Friday, February 12, 2010

[Fokus] Gerakan Mahasiswa: Mengada dan Mengalir

UNGKAPAN penyair-dramawan WS Rendra (alm) tentang pergerakan mahasiswa, 32 tahun lalu, masih membekas kuat di benak Heri Akhmadi. Saat itu, Rendra hadir pada sidang di Pengadilan Negeri Bandung yang mengadili Heri sebagai salah satu motor penggerak aksi mahasiswa Indonesia tahun 1978. Akibat aksi yang menuntut pemakzulan rezim Soeharto itu, Ketua Umum Dewan Mahasiswa Institut Teknologi Bandung periode 1977-1978 ini akhirnya divonis tiga tahun penjara.

Waktu itu, kata Heri, Mas Willy (panggilan akrab WS Rendra) bilang, generasi muda —dalam hal ini mahasiswa—itu hadir dan mengalir. Setelah itu selesai, dilanjutkan generasi baru lagi. Adapun yang tetap adalah ia selalu hadir untuk menjawab tantangan zaman.

”Saya suka sekali pernyataan Mas Willy tersebut,” kata Heri Akhmadi, yang sejak era reformasi sudah tiga periode duduk sebagai wakil rakyat di DPR dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P).

Dalam bingkai itu pula, ia melihat tantangan dalam setiap gerakan mahasiswa adalah bagaimana mereka menyikapi perilaku elite kekuasaan pada zamannya. Oleh karena itu, bentuk, organisasi, dan pola pergerakan mahasiswa tidak mesti sama dengan gerakan-gerakan pendahulunya. Kesamaan hanya bisa dilihat, meskipun mungkin secara samar-samar, dari sisi esensi dan substansi gerakan mereka sesuai tantangan yang mereka hadapi hari ini.

Dibandingkan dengan gerakan mahasiswa era 1970-an dan 1980-an, misalnya, saat ini untuk menggelar aksi memang tidak sesusah dulu. Namun, tantangan yang dihadapi aktivis sekarang tidak lebih mudah dibandingkan dengan pergerakan mahasiswa semasa Orde Baru dengan perilaku represif otoritariannya. Dalam perspektif kekinian, Heri melihat, tantangan besar yang dihadapi pergerakan mahasiswa saat ini adalah meluruskan arah reformasi yang sudah diperjuangkan pendahulu mereka.

Reformasi kini kehilangan makna sejatinya. Jika dulu mahasiswa berhadapan dengan rezim otoriter, sekarang adalah apa yang disebut berbagai kalangan sebagai rezim kartel politik dan penguasa yang teralienasi dari kondisi riil kehidupan masyarakatnya.

Aksi-aksi demo serta komentar para tokoh dan pakar di media yang merespons kondisi di masyarakat ternyata dipahami pemerintah berbeda.

”Saat ini, apa yang dimaui masyarakat—sebagaimana ditangkap mahasiswa serta para tokoh dan pakar—tidak masuk dalam tataran elite kekuasaan. Klaim keberhasilan program 100 hari pemerintahan adalah salah satu contoh. Mereka seperti hidup dalam dunia mereka sendiri. Inilah wujud nyata dari penguasa yang teralienasi,” tutur Heri.

Lukman Hakim, Ketua Umum Dewan Mahasiswa Universitas Indonesia periode 1977-1978. Lukman, yang sekarang adalah Wakil Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), menilai, sekarang gerakan mahasiswa lebih cenderung pada kekerasan fisik.

Ketika semua saluran demokrasi sudah terbuka, kata Lukman, mahasiswa justru ditantang mencari peran kualitatif baru untuk menyikapi keadaan tanpa harus menjadi kekuatan jalanan. Perguruan tinggi juga harus membangun suasana kampus yang membuat mahasiswa betah berada di kampus. Di sana mereka bisa menggelar diskusi-diskusi yang dapat merumuskan persoalan substantif yang dihadapi bangsa. Di sana pulalah mereka dapat menyumbangkan pikirannya.

”Mahasiswa itu sosok intelektual, bukan men on the street,” kata dia.

Masalahnya, meminjam pandangan sejumlah pakar dan tokoh yang dikutip Heri Akhmadi, perangkat demokrasi yang sudah kita miliki itu dalam pelaksanaannya kerap justru menjadi alat menerapkan otoritarian gaya baru. Sosiolog Ariel Heryanto menyebut situasi semacam ini sebagai demokrasi seolah-olah. Penyebabnya?

”Kekuasaan diisi elite politik yang melakukan semacam kartel, persekongkolan, kemudian teralienasi,” ujar Heri.

(NMP/KEN)

Sumber: Kompas, Jumat, 12 Februari 2010

No comments: