-- Ahmad Baedowi
SALAH satu tantangan pendidikan kita saat ini selain ketidakmampuan birokrasi dan ketidakberdayaan masyarakat adalah pesatnya arus informasi melalui media massa seperti televisi dan internet yang menawarkan gaya hidup (life style) dan budaya populer. Keduanya menyediakan peluang sekaligus tantangan bagi masa depan dunia pendidikan kita, baik berupa pengaruh terhadap proses belajar mengajar di kelas maupun pola asuh orang tua di rumah (Gupta, 2000).
Dampak globalisasi melalui tuntutan gaya hidup dan budaya populer ini juga merambah kehidupan politik, ekonomi, dan kesehatan masyarakat, sehingga terbentuk image di dalam masyarakat kita bahwa Indonesia secara terang-terangan sedang tenggelam dalam proses "egosentrisme barat" yang sangat tak bisa dihindari dan membuat tradisi budaya lokal mengalami erosi dan kegelisahan (Lemish, Drotner, 1998).
Seperti diketahui, pendidikan merupakan sebuah cara paling kuat untuk mengubah struktur budaya masyarakat. Pendidikan massal melalui media massa seperti televisi, internet, dan surat kabar/majalah merupakan bentuk lain dari transplantasi budaya, di mana proses infiltrasi budaya satu ke budaya lainnya berlangsung secara intensif dan dapat menyebabkan terjadinya penghapusan budaya (cultural genocide) secara perlahan-lahan (Nandy: 2000).
Selain media massa, kebijakan global tentang pendidikan juga patut diwaspadai. Contoh paling nyata dari kebijakan infiltrasi budaya dalam pendidikan, misalnya terlihat dari konsep Bank Dunia tentang pendidikan untuk semua (education for all--EFA) yang memasukkan nilai-nilai dan paradigma materialistik budaya barat ke dalam praktek pendidikan di dunia ketiga (Jain: 2000).
Sangat mudah terlihat bahwa konsep EFA tentang literacy levels menyebabkan kebijakan pemberantasan buta aksara di dunia ketiga memaksa banyak negara berkembang meminjam uang (berutang) untuk suatu program yang terbukti sekarang tidak terlalu banyak manfaatnya. Program pemberantasan buta aksara tersebut bertujuan hanya untuk menghitung kemampuan siswa dalam baca-tulis saja, tetapi lupa untuk meningkatkan kapasitas siswa dalam aspek social-oral-emotional literacy yang lebih merefleksikan kemampuan berpikir siswa (Gardner: 1996).
Keruntuhan Budaya Lokal?
Paradigma dalam perkembangan teknologi informasi dan kapitalisasi ekonomi dalam kebijakan tayangan televisi jelas harus dicermati secara seksama oleh para pengambil kebijakan bidang pendidikan di Indonesia. Sebagai basis pendidikan massal paling efektif, tayangan televisi memiliki peluang untuk mengubah tatanan budaya lokal karena baik isi maupun rancangan program tayangan televisi bisa jadi merupakan manifestasi dan justifikasi superioritas budaya barat yang belum tentu semuanya baik (Dighe: 2000).
Hasil riset menunjukkan bahwa dampak tayangan televisi yang banyak menampilkan kekerasan, mistisisme, hura-hura ala sinetron dapat menyebabkan anak-anak muda usia sekolah mengalami depresi dan sakit jiwa. Bahkan dalam bahasa seorang sutradara Peter Weir, sebagai toxic culture, sebuah tayangan yang terlalu memamerkan kekerasan sangat tidak mendidik dan dapat menyebabkan kriminalitas di usia muda meningkat, egoisme tambah menjadi-jadi, bahkan juga dapat merusak lingkungan dan budaya sekolah yang tidak sehat (Bennet: 2000; Gidley: 2000).
Ketika zaman televisi masih dimonopoli oleh TVRI, mungkin peran pendidik (guru dan orang tua) tak terlalu berat dan melelahkan. Di samping jenis tayangan yang memang masih terbatas, tetapi bentuk tayangan juga masih mempertimbangkan aspek budaya lokal masing-masing daerah di Indonesia. Tayangan Si Unyil, drama Losmen, serial Aku Cinta Indonesia begitu digemari dan menjadi rujukan para guru dan orang tua bagi.
Sebagai bangsa yang menghargai nilai-nilai kebersamaan dan kegotong-royongan dalam masyarakat, bentuk tayangan yang tersaji di depan kita kini sangat mengganggu perkembangan kepribadian anak. Selain televisi, patut juga diperhatikan regulasi tayangan dalam bentuk permainan yang merambah hingga ke telepon seluler.
Jenis pendidikan massal seperti ini pasti akan meningkatkan "egoisme" siswa secara negatif dan menjurus ke individualisme. Pada akhirnya individualisme anak akan berakibat serius pada keterpecahan keluarga dan struktur sosial, sehingga pada akhirnya akan meruntuhkan akar-akar budaya lokal yang solid dan alami. Dapat dibayangkan betapa berat dan sulitnya para guru untuk berlomba kreativitas dengan tayangan elektronik ini.
Efek lain dari berkembangnya jenis tayangan televisi, DVD, dan video games terhadap perilaku siswa adalah berubahnya imajinasi siswa dari tradisi bercerita dan bertutur kepada mimpi buruk interaksi anak dengan dunia elektrik yang meracuni pikiran dan harapan anak. Padahal dalam sejarahnya, jenis video games yang dikonsumsi anak-anak kita saat ini berasal dan didesain untuk kebutuhan pelatihan tentara sebelum diterjunkan ke medan perang.
Dalam konteks ini industri elektronik untuk kebutuhan teknologi informasi pendidikan dapat menjadi akses untuk menurunkan daya kritis siswa sehingga kebanyakan sistem pendidikan yang dikembangkan negara-negara dunia ketiga tidak akan berhasil mengembangkan mutu pendidikan mereka (Gidley and Wildman: 1996). Karena itulah beberapa hasil riset tentang kekhawatiran pengaruh tayangan berbasis teknologi informasi terhadap pendidikan merekomendasikan langkah-langkah metodologis proses belajar mengajar agar menggunakan pendekatan holistik, pro-active social skills seperti resolusi konflik dan metode cooperative learning.
Kecerdasan Emosi Guru
Langkah metodologis ini tentu saja harus diikuti oleh beragam jenis pelatihan yang harus membekali guru agar lebih kreatif dan imajinatif dalam mengawal proses belajar mengajar anak-didik mereka. Kebijakan tentang pelatihan dan uji sertifikasi dalam rangka meningkatkan kualitas guru agar dapat bersaing dengan ragam jenis tayangan adalah sebuah keharusan. Diperlukan bukan hanya pemetaan yang komprehensif tentang kapasitas guru secara akademis dan sosial-emosional, melainkan juga harus disertai dengan penilaian tentang dampak tayangan terhadap anak didik agar ada regulasi yang tepat dan benar tentangnya.
Perkembangan sosial-emosional adalah proses berkembangnya kemampuan seorang guru untuk menyesuaikan diri terhadap dunia sosial anak yang lebih luas. Di samping itu, seorang guru juga wajib mengenali sosial-emosional siswa karena efek dari tayangan televisi dan sejenisnya. Biasanya anak-anak yang semakin terbiasa dan terperangkap efek tayangan televisi dan video games memiliki kecenderungan ingin lebih populer dan berlagak pantas menjadi "bintang", sehingga jika tidak dihargai mereka cenderung cepat frustrasi dan kecewa.
Semakin populer dirinya dalam kelompok, harga dirinya pun semakin terangkat dibanding anggota kelompok lainnya sehingga anak juga akan semakin sensitif terhadap penolakan dan mudah terluka hatinya. Apalagi mereka belum banyak pengalaman menghadapi penolakan dan sebagainya, sehingga keinginan untuk mandiri semakin besar, dan terkesan seperti melawan atau membantah. Karena itu penting bagi guru mempunyai kemampuan memahami sekaligus melihat pola pikir anak-anak yang mulai tumbuh ini.
Di tengah keragaman budaya dan arus globalisasi yang tidak mungkin kita hindari, kemampuan guru secara emosional tentang budaya mengajar berbasis perkembangan mental anak seperti di atas adalah keniscayaan. Jika seorang guru secara emosional tidak mampu mendeteksi antusiasme anak didik mereka dalam mengikuti pelajaran, yang biasa terjadi di dalam kelas adalah terjadinya "tekanan sosial" guru terhadap siswanya agar lebih taat karena posisi guru secara sosial pasti lebih tinggi dari siswanya.
* Ahmad Baedowi, Direktur Pendidikan Yayasan Sukma Jakarta
Sumber: Lampung Post, Sabtu, 13 September 2008
No comments:
Post a Comment