-- Armada Riyanto
TENTANG plagiarisme, kiranya tidak berguna lagi aneka kutukan. Yang lebih penting adalah apa kelanjutan sesudah tragedi plagiarisme.
Bandung, Jakarta, Aceh, Malang, Yogyakarta, Surabaya, Solo, Bogor, Semarang, dan Medan, apakah mereka emblem kota-kota intelektual? Dengan menjamurnya pabrikan skripsi, tesis, disertasi, juga paper di kota-kota itu dan lainnya yang belum disebut, mendung kelabu menyelimuti dunia intelektualitas kita. Masih adakah kota intelektual di tanah kita? Sebuah pertanyaan hati nurani.
Tak usah mengutuk Bandung sebab Yogyakarta atau kota Anda mungkin lebih parah. Tak perlu mengkritik institusi yang kecolongan sebab institusi sekaliber UGM, UI, atau MIT di AS, Cambridge di Inggris, atau Alberta di Kanada pun tidak imun terhadap kasus plagiarisme dalam sejarah akademisnya. Di Yogyakarta, dugaan perkara plagiarisme disertasi oleh seorang doktor dari MIT tidak diapa-apakan, malah pernah memegang jabatan penting di dunia pendidikan kita. Institusi paling bersih dipersilakan untuk ”melempar batu pertama” pemberantasan plagiarisme, dan adakah yang berani?
Sepuluh tahun lalu, dalam sebuah penelitian oleh pusat integritas akademik Duke University atas mahasiswa-mahasiswi Amerika diperoleh data 68 hingga 70 persen mengaku pernah melakukan penjiplakan (Cf. http://guides.library.ualberta.ca18 Feb. 2010). Andai hal yang sama dikerjakan terhadap mahasiswa-mahasiswi Indonesia, kita mungkin akan memperoleh angka yang lebih mengejutkan.
Setelah ini apa?
Perketat sistem pengurusan jenjang profesorat? Menggiatkan pendidikan karakter? Penciptaan plagiarism detection software? Mempromosikan pendidikan kebenaran, budi pekerti, dan integritas?
Menteri Pendidikan Nasional pernah berkata, pada 2009 jumlah pemohon guru besar dari perguruan tinggi negeri dan perguruan tinggi swasta sebanyak 986 orang, yang lolos 286 orang. Sudah ketatkah sistemnya? Barangkali soal paling mendasar adalah rumusan-rumusan ilmiah apa saja yang telah diproduksi oleh para ilmuwan kita. Mengapa sepintas masih tampak sepi dan tiada yang baru.
Di samping sebagai emblem merosotnya kejujuran, plagiarisme dapat berasal dari lemahnya pemahaman tentang esensi sebuah ilmu. Ketika putra-putri kita masuk sekolah, orangtua dan pendidik sangat bangga dengan anak didiknya memiliki nilai tinggi. Namun, siapa peduli memerhatikan integritas dan proses pendewasaan serta perkembangan tanggung jawabnya?
Plagiarisme akan tetap menjadi sebuah serial aktivitas sehari- hari bila skema perspektif pendidikan kita tidak berubah. Ketika sebuah kemajuan disempitkan dalam ranah formal berupa angka, dengan sedikit perhatian pada proses pencapaiannya, pendidikan mengalami sebuah kemandekan. Pendidikan integritas tersisihkan.
Plagiarisme adalah tindakan pencurian kreativitas intelektual. Sebagai sebuah tindakan mencuri, plagiarisme memiliki konsekuensi etis-deontologis sebagai perbuatan cela. Namun, mencela pun juga tidak cukup. Apalagi hidup sehari-hari bangsa kita dekat dan lekat dengan aneka kemerosotan tercela berupa ”mencuri” hak-hak kebebasan orang lain atau uang rakyat dalam wujud korupsi.
Di sini, memberantas plagiarisme di tengah suasana keseharian yang berlepotan koruptif semacam ini hampir merupakan mission impossible. Pemberantasan plagiarisme jadi sebuah tautologi belaka, sebuah aktivitas repetitif formalistis yang kehilangan makna.
Menghargai ilmu
Plagiarisme juga terjadi karena redupnya kesadaran menghargai ilmu. Ketika jabatan, tunjangan, dan segala konsekuensi kemudahan ditawarkan, sudah semestinya dikerjakan sebuah sistem pendidikan yang menghargai ilmu.
Thomas Kuhn, dalam The Scientific Revolutions (1964), berkata, ilmu pertama-tama adalah paradigma. Terminologi ”paradigma” memaksudkan kompleksitas teori bagaimana suatu ilmu mengelola atau menggumuli obyeknya: cara-cara mempersepsi, mengobservasi, menganalisis, melakukan eksperimentasi dan verifikasi, menarik kesimpulan, mengevaluasi, mempresentasikan, dan mengomunikasikannya. Kuhn membuka mata kita. Dengan prinsip Khunian ini, kita diberi tahu, ilmu bukanlah informasi. Ilmu pengetahuan identik dengan proses pengenalan sekaligus pergumulan paradigmatik.
Kebijakan-kebijakan totaliter dari pemerintah yang memberangus buku produk penelitian mengindikasikan sebuah kenyataan bahwa ilmu pun kini harus lolos kriteria kepuasan dari penguasa. Ini bukan hanya merupakan pengerdilan sains dan riset, melainkan juga penyetopan berkembangnya humanisme kehidupan dan tata nilai etis-filosofis-saintifik, sebuah introduksi kebobrokan societas yang memprihatinkan. Kebijakan semacam ini menyetop hormat terhadap ilmu sebagai sebuah pergumulan paradigmatik.
Dunia pendidikan nasional akan memberantas plagiarisme? Selama pemerintah tidak mengevaluasi mentalitas totaliter, plagiarisme tidak akan pernah habis sebab plagiarisme adalah bentuk lain dari usaha untuk mengelabui pemenuhan aneka formalisme sistem yang dikelola oleh dunia pendidikan kita. Maraknya plagiarisme adalah emblem redupnya cita rasa kreatif, ilmiah, dan miskinnya pergumulan paradigmatik, di samping rusaknya bangunan nurani kejujuran dan cinta kebenaran bangsa ini.
* Armada Riyanto, Guru Besar Filsafat Etika Politik STFT Widya Sasana, Malang
Sumber: Kompas, Rabu, 24 Februari 2010
No comments:
Post a Comment