Sunday, February 21, 2010

Mengenang 10 Tahun Popo Iskandar: Totalitas pada Proses Kreatif

POPO Iskandar bukanlah sekadar aset Bandung atau Jawa Barat. Ia adalah aset Indonesia. Popo Iskandar bukan hanya pelukis besar, tetapi juga figur penting yang pergumulannya dalam perubahan budaya negeri ini mengandung kedalaman dan bersifat paradigmatik. Tidak banyak pelukis yang selain produktif melahirkan adikarya, mampu pula mengartikulasikan renungan-renungan intelektualnya secara verbal dan tajam. Mestinya, menghormati Popo Iskandar memang tidak cukup hanya dengan mengoleksi lukisan-lukisannya. Diperlukan pula kajian yang lebih mendalam atas khazanah pemikiran dan pergumulan kulturalnya.

Demikian Prof. Dr. I. Bambang Sugiharto mengemukakan pandangannya dalam acara mengenang 10 tahun wafatnya pelukis Popo Iskandar serta berdirinya lembaga Popo Iskandar Reading Club (PIRC) di Griya Seni Popo Iskandar (GSPI), Jln. Setiabudhi, Bandung, baru-baru ini.

Apa yang diungkapkan Bambang dalam sambutannya itu memang tidak salah. Selama ini orang mengenal Popo Iskandar bukan hanya melulu sebagai pelukis yang asyik dengan apa yang dikreasinya, tetapi juga dikenal sebagai pemikir yang tangguh yang tidak hanya memikirkan seni rupa, tetapi juga mengkaji karya sastra dan karya seni lainnya dengan buah pikiran yang bernas. Perhatiannya terhadap pendidikan seni rupa khususnya, cukup tinggi. Tak aneh kalau di mata murid-muridnya Popo dikenal sebagai dosen yang arif bijaksana serta luas ilmu pengetahuannya. Dalam bidang sastra, misalnya, Popo dengan cerdas berhasil membahas puisi Sutardji Calzoum Bachri ketika orang-orang belum ramai membicarakannya. Tulisannya itu diberi judul ”Sutardji Calzoum Bachri: Potret Penyair Muda dan Karyanya”, serta dimuat di majalah Budaya Jaya yang dikelola antara lain oleh penyair Ajip Rosidi.

Bambang Sugiarto mengatakan, bagi Popo, menggeluti seni modern berarti memasuki pola berpikir modern. Konsekuensinya, seorang seniman mesti masuk dalam pemahaman teoritis yang pelik. Dalam istilah pribadinya yang khas, seorang seniman harus ”masuk dalam dialog spiritual serta mobilisasi pikiran.” Akan tetapi, yang lebih menarik lagi, baginya menjadi modern adalah menjadi individu yang bebas, mandiri, objektif, dan toleran. Menjadi modern berarti juga mampu mencari jati diri dengan bersikap terbuka secara kritis terhadap segala pengaruh luar, sambil senantiasa "inventif" serta "heraldik" (memberi isyarat atas gelagat yang bakal datang) dalam mengolah tradisi budaya sendiri.

Sebagai perupa, Popo memang tidak lupa dengan budaya sendiri sebagai titik pijaknya dalam berkesenian. Diakui atau tidak, tembang Sunda Cianjuran yang digandrunginya selama ini memberikan pengaruh estetik yang demikian besar pada karya-karya yang dikreasinya. Pengaruh itu adalah kelembutan. Lihat saja, segarang apa pun objek ayam jago, kucing, atau macan yang dilukisnya, selalu tampak lembut, romantis, dan bahkan melankolis. Popo pernah berkata kepada penulis jika malam tiba ketika dirinya melukis, ia senantiasa ditemani oleh lagu-lagu tembang Sunda Cianjuran, mulai dari papatet, dedegungan, hingga papantunan dan jejemplangan. Untuk itu, tak aneh bila sering pula kita temukan sejumlah dangding yang ditulis oleh Popo Iskandar di majalah Sunda, Mangle.

Buah pikirannya yang bisa kita petik antara lain dari apa yang pernah ditulisnya pada 9 Oktober 1995. Dalam catatan hariannya yang disusun dan diketik ulang oleh almarhum Mamannoor, Popo mengatakan, sebuah lukisan adalah sebuah bagian dari serangkaian lukisan-lukisan yang merupakan manifestasi dari pengejawantahan gagasan-gagasan dan citra pelukis. Jadi, ia tidak berdiri sendiri. Ia merupakan bagian integral dari setiap upaya pelukis dari masa lalu, masa kini, dan yang akan dilakukannya di masa mendatang. Betapa pun ia bukanlah rekaman dari apa yang ia lihat, melainkan suatu interprestasi dari apa yang ia hayati melalui subject-matter-nya. Oleh karena itu, sebuah lukisan adalah suatu pernyataan dari citra pelukis yang selalu mengambang (continuous flux). Artinya, ketika seseorang berkarya seni, ia menciptakan sebuah dunia baru yang bahan-bahannya ia cerap dari dunia sehari-hari atau pengalaman sehari-hari. Dengan demikian, apa yang disebut karya seni adalah sebuah dunia rekaan, sebagaimana dikatakan Prof. Dr. A. Teeuw, tepat adanya. Sekalipun apa yang dibicarakan A. Teeuw dalam konteks tersebut adalah untuk karya sastra.

Ada pun sejumlah buah pikiran Popo Iskandar lainnya bisa kita baca dalam dalam buku Alam Pikiran Seniman (Aksara Indonesia, November 2000). Sejumlah serpihan pikirannya terdapat dalam buku Popo Iskandar yang ditulis oleh Mamannoor (Yayasan Matra Media, 1998) dan Perspektif Karya-karya Popo Iskandar yang ditulis oleh Jim Supangkat dan Dr. I Bambang Sugiharto (Studio Titian Seni, 2000).

**

PELUKIS kelahiran Garut 17 Desember 1927 ini, sejak 1958 - 1994 banyak menulis kritik sastra dan seni rupa. Selama kurun waktu tersebut, Popo telah menulis 500 tulisan yang tersebar di berbagai media massa cetak. Tulisan tersebut antara lain berupa 229 artikel berbahasa Indonesia, 25 makalah ceramah seni dan pendidikan, serta 6 makalah berbahasa Inggris. Pada 1977, Popo ditugaskan Akademi Jakarta untuk menulis buku tentang pelukis Affandi yang diberi judul Affandi, Suatu Jalan Baru Terhadap Expresionisme.

Pelukis yang meninggal dunia pada 29 Januari 2000 di Bandung dan dikebumikan di Wanaraja Garut, Jawa Barat, pada 30 Januari 2000 ini, pada masa masa-masa awal kariernya pernah belajar melukis pada Angkama Setjadipradja, Hendra Gunawan, dan Barli Sasmita. Kemudian, ia bergabung dengan Keimin Bunka Shidoso Bandung untuk selanjutnya belajar di Jurusan seni Rupa ITB sejak 1954 - 1958 sebelumnya sempat studi di MIPA dan Arsitektur ITB.

Sebagai seniman yang luas ilmu pengetahuannya, pada 1970 ia diangkat menjadi anggota seumur hidup oleh Akademi Jakarta. Selanjutnya pada 1980, ia memperoleh Anugerah Seni RI. Selain itu, atas jasa dan dedikasinya pada perkembangan dunia seni rupa di tanah air, pada 2002, Presiden Megawati memberi penghargaan Satya Lencana Kebudayaan kepada almarhum.

Budayawan Umar Kayam dalam buku Seni, Tradisi, Masyarakat (Sinar Harapan, 1981) menyebut Popo sebagai pelukis terkemuka pada zamannya. ”Prestasi ini dicapainya lewat aktivitas berkarya yang sangat tekun, gigih, dalam mengembangkan pribadinya sendiri dan agaknya juga rajin membaca berbagai karya. Tema-tema lukisannya berbagai macam, mulai dari kucing, pohon bambu, laut, perahu, dan sebagainya. Agaknya pelukis ini tidak tertarik dengan tema-tema besar,” ujarnya.

Kehadiran Popo dalam dunia seni rupa di Indonesia yang lahir dari tatar Sunda adalah satu contoh yang patut ditiru jejaknya oleh siapa pun. Ketika berkarya, sebagaimana dikatakan Harry Nugraha anak pelukis Popo Iskandar, dirinya tidak pernah berpikir apakah yang dikreasinya itu akan menghasilkan uang atau tidak. ”Yang penting bagi seorang seniman dalam berkarya seni adalah mengabdikan dirinya secara total pada proses kreatif yang tengah dihadapinya. Intensitas dan kualitas karya seni akan bisa dirasakan oleh para apresiatornya bila si seniman berkarya dengan sungguh-sungguh,” ujar Harry, mengenang kembali apa yang dikatakan Popo terhadap dirinya.

Mengenang 10 tahun kepergian Popo Iskandar menghadap Allah SWT, pada satu sisi adalah mengenang tonggak-tonggak keberhasilan seniman Bandung yang telah memberikan warna baru bagi perkembangan dan pertumbuhan kesenian itu sendiri. Selain Popo, tentu saja ada seniman lainnya yang juga pantas dikenang dan dibicarakan karya-karyanya. Misalnya, almarhum Harry Roesli untuk bidang musik, dan almarhum Wing Kardjo untuk bidang penulisan puisi dengan kekuatan simbolismenya yang dicerapnya di Prancis. Tiga seniman tersebut cukup fenomenal. Karya-karya yang dikreasinya hingga kini tiada henti dikaji orang untuk kepentingan pendidikan seni itu sendiri di masing-masing bidang yang ditekuninya. (Soni Farid Maulana/”PR”)

Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 21 Februari 2010

No comments: