-- Tjahjono Widarmanto*
SUATU teks disebut sebagai karya sastra apabila mampu memberikan kepada pembacanya suatu pemahaman baru dan mendalam tentang kompleksitas kehidupan manusia. Teks tersebut harus sanggup menjalin interkomunikasi antara hakikat realitas dan hati sanubari. Harus dapat menampilkan suatu segi dari realitas yang belum seutuhnya diketahui, realitas paling abstrak, yang sanggup membangun kesadaran kontemplatif tentang apa hakikat hidup, kehidupan, manusia, dan kemanusiaan.
Oleh karena itu, objek karya sastra selalu manusia sehingga sastra merupakan sebuah fakta kultural atau fakta kemanusiaan. Jadilah teks sastra sebagai fakta kemanusiaan, fakta kejiwaan, dan fakta kesadaran kolektif sosiokultural.
Demikian juga dengan sastra Indonesia. Sepanjang perkembangannya selalu mencoba merefleksikan segala persoalan kejiwaan manusia Indonesia yang barangkali amat universal sehingga tidak mustahil juga digelisahkan manusia lainnya, seperti persoalan cinta, keterasingan, kematian, penindasan, bahkan kesangsian terhadap jati dirinya sendiri.
Perkembangan sastra Indonesia bersumber dan mengarah pada dua sisi. Sisi pertama, mengacu pada bentuk-bentuk pembaharuan yang bersumber dari Barat, yang tergambar pada isi dan pandangan hidup yang merupakan hasil penjelajahan sastrawannya terhadap pemikiran-pemikiran modern yang bernafaskan filsafat Barat. Sisi kedua, merupakan bentuk kecenderungan sastrawannya yang lebih mengacu pada penggalian jejak-jejak akar etnisnya sendiri atau cenderung menggali khazanah spiritualisme Timur.
Salah satu bentuk penggalian etnis dan spiritualisme Timur itu adalah bentuk-bentuk kesusastraan Indonesia yang bernapaskan sufistik. Pandangan-pandangan sufistik yang muncul pada karya-karya sastra Indonesia bersumber dari berbagai ajaran. Ada yang menggali pada sumber ajaran sufi Islam (tasawuf), ada yang menggali pada ajaran Kebatinan Jawa, dan ada pula yang melacak jejak-jejak ajaran mistik Hindu-Buddha.
Karya-karya sastra Indonesia yang bersumber pada pandangan sufistik Islam (tasawuf) menggali pandangan-pandangan Islam yang sangat universal. Pandangan-pandangan itu antara lain tentang eksistensi Tuhan yang monoteisme, kecintaan dan kerinduan (mahabah) yang hebat pada Tuhannya, kesempurnaan hidup di jalan Tuhan, eksistensi manusia sebagai makhluk dan hubungannya dengan Khaliknya, sikap hidup zuhud, serta konsep widhatul wujud (widhatul syuhud).
Tak jauh dari karya-karya sufi yang berakar pada pandangan tasawuf, karya-karya sastra sufi yang bersumber pada ajaran sufistik Jawa (kebatinan/kejawen) juga memproyeksikan kegelisahan manusia mencari jawab terhadap persoalan-persoalan ketuhanan. Persoalan-persoalan ketuhanan ini juga bertitik tolak pada persoalan eksistensi Tuhan dan eksistensi manusia berikut sikap hidup dan hubungan manusia dengan Tuhannya.
Dalam filosofi Jawa, persoalan-persoalan tersebut diistilahkan dengan sangkan paraning dumadi, manunggaling (jumbuhing) kawula gusti, narima, mamayu-mayu hayuning bawana, dan sebagainya. Sedangkan dalam mistik Hindu-Buddha disebut sebagai atman-brahman, sangkhya, bhakti yoga, dan sebagainya.
Genre sastra sufistik, utamanya yang bersumber pada sufistik Islam (tasawuf), kebanyakan berbentuk puisi. Kecenderungan ini karena terilhami Alquran yang ditulis dalam bentuk puisi yang amat indah, penuh simbol, dan penuh pandangan hidup yang menakjubkan. Sebagai bentuk ekspresi pun, terutama untuk ekspresi pengalaman rohani dan religius, genre puisi amat cocok karena personal, unik, universal, sarat simbol, dan mistik.
Sebenarnya, genre sastra sufi dalam konstelasi sastra Indonesia sudah dikenal sejak periode kesusastraan Melayu. Pada periode itu, sastra sufi dikenal dengan istilah sastra kitab. Dalam perjalanan sejarah sastra Indonesia selanjutnya, sejak era Amir Hamzah, sastra sufi telah menjadi bagian kekayaan sastra Indonesia dan terus berkembang dengan berbagai ragam ekspresi. Tradisi sastra sufi dalam sejarah sastra Indonesia terkini pun masih ditulis sastrawan-sastrawan mudanya seperti Acep Zam-Zam Noor, Jamal D. Rahman, Abdul Wachid B.S., Hamdy Salad, Ulfatin CH, Ahmad Syubbanuddin Alwy, dan masih banyak lagi.
**
WALAU ditulis dengan berbagai ekspresi dan bentuk pengucapan, sastra sufi memiliki karakteristik kecenderungan estetika yang sama. Kecenderungan estetika sastra sufi itu di antaranya adalah ekspresi kerinduan kepada Allah. Para penyair selalu tertarik pada wilayah sunyi. Sunyi akibat merasa jauh dari kekasih hatinya, yaitu Allah. Ketertarikan pada dunia sunyi yang penuh jeritan rindu kepada Tuhannya itu, bisa diamati begitu dominan pada puisi-puisi Amir Hamzah, Acep Zam-Zam Noor, dan Jamal D. Rahman.
Untuk menggambarkan kerinduan, pencarian, dan kecintaan (mahabah) pada Tuhannya itu, para penyair sufi sering menggunakan simbol burung (pada puisi-puisi Jamal D.Rahman), kekasih (digunakan Amir Hamzah, Emha Ainun Nadjib, Acep Zam-Zam Noor), gadis atau dara, api, dsb. Dan muara gelombang sunyi itu bagi para penyair sufi ini adalah berakhir pada kepasrahan. Ditulis dengan indah oleh Jamal D. Rahman sebagai "bersedekap di keleluasaan langit dari rindu ke rindu".
Kepasrahan ini menyiratkan betapa para penyair sufi ini mengakui kehinaan dan keterbatasan dirinya sebagai makhluk yang tak berdaya di hadapan Tuhannya. Pengakuan ini jelas tergambar dalam ekspresi…/mengetuk pintu demi pintu.jam berdetak/di lantai.dinding pun terjaga.dan ombak bangkit/dari jendela.aku tersungkur lewat pintu-pintu itu,/angin mengusung zikirku dari alif ke alif, dan asmamu/mengerang di padang-padang sembahyang/ ("Di Padang Sembahyang", Jamal D. Rahman).
Karakteristik estetika sufi yang lain adalah ekspresi khas sufi tentang penyatuan hamba dengan Tuhannya. Dalam konsep tasawuf dikenal dengan istilah widhatul wujud. Merupakan suatu konsep dan persepsi kesatuan dalam kegandaan serta kegandaan dalam kesatuan. Tuhan tidaklah dihayati sebagai Dia yang berada di sana namun juga hadir bersama manusia. Tuhan memang tak terjangkau tapi bisa didekati (taqarub) sebab Dia juga Mahadekat.
Ajaran sufi mengisyaratkan adanya hubungan yang tak terpisahkan antara alam dan manusia. Manusia merupakan mikrokosmos (jagat kecil-dunia kecil), sedangkan alam merupakan makrokosmos (jagat besar-dunia besar). Manusia dan alam merupakan dua kaca yang masing-masing memantulkan permukaan yang lain. Di satu sisi, manusia terwujud karena adanya hubungan dan ketergantungan dengan makrokosmos, sedangkan di sisi lain makrokosmos dikuasai manusia (Burcahdt, 1984).
Tampaknya, berangkat dari konsep makro-mikrokosmos ini mengakibatkan kecenderungan para penyair sufi untuk bermain-main dengan natural symbols untuk melukiskan kegelisahan pencarian, kerinduan, dan kepasrahannya pada Tuhannya. Dalam larik-larik puisi "Lautan Jilbab"-nya, Emha berteriak berzikir, beristigfar/ bagai merontokkan bintang-bintang/dari tangkainya/. Ia juga menggunakan kata debu, lumut, padang, cahaya. Hal serupa juga cenderung digunakan Amir Hamzah dan Zawawi Imron dengan mengusung citraan alam: samudra, pelangi, kabut, kelamkan kabut tubir pantai. Sedangkan Jamal D. Rahman dan Acep Zam-Zam Noor mengusung citraan alam burung, sungai, gurun, malam, ombak, kabut, cahaya, langit-langit waktu, tebing, dingin angin, zikir gunung, tahajud malam, tahajud gurun, daun, guruh, gerimis, dan sebagainya.
Natural symbols itu mereka pakai untuk membangun asosiasi yang tajam, membentuk metafora-metafora yang merangsang imagi, sekaligus menghadirkan sebuah emosi tertentu pada diri pembaca. Sekadar contoh, bisa diamati pada larik-larik ini: …./ombak pun menggelepar.mengibaskan sayapnya pada matahari/ tapi di curam hatiku gelisahmu masih menggema menuruni/lembah tahajudku di padang doa-doa:daun-daun bersujud,/memaknai diam gunung-gunung.mengisi lembaran jiwaku/dengan tasbih dan kedinginan (Ombak pun Menggelepar, Jamal D. Rahman).
Tampaknya kegelisahan-kegelisahan "mencari Tuhan" akan terus menjadi tema yang menarik bagi para sastrawan. Selama kegelisahan-kegelisahan itu hadir menjadi salah satu persoalan eksistensial manusia maka karya sastra sufistik akan terus ditulis. Kehadiran karya-karya sastra sufistik itu tentu saja akan memperkaya khazanah sastra Indonesia. Dan, bagaimana wujud ekspresi estetika mereka akan menjadi kajian-kajian stilistika yang penting dalam posisi teori, sejarah, dan kritik sastra Indonesia di masa mendatang.***
* Tjahjono Widarmanto, Penyair dan pemerhati budaya
Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Sabtu, 6 September 2008
No comments:
Post a Comment