-- Alois A. Nugroho*
SEPOTONG berita kecil cukup mengentak, judulnya ”Guru Besar Diduga Menjiplak” (Kompas, 10 Februari 2010). Berita kali ini agak berbeda dari plagiarisme di kalangan akademisi yang biasanya mendapat perhatian publik. Berita itu ”hanya” menyangkut artikel opini yang ditulis seorang guru besar dan dimuat di surat kabar.
”Kebenaran” boleh dikatakan merupakan core business dari dunia akademis. Oleh karena itu, semua gambaran ideal tentang diskursus sepatutnya diupayakan terjadi di dunia akademis, termasuk di antaranya ”kejujuran”.
Yang biasanya mendapat perhatian publik ialah plagiarisme oleh para akademisi dalam rangka kegiatan penelitian. Seseorang yang ingin menjadi profesor mengumpulkan makalah para mahasiswanya serta diaku sebagai karyanya. Disertasi seorang doktor ternyata menjiplak karya orang lain tanpa menyebutkan sumbernya. Kasus semacam itu pernah jadi berita, apalagi bila terjadi ”di balik tembok” perguruan tinggi negeri ternama.
Itu tidak berarti kasus-kasus serupa tidak terjadi di perguruan-perguruan tinggi yang tak jadi bahan sorotan. Para akademisi senior yang pernah menjadi anggota komisi jabatan akademik di perguruan tinggi masing-masing tentu dapat mengenali usaha ”coba-coba” plagiarisme sebagai manifestasi dari apa yang oleh almarhum Koentjaraningrat disebut sebagai ”mentalitas menerabas”. Tentu saja dengan catatan, kalau dapat diasumsikan bahwa akademisi senior bersangkutan tetap mengusahakan integritas moral akademik dan tidak mengompromikannya dengan tuntutan ”produktivitas” semata-mata.
Lebih-lebih lagi, para pembimbing dan penguji skripsi atau tesis dituntut lebih teliti dalam memastikan bahwa karya para mahasiswa yang diuji bukan hasil plagiat. Kabar angin tentang adanya jual beli skripsi yang sudah separuh jadi dan luasnya akses internet ke situs-situs yang menyajikan karya-karya ilmiah menuntut peningkatan ketelitian. Karena itu, ujian tesis atau skripsi pertama-tama harus ditujukan untuk memastikan karya yang diuji benar-benar ditulis sendiri. Baru kemudian ujian ditujukan untuk menakar kadar kebenaran skripsi atau tesis bersangkutan serta derajat pengetahuan dari mahasiswa yang menulisnya.
Thomas Brandt, peneliti bisnis dari Jerman, pernah menyatakan di Indonesia telah terjadi ”inflasi ijazah” (1997:211). Apa yang tertulis di sertifikat, diploma, atau ijazah tidak selalu mencerminkan kemampuan pribadi pemegangnya. Dalam konteks ini, upaya untuk memerangi plagiarisme akademis merupakan upaya urgen. Niat untuk meningkatkan kuantitas sarjana, atau bahkan kuantitas guru besar tak perlu ditinggalkan, hanya perlu dilengkapi dengan upaya konkret untuk meningkatkan ”kualitas”.
Intelektual publik
Namun, yang jadi pembicaraan hangat akhir-akhir ini ialah plagiarisme oleh seorang akademisi dalam perannya sebagai ”intelektual publik”. Dunia pendidikan kita mengistilahkannya dengan ”pengabdian masyarakat”, lengkap dengan konotasi yang kadang dianggap membelenggu. Bagi Edward Shils (1993), darma akademisi terhadap masyarakat melibatkan pula publikasi populer dan aktivitas politik.
Yang dimaksud dengan aktivitas politik bukan hanya menjadi anggota partai, tetapi juga keterlibatan dalam talkshow di media elektronik, menulis opini berbau politik di media cetak, berpartisipasi dalam seminar-seminar publik tentang politik dan—tak kurang penting—ambil bagian dalam aksi demonstrasi.
Dengan mengikuti pembedaan klasik antara ”gown” (jubah atau toga) dan ”town” (kota, dalam arti masyarakat di luar kampus), Shils mengelompokkan kewajiban akademisi menjadi ”kewajiban sebagai pengajar di perguruan tinggi” dan ”kewajiban terhadap masyarakat sekitar”. Komitmen terhadap kebenaran tidak hanya relevan dalam kegiatannya sebagai dosen, tetapi juga relevan bagi aktivitas sebagai ”intelektual publik”.
Alasan untuk itu, antara lain, karena dengan semua gelar yang disandang dan nama besar perguruan tinggi yang dipikul, harapan publik kepada seorang akademisi amat besar. Harapan itu menyangkut penilaian yang bertanggung jawab dan informasi yang obyektif, imparsial, tak partisan. Kalau seorang guru besar secara publik mendukung kebijaksanaan tertentu, publik mengandaikan dukungan itu merupakan kesimpulan dari sebuah deliberasi ilmiah yang jujur.
Kalau seorang dosen memimpin demonstrasi untuk menolak kebijakan tertentu, publik mengandaikan penolakan itu didasarkan pada komitmen terhadap kebenaran. Harapan itu akan tetap ada seandainya sang akademisi tak memasang gelar dan nama besar perguruan tingginya. Karena itu, bagi para akademisi, kewajiban etis untuk tak melakukan plagiarisme berlaku pula pada ranah non-akademis. Publish or perish. Wie schrijft die blijft. Yang tak menulis, takkan dikenal. Rupanya tuntutan ini, ditambah tuntutan berpromosi dalam era industrialisasi jasa pendidikan ini, memperkuat godaan untuk merealisasikan ”mentalitas menerabas” dalam aktivitas intelektual publik.
* Alois A Nugroho, Guru Besar Program Studi Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Administrasi, Unika Atma Jaya, Jakarta
Sumber: Kompas, Selasa, 16 Februari 2010
No comments:
Post a Comment