-- Wicaksono Adi*
ADA hal yang unik pada Harian Kompas edisi Selasa (9/9/2008), yakni munculnya lembar jaket separuh halaman vertikal di halaman pertama yang berisi iklan Partai Demokrat, bolak-balik. Potongan jaket separuh halaman itu merampas perhatian seluruh pembaca surat kabar ini.
Terpampang potret Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, di bawah kibaran bendera Merah Putih dalam haribaan sejuk biru langit dan saputan putih awan gemawan. Di bawahnya, logo Partai Demokrat (PD).
Di bagian paling bawah ada angka 31 (sebagai nomor urut PD dalam Pemilu 2009). Lalu di baliknya terdapat testimoni beberapa orang dengan kalimat yang terasa datar, kaku, dan klise.
Penempatan iklan sebagai jaket di halaman pertama itu dapat dibilang sebagai langkah cukup spektakuler dalam media placement kepentingan politik. Itu menjadi bukti kepiawaian biro konsultan politik dalam mendemonstrasikan superioritas Susilo Bambang Yudhoyono dan PD sebagai pemasang iklan, di samping posisinya sebagai presiden yang memperoleh eksposur rutin di media massa hampir tiap hari.
Iklan politik semacam itu memang sudah bertebaran di media massa setelah reformasi. Bukan hanya iklan kampanye partai atau promosi individu, tetapi juga iklan biro konsultan itu sendiri.
Miskin kreasi
Gejala ini merupakan berkah bagi biro konsultan dan media massa. Ia pun membuktikan: di alam pasar politik terbuka era demokrasi modern, media massa adalah wahana mutlak bagi siapa pun yang ingin mencapai tujuan politik dengan menjangkau konstituen seluas-luasnya.
Akan tetapi, belanja iklan politik yang kian besar itu belum diiringi oleh kreativitas atau variasi bentuk yang segar. Keduanya, dana dan kreativitas, seperti berbanding terbalik. Iklan politik kita hari ini, baik di media massa, spanduk atau bendera partai (yang centang-perenang membuat udara sumpek itu) ternyata bentuknya tak jauh berbeda dengan papan propaganda zaman Orde Baru: slogan hambar atau political statement yang kaku dan membosankan.
Bahasa (verbal dan visual) telah menjadi begitu mekanis, nir-ekspresi, hampa, bahkan seakan lelah luar biasa karena harus menampung ekspresi-ekspresi politik yang kering, tetapi sarat ambisi. Setali tiga uang dengan penampilan gambar tokoh-tokoh politiknya yang kikuk, tidak natural, seperti sibuk menyembunyikan banyak kekurangan bahkan rahasia.
Pemahaman yang mengatakan bahwa pasar politik pada dasarnya adalah medan pertarungan citra, kini tinggal menjadi slogan. Faktanya, iklan politik kita hari ini belum berhasil memainkan fungsi sebagai pembangun citra atau pembedaan karakteristik antara satu partai dengan lainnya. Ia tak lebih dari sekadar papan pengumuman dalam bentuk teknologis.
Ini mengingatkan kita pada peran iklan pada perkembangan yang paling dini, di paruh akhir abad ke-19, yang hanya menjadi ekstensi dari berita: informasi dan penjelasan mengenai fungsi produk, harga, atau kualitas. Elemen-elemen (verbal dan visual) iklan tidak dibuat untuk menciptakan acuan lain (makna baru). Iklan adalah bentuk lain dari kronik sederhana dan cenderung menghindari pengayaan dalam tampilannya. Halnya berbeda dengan iklan pada tahap perkembangan berikutnya yang bertujuan menciptakan makna baru (identitas, personalitas bahkan fantasi) yang kadang terlepas dari produk yang diiklankan.
Hal bagus terlihat pada iklan ”Hidup Adalah Perbuatan” Soetrisno Bachir (SB) versi cetak maupun TV yang lebih berhasil menciptakan citra baru dan segar dari tokoh yang sebelumnya tak dikenal luas.
Visual, tetapi literer
Dapat dikatakan bahwa hampir seluruh iklan (komersial) TV kita hingga hari ini pada dasarnya bertumpu pada paradigma literer yang mengandaikan suatu elaborasi tekstual. Padahal, watak televisi sebagai media audio-visual menuntut suatu penyampaian pesan dalam bentuk rupawi dan tipografis.
Di luar negeri kita melihat, misalnya, beberapa iklan visual dari calon presiden kaum Republik, John McCain, yang justru menampilkan figur lawannya, Obama, bahkan artis seperti Paris Hilton atau Britney Spears. Sebuah eksekusi mediatik yang cerdas, karena efek atau refleksi yang didapatkan dari iklan visual semacam itu justru kian meneguhkan persona McCain.
Bagaimanapun tindakan menonton sangat berbeda dengan membaca. Dengan media cetak, orang menangkap sesuatu dengan lebih intens dan soliter. Sementara pada media audio dan visual, pencerapan terjadi dalam perubahan yang cepat; citra satu segera disusul citra dua dan seterusnya. Maka, bila iklan TV dibuat dengan pendekatan literer, penonton pun seperti berhadapan dengan diktat atau buku yang cenderung bertele-tele dan mubazir.
Iklan Soetrisno Bachir versi televisi tampaknya cukup berhasil keluar dari jebakan itu walau tentu belum ideal. Seluruh elemen iklan itu bertumpu pada paradigma visual yang diarahkan untuk menciptakan citra tokoh cerita melalui eksplorasi artistik secukupnya dan ditopang kesatuan yang kuat antara isi dan watak medianya. Orang dengan mudah menangkap pesan dalam nuansa citra elegan sekaligus populis si tokoh cerita ditambah permainan visual yang menghibur.
Sebuah iklan tidak mungkin menjangkau seluruh audiens yang memiliki karakteristik berbeda. Diperlukan berbagai ragam bentuk iklan tentang produk yang sama sesuai dengan tingkat ”kecerdasan” audiens.
Sayangnya, iklan politik kita umumnya masih seragam, dalam bentuk, gaya dan isinya. Hal itu diperparah oleh kenyataan rancunya cara pandang terhadap paradigma media yang digunakan, plus kemiskinan bahasa yang belum terbebaskan dari retorika linguistik Orde Baru yang kering dan kaku. Sementara sesungguhnya, iklan politik dapat turut mengembangkan kedewasaan kita dalam berpolitik. Baik subyek maupun obyeknya.
* Wicaksono Adi, Pengamat seni dan iklan, tinggal di Jakarta
Sumber: Kompas, Sabtu, 27 September 2008
No comments:
Post a Comment