Thursday, September 25, 2008

Sastra Indonesia Alami Intervensi Intelektual

[JAKARTA] Penulis novel laris Laskar Pelangi Andrea Hirata mengaku bukan seorang sastrawan. Dia lebih suka menulis yang dapat menggerakkan pembaca dan karyanya yang memiliki artikulasi yang luas. Kecenderungan sastra Indonesia, umumnya bukan hanya dibuat oleh para sastrawan. Itulah sebabnya, sastra Indonesia bisa disebut mengalami intervensi intelektual.

"Sebenarnya, tidak semua karya sastra memiliki adaptasi yang sesuai. Saya ingin punya karya yang berbunyi pada media-media lain. Alasannya, karena buku saja tidak berdaya di Indonesia. Coba bayangkan Laskar Pelangi dianggap fenomenal, namun satu juta eksemplar itu tidak ada apa-apanya, bila dibandingkan dengan jumlah penduduk yang mencapai 250 juta jiwa," kata Andrea Hirata kepada SP di Jakarta pada acara Syukuran 25 tahun Penerbit Mizan, baru-baru ini.

Laskar Pelangi akhirnya, diangkat menjadi film dengan judul yang sama. Film yang disutradarai oleh Riri Reza ini merupakan diproduksi bersama, antara Mizan Productions dan Miles Films. Andrea menambahkan, berbeda dengan film yang terbilang sukses, dalam sebulan bisa mencapai enam juta orang yang menyaksikan. Dengan demikian, ada kemungkinan atau potensi untuk masuk pada acara televisi yang mencakup semakin luas, yaitu 150 juta orang penikmat film. Hal itulah yang menjadi obsesi-obsesi dari sosok Andrea.

Namun di balik itu semua, papar Andrea, dunia sastra Indonesia akan diintervensi penuh oleh kaum intelektual. Terbukti dengan kultur pembaca sendiri yang sudah berubah. Jadi, masyarakat Indonesia sudah tidak tertarik lagi, membaca buku-buku sastra yang substansinya tekstual, misalnya menggambarkan matahari terbenam empat halaman dan segala macam lainnya.

Seperti halnya di negara Amerika, buku-buku sastra tidak ditulis oleh sastrawan dan hebatnya mereka selalu menang pada kontekstualnya yang kuat. Jadi masa depan sastra Indonesia akan diwarnai, masuknya para intelektual non sastra.

"Pembaca lebih tertarik pada substansi, bukan pada tekstual lagi. Oleh karena itu, apabila menulis sastra di Indonesia dengan gaya-gaya puisi dan penyair, akan sulit nantinya," tutur Andrea.

Sementara karya seni, ungkap Andrea, sifatnya paradoks. Buku atau film yang bermutu jarang laku. Jadinya sulit untuk diprediksi. Namun, hal itulah yang membuat saya bekerja sama dengan Riri Riza dan Mira Lesmana, yang berada di posisi tengah. [HDS/U-5]

Sumber: Suara Pembaruan, Kamis, 25 September 2008

No comments: