-- St Sularto
MEMBUAT publikasi atau mati! Itulah tekad Prof Dr Sjamsoe’oed Sadjad, pakar ilmu benih generasi pertama Indonesia. Ilmuwan harus dikenal, baik ilmu maupun dirinya. ”Kalau tidak, ia akan mati,” katanya. Moto hidupnya: berjuang, belajar, bersyukur.
Sjamsoe’oed Sadjad
Tekad hidup itu yang membuat Sjamsoe’oed Sadjad atau Pak Sjam senantiasa tabah. Dalam musibah gempa dan tsunami Aceh, 26 Desember 2004, dua cucu dan salah satu anaknya, Roza, termasuk di antara lebih dari 119.000 korban.
”Hari Kamis, Roza dan suaminya, Mahdi, datang ke rumah ini. Roza ada urusan proposal di IPB untuk tahap kedua rencana penelitiannya. Sabtu pagi, mereka saya antar ke stasiun bus di Baranangsiang untuk lanjut ke Cengkareng. Mahdi mampir di Medan, Roza langsung ke Aceh. Pagi hari Roza dan kedua cucu saya terempas dan hilang.”
Terbata-bata Pak Sjam dengan air mata menggenang di pelupuk, mengisahkan musibah itu. ”Senin pagi saya telepon Kompas. Menanyakan informasi tentang Roza dan cucu saya, Maurin (6) dan Tazki (2). Mengapa Kompas? Karena Kompas punya aset sumber informasi. Ternyata Kompas pun kehilangan wartawannya di Banda Aceh (Nadjmuddin Oemar),” kata Pak Sjam di rumah dinasnya, Kampus Darmaga, Bogor, Jumat (12/9).
”Saya terima musibah sebagai cobaan agar tetap tabah. Banyak orang lain lebih menderita. Saya ikhlas.”
Di rumah dinas yang diarsiteki Bung Karno, ukurannya lebih besar dari ukuran standar rumah dinas dosen IPB. Di keheningan dan kesejukan kampus yang luasnya lebih dari 250 hektar, keluarga Pak Sjam menetap sejak 1964. Di rumah itu, ia bersama Retno Winarni, istrinya yang meninggal tahun 2000, membesarkan keempat anaknya.
”Mereka semua sudah tinggal bersama keluarga masing-masing. Saya tinggal bersama salah satu cucu di sini.”
Lagi-lagi air mata kakek 10 cucu ini mau jatuh. Kepergian Roza dan kedua anaknya ia rasakan menyentak. Sementara sang istri ”pergi”, setelah didahului cuci darah selama setahun, dan terbaring sakit tiga tahun.
”Anggap saja itu kisah, dan menjadi bagian dari otobiografi saya. Insya Allah buku segera selesai. Dalam buku itu saya tidak sebut nama satu orang pun agar tak ada yang sakit hati. Saya menulis refleksi pengalaman, judulnya Perjalanan Hidup. Antara Narcisism and Inferiority Complex.
”Judul itu semoga bisa mewakili karakter saya,” tambahnya sambil menyorongkan naskah setebal 100 halaman. ”Sebelum saya berumur 78 tahun, Juni tahun depan, buku ini sudah terbit. Ini merupakan buku ke-19 atau ke-20.”
Publish atau perish membuat Pak Sjam tertantang terus menulis. Di saat menunggu istrinya cuci darah atau dirawat di RS Pusat Angkatan Darat Gatot Subroto, Jakarta, pun ia menulis. Baginya, menulis artikel, makalah atau buku adalah totalitas hidup. Ia merasa berbagi pengetahuan dengan orang lain.
Sejak istrinya meninggal, semua naskah ditulis tangan. ”Jari manis tangan kiri saya tak bisa diperintah otak. Otak meminta ketik huruf s atau d, jari tengah mengetuk huruf f atau g. Tapi itu tak soal, pegawai saya sudah hafal tulisan tangan saya. Hasil ketikannya nyaris tak ada yang meleset. Saya tinggal koreksi kecil saja,” katanya.
Menulis dan melukis
Menulis artikel pertama di majalah Gema Islam sampai 1964, hingga pertengahan September 2008, sudah 289 artikel Pak Sjam dimuat di media massa. Periode paling produktif dirasakannya pada 1981-1982, rata-rata satu artikel dimuat media setiap 1,5 bulan. Hasil karya berbentuk buku sebanyak 17 judul, tak termasuk novel berbahasa Inggris, Mama is an Angel, ode untuk istri tercinta.
Pak Sjam juga melukis. ”Melukis dan menulis itu sama,” ucapnya.
Bedanya, menulis bisa diteruskan selagi belum selesai, sedangkan melukis tak bisa ditunda atau dihentikan untuk diteruskan pada kesempatan lain.
”Melukis harus sekali jadi. Saya melukis sekadar meluapkan gagasan dan keinginan yang menggebu untuk ditorehkan di kanvas,” katanya. Beberapa tahun lalu, di samping garasi rumah, ia membangun sanggar. Ketika tenaga dimakan usia, hobi melukis terhenti.
”Baik dan buruk itu soal selera,” katanya sambil menunjukkan beberapa lukisan dengan media cat minyak di ruang tamu.
”Ketika istri saya di rumah sakit, saya berikan beberapa lukisan ukuran besar untuk dipasang. Mereka setuju. Beberapa bulan lalu saya ke RSPAD, dan lukisan itu masih tergantung,” tambahnya.
Menulis dan melukis bagi Pak Sjam, ahli ilmu benih, adalah bagian dari upaya terus memperkenalkan diri agar tak hilang dari peredaran. Lewat menulis di media massa dan buku, ia memperoleh legitimasi sebagai ilmuwan.
Kegiatan yang nyaris sebagai ”kompensasi cerdas” itu pula kiatnya saat dicopot dari jabatan Dekan Fakultas Pertanian IPB. Saat dipojokkan oleh mereka yang ia sebut pressure group, saat ia merasa mengalami pembunuhan karakter, ketika ia tak bisa menerima adanya ”pelacuran fakta sejarah”.
Hal yang terakhir itu membuatnya marah. ”Saya tahu persis Presiden Soekarno tidak menanam pohon cemara, tetapi meletakkan batu pertama pembangunan Kampus Darmaga tahun 1961. Kok ditulis pohon cemara ini ditanam Presiden RI Ir Soekarno. Saya menjadi MC acara tersebut,” katanya. Pohon cemara dibiarkan hidup, tetapi papan nama berupa prasasti dengan tulisan asal-asalan itu akhirnya dicopot.
Benih di mata Prof Sjamsoe’oed Sadjad berarti sumber kehidupan. Dari benih dilakukan pemuliaan tanaman. Benih dijadikan kampanye politik tak hanya sekarang. Petani dan masyarakat sebenarnya pemulia benih yang utama. Sebesar 60 persen benih dihasilkan petani.
Sebagai ahli sosiologi pertanian, Pak Sjam mengimpikan desa dan industri itu univalen, bukan ekuivalen. Untuk itu, butuh dekonstruksi paradigma kebijakan tentang pembangunan, sebuah paradigma agropolitik. Dalam istilah sesama kolega di IPB, sebagai negara agraria yang tak boleh mengingkari pertanian (Sediono MP Tjondronegoro) atau tercukupinya pangan lewat usaha pertanian (Sayogyo).
Sumber: Kompas, Rabu, 17 September 2008
No comments:
Post a Comment