal 16-19).

Politik legislasi

Kedua, terjadinya upaya melakukan kontrol kebebasan pers oleh pemerintah melalui amandemen UU Pers. Dalam Pasal 4 Ayat 5 RUU Pers versi Pemerintah yang beredar Juni 2007, pemerintah tetap menghendaki pemberlakuan bredel, sensor, dan larangan siaran. Hal itu berlaku untuk pers yang memuat berita atau gambar atau iklan yang merendahkan martabat suatu agama atau mengganggu kerukunan hidup antarumat beragama. Juga jika bertentangan dengan rasa kesusilaan masyarakat atau membahayakan sistem penyelenggaraan pertahanan dan keamanan nasional (hal 92).

Buku ini juga mengajak pembaca untuk mewaspadai beberapa UU yang secara tidak langsung bisa mengancam kebebasan pers. Misalnya, pada beberapa pasal dalam RUU KUHP, RUU Rahasia Negara, RUU Intelijen, RUU Antipornografi, dan RUU Kebahasaan. Menurut Agus Sudibyo, kondisi semacam itu menunjukkan pemerintah masih melihat pers dari sisi partikular sebagai pihak yang merasa menjadi sasaran kritik pers. Maka respons pemerintah juga partikular, bagaimana mengontrol dan mereduksi kebebasan pers (hal xxxi).

Ketiga, pada saat terjadinya fenomena rebirokratisasi dan rekomersialisasi terhadap kebebasan pers, sejumlah intelektual secara langsung maupun tidak langsung membela posisi pengusaha atau pejabat ”bermasalah” yang bersengketa dengan institusi media. Agus Sudibyo memandang fenomena ini sebagai beralihnya perlawanan terhadap media memasuki wilayah pertarungan simbolik.

Para pengusaha dan pejabat yang bersengketa dengan media menyadari bahwa kekerasan dan tuntutan hukum tidak memadai untuk membungkam kritisisme media. Sebab kekuatan utama media terletak pada legitimasi politiknya. Maka legitimasi ini yang perlu dilemahkan. Misalnya dengan melibatkan kalangan akademisi dalam konflik Tempo dan Asian Agri (hal 142-150).

Membaca sembilan tulisan yang tersaji dalam buku ini, terasa kuatnya kegelisahan penulis terhadap masa depan kebebasan pers. Melalui pendekatan kritis (ekonomi politik media) Agus Sudibyo berupaya membongkar kesadaran palsu publik yang terlanjur percaya bahwa pers telah bebas.

Buku ini mengungkap kondisi nyata bahwa ruang publik media belum bebas dari intervensi penguasa.

(Yohanes Krisnawan/Litbang Kompas)

Sumber: Kompas, Minggu, 7 Februari 2010

No comments: