Monday, September 08, 2008

Aceh: Dilihat dari Dalam, Ditulis dari Luar

-- Otto Syamsuddin Ishak*

PADA tahun 2001, saat memenuhi undangan makan malam James T Siegel di kediamannya di Ithaca, saya mengajukan pertanyaan sederhana: mengapa Profesor berhenti menulis tentang Aceh dan mulai menulis tentang Jawa? Ia menjawab: Aceh kering, sekali ditulis sudah selesai.

Siegel menyumbangkan dua karya besar tentang Aceh; tentang Jawa, selalu menerbitkan ide baru untuk menuliskannya dan tidak perah selesai. Hal yang mirip pernah juga saya bertanya kepada Anthony Reid ketika ia mampir di Aceh sebelum menempati tugas baru di Amerika. Kenapa Profesor berhenti menulis tentang sejarah Aceh kontemporer setelah karya ilmiah yang kaya tentang Revolusi Sosial di Aceh atau Perang Cumbok? Apalagi penulisan sejarah Aceh dibiarkan ”kosong” antara masa pasca-DI/TII (1963) hingga masuk awal abad ke-21.

Untunglah ada tesis Tim Kell, The Roots of Acehnese Rebellion: 1989-1992, yang dipublikasikan oleh Cornell Modern Project (1995). Sebenarnya, inilah buku babon bagi para ahli Aceh untuk memulai menuliskan apa dan bagaimana Aceh sejak periode akhir Orde Soekarno hingga kini, sambil menyentil keheroikan Aceh di masa kolonial hingga awal terbentuknya republik muda, Indonesia yang berlanjut ke periode Indonesianisasi Aceh yang mulai intensif sejak Orde Soeharto.

Namun kini, di pascagempa tsunami (2004) dan MOU Helsinki (2005), Aceh telah berbalik menjadi negeri yang kaya sumber daya bagi para peneliti Nusantara dan asing. Tiada habisnya mereka menulis tentang konflik, kejahatan kemanusiaan, derita dan beban perempuan akibat perang, perdamaian, kedahsyatan bencana alam dan kerumitan rekonstruksi, perdamaian, reintegrasi politik setelah terbitnya demokrasi bagi Indonesia yang dimulai dari Aceh, juga apa itu yang dinamakan keacehan (identitas) dan Aceh Baru (mimpi ke depan).

Melihat Indonesia dari Aceh

Jelang hari MOU Helsinki yang jatuh pada 15 Agustus, sekelompok peneliti LIPI dan rekanannya pun memublikasikan apa dan bagaimana perdamaian Aceh dan Indonesia diproses dan dilanjutkan? Apa saja yang telah tertransformasi dalam institusi-institusi keacehan dan keindonesiaan itu? Buku ini dari segi spektrumnya cukup luas dan penyampaian sangat kronikal serta rinci. Hal ini mencerminkan para penulis telah berikhtiar melihat Aceh dari dalam, bahkan boleh kata mereka melihat Indonesia dari Aceh.

Kita bisa merasakan aspek kronikal sejak halaman pengantar yang ditulis oleh Ikrar Nusa Bakti. Aceh yang beralih dari konflik ke konflik, dari negara yang satu ke negara yang lain, yang disebabkan oleh kekecewaan demi kekecewaan. Aceh kecewa terhadap Inggris, maka beralih ke Amerika; dari Belanda ke Jepang; dari Indonesia ke NII; dari Orde Baru ke GAM; dan entah apalagi di hari esok.

Bagi para penulis, kiranya MOU Helsinki dipicu oleh peristiwa gempa tsunami. Pihak pemerintah beranjak dari keyakinan keacehan—Tak ada hujan yang tak reda, tak ada perang yang tak berakhir—yang mereka populerkan lagi dan dikutip juga oleh Ikrar. Pihak GAM didorong oleh kebutuhan kemanusiaan pascatsunami yang menelan korban sekitar 200.000 jiwa. Sementara tekanan internasional muncul karena asumsi mereka bahwa rehabilitasi dan rekonstruksi tak mungkin dilakukan dalam suasana konflik.

Padahal, upaya damai berkesinambungan tanpa henti sejak masa Habibie hingga SBY-Kalla. Namun, karena fluktuasi kondisi politik di Jakarta, perdamaian itu menjadi terkesan timbul- tenggelam jika dilihat dari luar. Sementara yang terjadi, proses damai itu terus berlanjut, bahkan manakala Presiden Megawati mengulang sejarah buruk pada masa Presiden Soekarno, yakni memberikan Aceh status politik sebagai daerah Darurat Militer (2003), maka SBY-Kalla terus saling bahu-membahu menjalankan skenario bawah tanah untuk meraih perdamaian di Aceh yang dijalankan oleh Farid Husein.

Hal yang penting, proses damai itu tak mengikuti takik-takiknya teori perdamaian, tapi agak mengulang proses yang dilakukan pada zaman Soekarno. Di mana Jenderal Yasin melakukan pendekatan informal langsung kepada Abu Beureueh, sementara politik militer terus membentuk kelompok tandingan. Pada masa SBY-Kalla, operasi militer terus membuat proyek milisi dan separatisme horizontal (gerakan pembentukan provinsi baru), sedangkan Presiden, khususnya Wakil Presiden, membentuk tim rahasia untuk mendekati para tokoh GAM. Polanya untuk meraih pimpinan GAM itu dilakukan melalui anak (untuk Perdana Menteri GAM Malik Mahmud) atau melalui orang tua (untuk Menteri Zaini Abdullah dan Panglima GAM Muzakkir Manaf). Perihal kompensasi terhadap GAM, tak ada bedanya dengan apa yang telah diberikan Soekarno kepada tokoh DI/TII Aceh, Sulawesi, dan lainnya, yang antara lain, jabatan tanpa melalui pemilihan, dana, kebun, fasilitas dagang, dan lainnya. Namun, Nurhasim yang mendeskripsikan ini terkesan semuanya adalah baru.

Setelah MOU Helsinki, untuk pertama kalinya anggota GAM diintegrasikan dengan cara mendapat posisi penting di dalam struktur BRR (Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi), bahkan ada ratusan lainnya yang mendapatkan jabatan dan fasilitas yang minus ”bekerja penuh” untuk badan itu. Orang asing muncul dari berbagai bangsa untuk menjalankan peran yang mulanya dikebiri hanya untuk rekonstruksi—sebagai akibat politik pemerintah yang mencurigai mereka—terus merambah ke aktor resolusi konflik atau perdamaian. Aceh tempo dulu terekonstruksi menjadi negeri bandar bagi pemukim multietnis dan profesi, yang bila tanpa kesadaran historis maka fenomena ini terlihat baru pertama kali, asing, dan sebuah kekacauan sebagaimana yang digambarkan Irene Gayatri. Padahal, Aceh ceruk keragaman etnis sejak sediakala.

Semua aktor perang ditransformasikan. GAM dialihkan ke Komite Peralihan Aceh. Polri diberikan pengenalan HAM dan mempercepat pelaksanaan kebijakan polisi komunitas. TNI mengorganikkan, memekarkan, dan merelokasikan serdadunya. GAM masuk dan menjadi aktor di ranah pemerintahan, politik, dan bisnis. Polri semakin kukuh sebagai aktor utama di bidang keamanan. TNI masuk ke ranah intelijen yang operasinya bisa dirasakan oleh masyarakat, tapi bentuknya tanwujud. Rincian-rincian perihal itu semua bisa kita jumpai dalam tulisan Anton Aliabas, Kamaruddin Hasan, Sri Yuniarti, dan Sarah Nuraini.

Kalaulah semua aktor telah tertransformasikan, lalu bagaimana dengan nasib rakyat di Aceh? Tampaknya, mereka tak turut serta atau diturutsertakan dalam proses transformasi itu, baik dengan sukarela sebagaimana mereka mendukung GAM maupun dipaksakan ketika serdadu mempropagandakan dirinya sedang merebut hati rakyat pada masa Perang Aceh yang baru berlalu itu. Apa saja yang mereka peroleh dari Pemerintah Indonesia (atas dasar MOU) dan Aceh (berdasarkan kebijakan dan janji politik Irwandi-Nazar)?

Terkesan oleh saya bahwa rakyat tidak berada di dalam atau terasingkan dari arus transformasi itu. Kondisi di mana mereka berada yang beralih, misalnya, dari kondisi perang ke dalam kondisi kriminalitas dan kompetisi yang tinggi antar-aktor, tetapi nasibnya belum beralih jua. Kesemuanya dideskripsikan dengan rinci oleh Tri Ratnawati dan Heru Cahyono dalam buku ini.

Komprehensif

Kesan kuat saya, buku ini adalah sebuah hasil kerja keras untuk melihat Aceh dari dalam sehingga spektrum yang historis, luas, dan kaya rincian. Namun, semua ini ditulis dari luar Aceh sehingga penulis tergoda akan berbagai sebutan, semisal serambi kekerasan (kecemburuan sosial, kekacauan, dan konflik horizontal), serambi bagi orang asing atau donor, dan penggunaan istilah pelucutan senjata GAM (yang tak ada dalam MOU sebagaimana tak adanya pengusiran serdadu dari Aceh) dan penarikan pasukan—yang semua itu disimpulkannya Aceh adalah Beranda Perdamaian.

Meskipun demikian, buku ini, sebagaimana yang didaku oleh Ikrar sebagai penyunting adalah buku yang paling mutakhir dan komprehensif tentang Aceh. Syafaatnya, bukan saja telah mengisi kepustakaan tentang Aceh dari masa ke masa, tetapi juga dapat digunakan sebagai pertanda atau isyarat awal (early warning) tentang kemungkinan-kemungkinan yang bisa terjadi pada masa depan, baik bagi pendukung maupun pecundang perdamaian di Nusantara ini.

* Otto Syamsuddin Ishak, Peneliti Senior di IMPARSIAL, Jakarta

Sumber: Kompas, Senin, 8 September 2008

No comments: