Sunday, February 21, 2010

Cita-cita "Sastra" dalam Komik

-- Seno Gumira Ajidarma*

APABILA terjemahan ke bahasa Indonesia dari A Contract with God, Life Force, dan Dropsie Avenue ini sekarang beredar dan menyeruak di antara timbunan manga sebagai Trilogi Kontrak dengan Tuhan, konteks sosial historisnya selayaknyalah diketahui.

Ketika terbit pertama kali pada 1978 di Amerika Serikat, Will Eisner (1917-2005) sengaja membedakan diri dari sembarang komik, yakni menerakan istilah novel grafis di sampulnya.

Memang benar istilah itu telah ditancap Richard Kyle di newsletter bernama Capa-Alpha yang diterbitkan Comic Amateur Press Alliance pada 1964, juga oleh komikus underground, George Metzger dan Richard Cohen untuk bundel komik serial mereka, keduanya pada 1976, tetapi baru melalui Will Eisner pengertian novel grafis itu terwujudkan secara konsekuen. Apa itu?

Komik serius

Dalam hubungannya dengan trilogi tersebut, dapat segera disebutkan bahwa logi pertama, Kontrak dengan Tuhan, sebetulnya terdiri dari empat cerita pendek—jadi memang bukan novel. Namun, totalitasnya memang menegaskan ke-”sastra”-annya: warna tinta cetak yang sepia alias kecoklat-coklatan, jelas berseberangan dengan tinta cetak empat warna yang selalu dimanfaatkan sepenuhnya secara ”riang gembira” dalam arus utama komik komersial (Amerika Serikat), seperti komik-komik superhero, yang menguasai pasar; dan tokoh-tokohnya justru manusia dari kehidupan sehari-hari yang kalah dan menangnya tak pernah luput dari ironi.

Cerita Kontrak dengan Tuhan, seperti bisa dilacak dari biografi Eisner, lahir dari tanda tanya atas keberadaan Tuhan ketika—dalam pengalamannya sebagai bagian dari komunitas Yahudi-Amerika—ulah manusia yang mengatasnamakan Tuhan, ternyata berhasil mengaburkan keyakinan atas peranan Tuhan di muka bumi ini. Dalam cerita ini, Frimme Hersh yang beriman kepada Tuhan secara naif mengalami dampak dari caranya beriman itu ketika menimpakan penderitaan atas kehilangan anak perempuannya sebagai ketidakadilan yang berasal dari Tuhan. Tema yang serius bukan?

Cerita kedua, tentang penyanyi jalanan yang mengembara dari gang ke gang di antara berbagai tenement atau rumah susun di bilangan Bronx, New York; ataupun cerita ketiga, tentang pengurus tenement yang tampangnya sangar, tetapi sangat rapuh dan mampu dikecoh seorang gadis cilik yang licik; dan cerita keempat, tentang pendewasaan seorang remaja di tengah kehidupan tenement, yang lingkungan sumpeknya membuat setiap orang seperti ingin mencari pembebasan, melalui perjodohan maupun petualangan liar, dan berhasil atau tidak berhasil, wacana tenement asalnya masih terus membayangi.

Alur penceritaan Eisner mengingatkan kembali kepada suatu genre cerita pendek dalam sastra, terutama seperti ditulis O’Henry, Ambrose Bierce, atau juga Anton Chekov, yang berakhir dengan cara tak terduga. Dalam logi kedua, Daya Hidup, berbagai cerita pendek dijalin berselang-seling dalam latar belakang para penghuni tenement juga pada masa Depresi 1934, membentuk keutuhan yang membuatnya sahih disebut novel. Dalam Daya Hidup ini Eisner membandingkan para penghuni dengan kecoak, yang setelah jutaan tahun masih tetap eksis, sebagai metafor makhluk tahan banting—tetapi yang dalam hal manusia, tak pernah ketinggalan betapa drama selalu menyertainya.

Melawan sikap merendahkan

Pengetahuan Eisner tentang kehidupan kaum peranakan imigran di Amerika Serikat, lengkap dengan dunia hitamnya, dalam representasi visual yang meskipun lebih karikatural daripada realistis bersifat autobiografis, membuat novel grafisnya layak pula disebut komik semidokumenter. Pendekatan ini tampaknya, bahkan, dilakukan dengan sadar pada logi ketiga, Jalan Raya Dropsie: Pemukiman, yang mengambil ancang-ancang tahun 1870 ketika Bronx masih berwujud lahan pertanian imigran peranakan Belanda.

Dari nama keluarga Van Dropsie, tersisa Dropsie Avenue, yang dari tahun ke tahun menghadirkan kisah berbagai keluarga dari generasi ke generasi, dari berbagai etnik dan ras, dengan segala perjuangan politik identitasnya dalam konsensus sosial sebagai bangsa, yang disebut Amerika itu.

Dalam terjemahan, banyak slang dunia hitam maupun dunia ”gaul” di bilangan Bronx itu diberi penjelasan oleh penerbitnya sehingga terjemahannya tidak menjadi sekadar bahasa, melainkan wacana. Dengan ini ditekankan, ”sastra” dalam apa yang dimaksud novel grafis bukanlah ”keindahan kata-kata”, tetapi dalam cita-cita menghadirkan komik yang serius dan bagi orang dewasa dalam pendekatan, sebagai perlawanan terhadap sikap melecehkan bahwa komik itu hanya untuk anak kecil, berselera rendah, dan menjadi penyebab kemalasan membaca.

Jadi, ”sastra” sebagai metafor ”bobot” karena justru dalam komik, kata-kata (baca: huruf) bagian dari gambar, bukan sebaliknya. Bagi Eisner, trilogi Kontrak dengan Tuhan ini adalah representasi cita-cita tersebut.

* Seno Gumira Ajidarma, Wartawan

Sumber: Kompas, Minggu, 21 Februari 2010

No comments: